Kylian Mbappe gagal menutup karier di PSG dengan gelar Liga Champions. Setelah 11 tahun, Dortmund kembali ke Wembley.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·3 menit baca
PARIS, RABU — Paris identik dengan sebutan kota cinta. Kisah-kisah romansa fiksi banyak mengambil latar di ibu kota Perancis itu. Akan tetapi, nuansa percintaan itu tidak berpihak pada salah satu ikon kota itu, yakni Paris Saint-Germain. Di Paris, mimpi PSG mengangkat trofi Liga Champions justru kandas.
Berambisi untuk membalas ketertinggalan agregat dari Borussia Dortmund, PSG tetap tidak mampu menaklukkan tembok kokoh pertahanan tim asal Jerman itu pada gim kedua semifinal Liga Champions, Rabu (8/5/2024) dini hari WIB, di Stadion Parc des Princes. ”Les Parisiens” tumbang lagi 0-1 berkat sundulan bek senior Dortmund, Mats Hummels, melalui peluang sepak pojok di menit ke-50.
Hasil itu membuat PSG kalah dengan agregat 0-2. Mereka kembali gagal meraih trofi ”Si Kuping Besar” bersama bintang terbaik Perancis saat ini, Kylian Mbappe. Bagi Mbappe, kegagalannya membantu PSG adalah perpisahan yang kurang ideal jelang kepergiannya di akhir musim ini.
Meski kecewa gagal menuju ke Stadion Wembley, London, 14 pemain PSG yang diturunkan Pelatih Luis Enrique telah mengerahkan seluruh kemampuan terbaik mereka. Sejak menit pertama, mereka telah mengontrol pertandingan. Total 70 persen penguasaan bola dengan 659 operan adalah bukti nyata PSG memiliki keinginan kuat untuk menang.
Selain itu, PSG melepaskan 30 tembakan yang menjadi catatan terbanyak mereka di Liga Champions musim ini. Dari jumlah tembakan itu, lima mengarah ke gawang, lalu dua digagalkan tiang gawang dan dua lainnya membentur mistar.
Hal itu yang membuktikan Paris tidak memberikan cintanya kepada PSG. Empat tembakan di babak kedua digagalkan tiang dan mistar gawang. Tembakan Warren Zaire-Emery dan Nuno Mendes mengenai tiang kiri gawang Dortmund yang dikawal Gregor Kobel. Kemudian, upaya dari Mbappe dan Vitinha digagalkan mistar gawang.
Jumlah tembakan yang digagalkan perangkat gawang itu melebihi yang dialami skuad Les Parisiens di kandang Dortmund, Signal Iduna Park, pekan lalu. Ketika tumbang di Jerman, tembakan Mbappe dan Ousmane Dembele membentur tiang.
Anda memenangi pertandingan dengan mencetak gol, bukan membentur tiang. Sepak bola kadang sangat tidak adil.
”Sejujurnya kami pantas memenangi pertandingan. Kami menciptakan 31 tembakan, membentur tiang empat kali. Dalam dua pertandingan, kami mengenai tiang enam kali, tetapi kami gagal mencetak sebuah gol,” kata Enrique kepada TNT Sports.
”Anda memenangi pertandingan dengan mencetak gol, bukan membentur tiang. Sepak bola kadang sangat tidak adil,” tambahnya.
Marco Reus, gelandang Dortmund, menyatakan, timnya bisa mengatasi dengan baik tantangan yang dihasilkan pemain-pemain PSG. Pada laga kedua, Reus menyebut dua mantan rekan setimnya, Dembele dan Achraf Hakimi, sebagai pemain yang menyebabkan kerepotan ”Die Borussen” berkat kecepatan mereka.
”Bagaimana kami menang, tidak ada orang yang akan menanyakannya besok. Tembakan mengenai mistar tidak akan pula berpengaruh besok. Apa yang dihitung adalah Borussia Dortmund bermain di final lagi. Setelah lebih dari 10 tahun, saya di final lagi bersama Borussia,” ucap Reus, yang akan meninggalkan Dortmund di akhir musim ini, kepada DAZN.
Kerja kolektif
Berbeda dengan laga pertama yang menampilkan aksi-aksi individu brilian, Dortmund tidak lagi mengulangi ketergantungan pada kemampuan tunggal pemain andalan. Pelatih Dortmund Edin Terzic menyiapkan sistem bermain agar semua pemainnya bekerja kolektif dalam menyerang dan bertahan.
Gol yang dicetak Hummels menunjukkan pemain belakang pun memiliki peran mencetak gol. Kemudian, catatan akumulasi tiga sapuan dari pemain depan, Julian Brandt dan Niclas Fuellkrug, serta masing-masing satu intersep dari dua penyerang sayap, Jadon Sancho dan Karim Adeyemi, membuktikan tugas bertahan bukan milik pemain belakang semata.
Reus, yang masuk di menit ke-56 untuk menggantikan Adeyemi, lebih menonjol menyajikan aksi-aksi bertahan. Pemain berusia 34 tahun itu gagal menghasilkan satu pun tembakan untuk membantu Die Borussen memperlebar keunggulan di Paris. Sebaliknya, Reus mampu menghasilkan satu tekel sukses dan tiga sapuan di zona pertahanan timnya.
”Saya mencetak terlalu sedikit gol di Liga Champions dalam karier saya, hanya lima gol. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menambah jumlah gol itu,” ucap Hummels, yang menjadi pemain Dortmund tersisa bersama Reus ketika tampil di final Liga Champions 2012-2013, dilansir laman UEFA.
Ia menambahkan, ”Kami mampu bermain aktif. Kami mengatasi dengan baik kecepatan mereka dan atmosfer di dalam stadion. Itu adalah resep kesuksesan kami,” katanya.
Pelatih ketiga
Adapun Terzic menjadi pelatih ketiga yang mampu membawa Dortmund ke partai puncak Liga Champions. Ia menyamai torehan Ottmar Hitzfeld pada 1996-1997 dan Juergen Klopp pada edisi 2012-2013.
Dalam dua penampilan di final sebelumnya, Dortmund baru sekali keluar sebagai pemenang. Mereka mengalahkan Juventus 3-1 di Stadion Olympiade, Muenchen, Jerman, Mei 1997. Kemudian, Die Borussen tumbang 1-2 oleh Bayern Muenchen di Stadion Wembley pada Mei 2013.
Terzic memuji performa kolektif semua pemainnya. Selain menang, Terzic menargetkan timnya mencatatkan koleksi nirbobol keenam di Liga Champions musim ini pada laga kedua kontra PSG.
”Ini adalah performa tim yang luar biasa. Tanpa itu, Anda tidak akan memiliki kans untuk mengakhiri laga tanpa kebobolan, mustahil. Di babak kedua, kami bermain untuk tidak kemasukan dengan melakukan segalanya untuk menghalau umpan silang dan tembakan mereka,” kata Terzic.
Di final yang bakal berlangsung di Wembley, 2 Juni mendatang, Dortmund akan menghadapi pemenang duel Bayern kontra Real Madrid. Terzic mengakui, kedua tim itu akan lebih diunggulkan dibandingkan anak asuhannya.
”Siapa pun tim yang kami hadapi, itu akan menjadi laga yang sangat sulit. Tetapi, final hanya satu gim, jadi segalanya bisa terjadi,” ucapnya.