Bagaimana Perkembangan Kasus ARL Setelah Undip-RSUP Dr Kariadi Akui Ada Perundungan PPDS?
RSUP dr Kariadi dan Undip akui ada perundungan di PPDS Anestesi. Diharapkan penegakan hukum tegas bagi para pelaku.
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
1. Apa yang diakui oleh Universitas Diponegoro dan RSUP dr Kariadi?
2. Apa yang ditindaklanjuti polisi setelah pengakuan Undip dan RSUP dr Kariadi?
3. Apa respons Kementerian Kesehatan?
4. Kenapa keluarga ARL, mahasiswi PPDS Undip, akhirnya melapor ke polisi?
5. Bagaimana pernyataan keluarga terkait kematian ARL?
6. Apa saja dugaan perundungan yang dialami ARL?
7. Bagaimana hasil penyelidikan polisi terkait kematian ARL?
8. Selain kasus ARL, di mana saja perundungan terhadap mahasiswa PPDS terjadi?
Kasus meninggalnya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis atau PPDS Anestesi di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, mendapat perhatian luas dari publik. Mahasiswi berinisial ARL (30) itu ditemukan meninggal di kamar indekosnya di Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, Senin (12/8/2024) malam.
Berdasarkan penyelidikan kepolisian, muncul dugaan ARL meninggal karena bunuh diri. Selain itu, mahasiswi tersebut juga diduga menjadi korban perundungan saat menjadi mahasiswi PPDS Anestesi Undip di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi, Semarang.
Apa yang diakui oleh Universitas Diponegoro dan RSUP dr Kariadi?
Universitas Diponegoro dan Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi mengakui adanya berbagai macam perundungan yang terjadi di Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi Undip di RSUP Dr Kariadi. Kedua instansi tersebut meminta maaf kepada publik dan berjanji bakal melakukan evaluasi menyeluruh dari hulu ke hilir.
”Kami menyadari, menyampaikan, dan mengakui bahwa sistem PPDS di internal kami terjadi praktik-praktik atau kasus perundungan, dalam berbagai bentuk, derajat, dan hal,” kata Dekan Fakultas Kedokteran Undip Yan Wisnu Prajoko dalam konferensi pers di kampus Fakultas Kedokteran Undip, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (13/9/2024).
Yan Wisnu menuturkan, ada berbagai macam perundungan yang terjadi di PPDS Anestesi. Salah satunya, mahasiswa dipekerjakan secara berlebihan. Dalam satu minggu, mahasiswa PPDS Anestesi bekerja lebih dari 80 jam per minggu. Hal itu dampak dari penerapan kebijakan operasi elektif 24 jam yang diberlakukan RSUP Dr Kariadi.
Selain itu, mahasiswa PPDS Anestesi juga diwajibkan membayar iuran dengan besaran Rp 20 juta-Rp 40 juta per bulan selama enam bulan pertama di PPDS Anestesi. Uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan makan, biaya sewa kendaraan operasional, biaya sewa indekos, biaya karaoke, dan biaya sewa lapangan sepak bola untuk senior-seniornya di PPDS Anestesi.
Direktur Layanan Operasional RSUP Dr Kariadi Mahabara Yang Putra mengatakan, lembaganya turut bertanggung jawab atas terjadinya perundungan tersebut. Menurut dia, kasus perundungan di PPDS Anestesi tersebut bakal dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi.
Yan Wisnu menyatakan, Fakultas Kedokteran Undip berkomitmen melakukan perbaikan dalam pelaksanaan PPDS. Hal itu agar terwujud sistem pendidikan dokter yang bermartabat, melindungi peserta didik, serta bermanfaat bagi negara.
”Kami mohon dukungan pemerintah dan masyarakat untuk melanjutkan PPDS, khususnya anestesi dan intensive care, agar kami dapat memberikan sumbangsih kepada negara, yakni untuk segera memenuhi kebutuhan sumber daya manusia dokter spesialis, sehingga mereka juga bisa segera terdistribusi ke seluruh Nusantara,” katanya.
Baca juga: Undip dan RSUP Dr Kariadi Akui Ada Perundungan, Perbaikan Bakal Dilakukan
Apa yang langkah polisi selanjutnya?
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Artanto menyebutkan, hingga Sabtu (14/9/2024) masih mendalami kasus dugaan perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan, dan pemerasan yang diduga menimpa ARL. Kasus itu dilaporkan keluarga ARL ke Polda Jateng, Rabu (4/9/2024).
Menurut Artanto, pengakuan Undip dan RSUP Dr Kariadi terkait perundungan bakal mempermudah proses penyelidikan yang tengah berjalan. ”Hal itu juga untuk mengungkap dan membuktikan kasus tersebut,” ujar Artanto, Sabtu (14/9/2024).
