Minim Informasi tentang Hak Pekerja, Awak Kapal Rentan Jadi Korban TPPO
Perlindungan terhadap awak kapal perikanan migran ditingkatkan melalui pelatihan. Modul panduan pelatihan juga disusun.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Keterbatasan informasi mengenai hak-hak pekerja membuat awak kapal perikanan migran rentan menjadi korban kerja paksa hingga diperdagangkan. Untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan para awak kapal perikanan, gabungan masyarakat sipil membuat modul berbasis peta masalah. Harapannya, hal itu bisa memandu mereka terhindar dari praktik kerja paksa dan perdagangan orang.
Pembuatan modul pelatihan berjudul ”Jalan Mencari Keadilan” itu dilakukan gabungan masyarakat sipil. Mereka terdiri dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SMBI), Lembaga Bantuan Hukum Semarang, dan Greenpeace Indonesia.
Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno mengatakan, setidaknya ada tiga alasan pembuatan modul pelatihan itu. Selain tidak tahu indikator kerja paksa, awak kapal belum mengerti soal aturan hukum perdagangan orang dan tidak tahu mengadu ke mana ketika tertimpa masalah.
”Paling tidak kami berharap, mereka tahu ada aturan nasional dan internasional yang melindungi mereka. Kemudian, ketika terjadi masalah di atas kapal, sebelum berangkat, sampai kembali, mereka tahu ke mana harus mengadu,” kata Hariyanto seusai peluncuran modul di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (17/9/2024).
Modul pelatihan itu didesain untuk pelatihan yang bisa diselesaikan dalam sehari. Ada sembilan sesi pelatihan menurut modul tersebut. Sebanyak tujuh di antaranya mengenai awak kapal perikanan migran.
Hal itu seperti perkenalan, dasar-dasar hak asasi manusia, kerja paksa dan perdagangan orang, serta hak-hak awak kapal perikanan migran dalam instrumen hukum nasional dan internasional.
Selain itu, ada tata kelola penempatan dan perlindungan awak kapal perikanan migran, pengaduan dan penanganan kasus pelanggaran hak-hak awak kapal perikanan migran, serta langkah hukum di tingkat internasional yang dapat ditempuh awak kapal perikanan migran.
Tak hanya itu, ada dua sesi lain yang membahas soal Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing) atau penangkapan ikan secara ilegal. Rencana tindak lanjut dari pelatihan juga ikut dibahas.
Di akhir pelatihan, para peserta akan diminta mengerjakan soal ujian. Tujuannya, mengetahui seberapa jauh para peserta memahami materi pelatihan.
Pelatihan itu tidak hanya menyasar awak kapal perikanan yang akan berangkat bekerja ke luar negeri. Pelatihan juga diberikan bagi mantan awak kapal perikanan migran.
Selain itu, keluarga dari awak kapal perikanan migran juga tak luput dari sasaran pelatihan. Harapannya, itu bisa membuat lebih banyak orang paham terkait persoalan awak kapal perikanan migran.
”Peserta yang sudah mengikuti pelatihan ini nantinya diharapkan bisa bercerita kepada temannya, keluarganya, ataupun komunitasnya, kalau ada masalah terkait awak kapal perikanan migran harus apa. Lalu, ketika di atas kapal mereka tidak bisa memperjuangkan haknya, bisa lapor ke pemerintah atau organisasi masyarakat sipil, termasuk ke SBMI,” tutur Hariyanto.
Hariyanto menyebutkan, pelatihan itu tergolong mendesak. Alasannya, hampir seluruh awak kapal perikanan migran dari Indonesia mengalami kerja paksa.
Bentuknya beragam. Mulai dari sebelum berangkat hingga kembali. Selain itu, tak sedikit awak kapal perikanan migran dari Indonesia yang dieksploitasi hingga diperdagangkan dari satu kapal ke kapal lain.
Menurut Hariyanto, laporan kasus eksploitasi, kerja paksa, perdagangan orang yang masuk ke SBMI juga terus menunjukkan tren peningkatan, setidaknya pada dua tahun terakhir. Tahun 2023, misalnya, ada 774 kasus yang diadukan. Aduan paling banyak dari Jateng, yaitu Pemalang dan Tegal.
