Grebeg Maulud Keraton Surakarta, Oase Kebersamaan Warga Kota
Grebeg Maulud bukan sekadar ritual, melainkan oase kebersamaan warga kota yang kian individualis.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
Setahun sekali, Keraton Surakarta menggelar “Grebeg Maulud” untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Tradisi tahunan itu menghimpun banyak warga dari berbagai latar belakang. Momen itu bagaikan oase kebersamaan di tengah kehidupan warga kota yang kian individualistis.
Lelaki tua berbadan kurus berdiri dikerumuni orang-orang, di Masjid Agung Keraton Surakarta, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (16/9/2024). Kedua tangannya yang keriput terlihat penuh bawaan. Meski begitu, raut mukanya justru tampak gembira.
Madiman (72) nama lelaki tua itu. Tangan kanannya menggenggam campuran olahan tape dan ketan hitam, sedangkan tangan kirinya memegang sebilah bambu. Di jari-jari tangan kanannya, ia selipkan beberapa cabai merah yang ukurannya besar-besar.
”Mari silakan yang mau. Ambil saja. Tapi, saya tolong disisakan sedikit,” ujar Madiman, yang berasal dari Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Ucapan Madiman disambut sejumlah perempuan berkerudung di sekelilingnya. Mereka lantas mendatangi lelaki tua itu untuk meminta tape dan ketan hitam walaupun hanya sejumput. Si lelaki tua juga enteng saja berbagi. Tak keberatan sama sekali.
Tape ketan, cabai, hingga sebilah bambu yang dibawa Madiman adalah bagian kecil dari gunungan yang dipersembahkan oleh Raja Keraton Surakarta Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII dalam peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad. Terdapat empat gunungan yang dipersembahkan oleh sang raja pada tradisi tahunan yang juga disebut Grebeg Maulud itu.
Sebanyak dua gunungan diberikan kepada warga yang hadir. Saking banyaknya yang berminat, mereka tampak saling berebutan. Adapun gunungan itu terbagi menjadi dua jenis, yakni jalu (laki-laki) dan setri (perempuan). Gunungan jalu memuat hasil bumi, sedangkan gunungan setri dipasangi rengginang.
Mari silakan yang mau. Ambil saja. Tapi, saya tolong disisakan sedikit.
”Ini (isi gunungan), kan, pemberiannya Tuhan juga. Masa saya mau bawa pulang sendiri? Ya, saya bagi-bagi saja. Yang penting saya tetap bawa juga barang sedikit,” ucap Madiman, yang seluruh rambutnya sudah beruban itu.
Madiman sebisa mungkin hadir setiap kali Grebeg Maulud diadakan. Ia tidak ingin ketinggalan ngalap atau mencari berkah dengan berebut hasil bumi atau makanan siap saji yang digantungkan pada gunungan. Pihaknya memercayai barang-barang itu akan membawa kebaikan dalam setiap karyanya.
”Ini yang tape ketan mau saya campur rabuk (pupuk) buat ditanam di sawah. Mudah-mudahan sawahnya semakin subur. Tetapi, ini semua hanya sarana dan usaha. Nanti akhirnya seperti apa nderek (ikut) Gusti Allah saja,” kata Madiman.
Tukiyem (55), warga asal Boyolali, Jawa Tengah, memiliki pandangan serupa. Namun, ia hampir saja tidak memperoleh satu pun bagian gunungan. Isi gunungan sudah habis diperebutkan penonton lain begitu ia sampai ke bagian depan.
Meski begitu, Tukiyem merasa sedikit beruntung karena ada penonton lain yang berbaik hati kepadanya. Ia diberi beberapa potong padi kering dan sepotong cabai merah. Menurut rencana, kedua benda itu akan disimpannya di warung sayurnya, di Pasar Ciracas, Jakarta.
”Tadi ikut berebut malah keinjak-injak. Ini dapat dari orang. Nanti mau buat nglarisi (melariskan) sayuran dan kelapa parut di warung saya. Ini dipercaya buat pekerjaan lancar dan sehat,” kata Tukiyem.
Perwakilan Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Aryo Rizki Baruna Ajidiningrat, mengaku gembira dengan besarnya animo masyarakat pada gelaran itu. Grebeg Maulud diadakan sebagai ungkapan syukur dari Keraton Surakarta. Diharapkan, segenap pihak bisa ikut merasakannya dengan penuh sukacita.
Ihwal gunungan, jelas Rizki, sejatinya itu merupakan wujud kecintaan raja kepada warganya. Gunungan beserta uba rampe yang dibagikan hendaknya turut menjadi berkah bagi masyarakat. Itu merupakan bagian dari merawat tradisi leluhur yang telah berlangsung begitu panjang.
”Simbol-simbol ini harus kita jaga, kita ugemi (genggam erat), dan kita laksanakan secara turun-temurun. Karena, kalau bukan kita, siapa lagi?” kata Rizki, yang juga menantu dari Raja Keraton Surakarta PB XIII.
Dihubungi secara terpisah, Drajat Tri Kartono, sosiolog dari Universitas Sebelas Maret, menyampaikan, tradisi tahunan semacam Grebeg Maulud penting untuk terus dilestarikan. Apalagi bagi kalangan masyarakat perkotaan. Itu berkaitan dengan kultur kota yang membuat masyarakat semakin individualis.
Menariknya, tradisi tahunan itu sekaligus mengajak publik mengilhami nilai luhur dari suatu budaya. Misalnya, benda-benda yang diambil dari gunungan dipercaya membawa keberkahan. Ini bisa dimaknai agar seseorang harus senantiasa memiliki semangat dalam hidupnya.
”Adanya ritual-ritual semacam ini akan menghidupkan komunitas. Kalau komunitas itu tidak hidup, kota akan menjadi sangat individualis,” kata Drajat.
Kehidupan kota memang serba cepat. Persaingannya pun ketat. Tak heran jika masyarakat kota lebih sering memikirkan dirinya sendiri. Namun, tradisi hadir mengajak warga berhimpun kembali dalam kebersamaan.