Artanto menyebut, polisi telah memeriksa 29 saksi. Mereka adalah keluarga dan teman satu angkatan di PPDS Anestesi. Selain itu, ada petugas Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Polisi juga memeriksa pihak-pihak yang berhubungan dengan ARL selama menjalani PPDS, pengurus angkatan PPDS Anestesi, serta bendahara angkatan PPDS Anestesi.
Saat disinggung perihal penetapan tersangka, Artanto mengatakan, hal itu sedang berporses. ”Mohon ditunggu. Ini akan berkembang dan penyidik yang akan menentukan (tersangka),” katanya.
Baca juga: Pengakuan Undip dan RSUP Dr Kariadi Jadi Petunjuk Polisi Ungkap Kasus Perundungan ARL
Apa respons Kementerian Kesehatan?
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, rumah sakit Kementerian Kesehatan tengah mengatur kontrak kerja sama dengan fakultas kedokteran terkait jam kerja. Hal ini diharapkan menekan potensi perundungan akibat jam kerja berlebihan yang selama ini tidak bisa diatur oleh rumah sakit.
”Selama ini karena dokternya (PPDS) bukan pegawai kami (RS Kementerian), jadi susah mengaturnya. Kami sudah meminta kerja sama formal dengan fakultas kedokteran supaya bisa mengatur jam kerja dokternya. Dengan kontrak ini, semua PPDS bisa ikut aturan rumah sakit sehingga ada perhitungan jam lemburnya,” tutur Budi, Sabtu (14/9/2024), di Bandung, Jawa Barat.
Jam kerja yang berlebihan ini berpotensi menjadi ajang perundungan, seperti yang terjadi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi dan Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Salah satu korban, ARL (30), bahkan mengakhiri hidupnya diduga karena tidak tahan menjadi sasaran perundungan saat menempuh PPDS Anestesi.
”Untuk kasus (perundungan) PPDS ini sudah diakui oleh Undip. Kami berupaya melakukan yang terbaik karena orang-orang mengeluh terkait hal ini. Sudah saatnya praktik seperti ini dihentikan, tidak usah ditutup-tutupi. Sudah ada yang meninggal, kasihan dokter-dokter muda kita,” tuturnya.
Baca juga: Cegah Perundungan, Kemenkes Minta Penyesuaian Jam Kerja PPDS
Kenapa keluarga ARL, mahasiswi PPDS Undip, akhirnya melapor ke polisi?
Beberapa waktu setelah ARL ditemukan meninggal, pihak keluarga akhirnya melapor ke Kepolisian Daerah (Polda) Jateng. Laporan itu dilayangkan pada Rabu (4/9/2024).
Kuasa hukum keluarga ARL, Misyal B Achmad, mengatakan, keluarga membuat laporan ke Polda Jateng demi tercapainya keadilan untuk ARL. Laporan itu baru disampaikan pada awal September lantaran keluarga masih berduka. Apalagi, sekitar dua pekan setelah kematian ARL, ayah ARL juga meninggal.
”Pelaporannya terkait pengancaman, intimidasi, pemerasan, ada beberapa. Untuk terlapornya adalah seniornya, mahasiswa PPDS Anestesi juga. (Jumlah terlapornya) Lebih dari satu,” ujar Misyal.
Baca juga: Keluarga ARL Laporkan Dugaan Perundungan di PPDS Anestesi Undip ke Polda Jateng
Misyal berharap, penyelidikan kasus itu bisa dikembangkan sampai ke pihak-pihak terkait yang turut membiarkan terjadinya perundungan terhadap ARL. Dia menyebutkan, dalam kesempatan sebelumnya, keluarga sudah berkali-kali melaporkan perundungan yang dialami ARL ke pihak Undip, termasuk ke kepala program studi terkait. Namun, tidak ada tindak lanjut atas laporan itu.
”Jangan sampai ada korban-korban lain karena ada indikasi korban-korban yang tidak berani mengadu. Mudah-mudahan ini jadi pintu masuk buat korban-korban lain agar berani mengadu supaya dunia kesehatan kita tidak terkontaminasi dengan hal-hal negatif,” ungkap Misyal.
Baca juga: Keluarga ARL Dorong Korban Perundungan di PPDS Melapor
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jateng Komisaris Besar Johanson Ronald Simamora menjelaskan, pihak keluarga melaporkan sejumlah dugaan tindak pidana yang menimpa ARL. Dugaan tindak pidana yang dilaporkan, antara lain, ialah perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan, dan pemerasan.
Hingga Kamis (5/9/2024) malam, polisi telah memeriksa 11 orang sebagai saksi terkait laporan tersebut. Orang-orang yang diperiksa itu adalah keluarga, teman angkatan ARL, dan perwakilan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Bagaimana pernyataan keluarga terkait kematian ARL?