”Kalau tahun 2022 ada 564 kasus,” ujarnya.
Tata kelola
Sementara itu, Ketua Tim Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menuturkan, kasus kerja paksa dan perdagangan orang awak kapal perikanan migran tidak lepas dari buruknya tata kelola bisnis perikanan global.
Selama ini, terjadi penangkapan ikan berlebih di hampir seluruh wilayah hingga kapal-kapal penangkap ikan harus beroperasi lebih jauh dan lebih lama. Bahkan, melaut lebih jauh dan lebih lama pun tak menjamin mereka akan mendapatkan ikan.
”Akibatnya, mereka harus menghemat biaya karena kalau berlayar lebih jauh dan lama itu kan biaya berlabuh juga semakin meningkat. Mereka mencari cara supaya bisa menghemat biaya produksi. Salah satu yang paling bisa mereka permainkan adalah dari gaji pegawai. Tak hanya itu, mereka juga mencari awak kapal perikanan yang bisa dibayar murah dan direkrut dengan mudah,” ujar Afdillah.
Kondisi global itu pun menjadi celah bagi perusahaan penyalur tenaga kerja nakal di Indonesia untuk mencari keuntungan.
Mereka memanfaatkan calon-calon tenaga kerja yang frustrasi akibat kesulitan mendapatkan pekerjaan di Tanah Air untuk bergabung menjadi awak kapal perikanan migran.
Dengan iming-iming bekerja di luar negeri, syarat mudah, dan gaji besar, para pekerja rentan tergiur. Bahkan, tak sedikit yang rela menyetor hingga jutaan rupiah kepada perusahaan penyalur tenaga kerja agar mereka dilancarkan dalam proses pemberangkatan kerja.
”Mereka merekrut orang yang sembarangan, yang tidak punya skill, dan tidak memiliki pengalaman sama sekali soal perkapalan. Tak jarang, perekrutan dilakukan secara ilegal,” kata Afdillah.
Afdillah berharap, modul yang disusun berdasarkan hasil kolaborasi dan pengalaman berbagai praktisi hukum, serikat pekerja, dan organisasi non-pemerintah itu bisa menjadi salah satu upaya melindungi awak kapal perikanan migran dari eksploitasi.
”Modul ini adalah ekstraksi dari pengalaman nyata para pekerja yang pernah jatuh ke dalam perangkap eksploitasi. Dengan isi yang praktis dan mudah dipahami, modul ini memberikan informasi tentang hak-hak hukum para pekerja migran dan cara untuk melindungi diri dari agen perekrutan yang curang, serta dari eksploitasi di laut,” katanya.
Membantu
Kepala Operasional LBH Semarang Rizky Putra Edry mengatakan, pembuatan modul pelatihan itu menjadi salah satu upaya masyarakat sipil dalam membantu pekerjaan pemerintah. Tidak hanya mendampingi dan melaporkan kasus-kasus yang menimpa awak kapal perikanan migran, organisasi masyarakat sipil juga turut meningkatkan kapasitas mereka.
”Masyarakat sipil sudah all out. Harusnya pemerintah yang punya tanggung jawab untuk pemenuhan hak-hak awak kapal perikanan migran lebih serius. Di tingkat pengaduan, data, maupun pemberdayaan sudah dilakukan masyarakat sipil, harusnya pemerintah bisa secara drastis mengurangi alasan-alasan keterbatasan. Sehingga, perlindungan awak kapal perikanan migran bisa segera diwujudkan,” tutur Rizky.
Menurut Rizky, selama ini, sudah ada enam kali pelatihan yang digelar sesuai modul tersebut. Pelatihan itu melibatkan 184 peserta dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Brebes, Pemalang, Tegal, Pelalongan, dan Batang.
”(Sasaran) utamanya Jateng karena kami menganggap ini adalah lokasi yang sangat rentan, sering terjadi praktik-praktik kerja paksa yang diawali dari Jateng. Meskipun, perekrutannya dari seluruh wilayah Indonesia tapi pool-nya ada di Jateng. Sebelum mereka diberangkatkan,” imbuhnya.