Dalam kesempatan sebelumnya, keluarga ARL melalui kuasa hukumnya membantah korban meninggal karena bunuh diri. Menurut mereka, ARL meninggal karena sakit.
”Almarhumah meninggal karena sakit. Mungkin saat itu (dia) kelelahan karena keadaan darurat, dia menyuntikkan anestesi itu kelebihan dosis atau seperti apa. Intinya, keluarga menampik bahwa korban meninggal dunia karena bunuh diri,” tutur penasihat hukum keluarga ARL saat itu, Susyanto, Sabtu (17/8/2024).
Menurut Susyanto, ARL memang sedang dalam proses pengobatan sakit saraf terjepit pada bagian punggungnya. Bahkan, ARL sudah dua kali menjalani operasi terkait sakit yang dideritanya itu. Kendati sudah dioperasi, nyeri hebat yang diderita ARL masih sering kambuh, terutama ketika kelelahan.
Kematian ARL membuat keluarganya terpukul, terutama sang ayah, MF. Sekitar dua pekan setelah kematian ARL, MF meninggal pada Selasa (27/8/2028) dini hari setelah dirawat intensif di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta. ”Setelah anaknya meninggal, ayahnya sakit, terus dirawat. Keluarga sangat kehilangan,” ucap Miftahudin.
Baca juga: Keluarga Bantah Dokter PPDS Undip Bunuh Diri, Hasil Visum Mati Lemas
Apa saja dugaan perundungan yang dialami oleh ARL?
Kuasa hukum keluarga ARL, Misyal B Achmad, memaparkan, ARL mengalami berbagai jenis perundungan selama menjalani PPDS. Perundungan itu disebut terjadi sejak ARL pertama kali masuk PPDS, yakni sekitar tahun 2022.
Salah satu yang dialami ARL adalah keharusan bekerja dengan waktu yang berlebihan. Menurut Misyal, setiap hari ARL rata-rata harus bekerja dari pukul 03.00 hingga pukul 02.00 pada keesokan hari. Oleh karena itu, waktu untuk beristirahatnya sangat terbatas.
Akibat kelelahan bekerja, ARL disebut sempat terjatuh hingga masuk ke selokan. Peristiwa itu kemudian memicu sarafnya terjepit hingga harus menjalani dua kali operasi.
Bahkan, dia harus menyetorkan dan mengumpulkan uang untuk membayar orang yang mengerjakan jurnal-jurnal ilmiah atasannya. Perundungannya sampai seperti itu.
Di tengah rasa sakit akibat saraf terjepit itu, ARL juga disebut diminta mengangkat galon air, menyiapkan ruang operasi, hingga membeli, menyiapkan, dan membagikan makanan untuk puluhan seniornya dengan uang pribadinya.
”Bahkan, dia harus menyetorkan dan mengumpulkan uang untuk membayar orang yang mengerjakan jurnal-jurnal ilmiah atasannya. Perundungannya sampai seperti itu. Jadi miris kami melihatnya,” ungkap Misyal.
Sementara itu, Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengungkap adanya dugaan permintaan biaya di luar biaya pendidikan resmi kepada ARL oleh oknum di PPDS Anestesi. Biaya yang dikeluarkan oleh ARL berkisar Rp 20 juta sampai Rp 40 juta per bulan.
Biaya itu tidak hanya dikeluarkan ARL, tetapi juga mahasiswa PPDS lain di program yang sama. Biaya ini diduga menjadi pemicu awal tekanan yang dialami ARL.
Baca juga: Polda Jateng Selidiki Dugaan Pemalakan di PPDS Anestesi Undip
Bagaimana hasil penyelidikan polisi terkait kematian ARL?
Kepala Polrestabes Semarang Komisaris Besar Irwan Anwar mengatakan, berdasarkan visum yang dilakukan RSUP Dr Kariadi, ARL disebut meninggal karena mati lemas. Dalam pemeriksaan tersebut, petugas medis mendapati adanya luka akibat alat medis. Luka yang diduga merupakan luka bekas suntikan itu ditemukan pada punggung lengan kiri korban.
”Hasil visum ini tidak bisa menentukan penyebab kematian korban karena sifatnya hanya pemeriksaan luar. (Untuk memastikan penyebabnya) Harus melalui otopsi. Namun, pihak keluarga memohon untuk tidak dilakukan otopsi karena tidak ditemukan bekas kekerasan pada tubuh korban,” ujar Irwan.
Akibat kelelahan bekerja, ARL disebut sempat terjatuh hingga masuk ke selokan. Peristiwa itu kemudian memicu sarafnya terjepit hingga harus menjalani dua kali operasi.
Dari hasil olah tempat kejadian, polisi menemukan suntikan dan sisa obat di dalam botol bertuliskan ”Roculax”. Menurut informasi yang diperoleh Irwan dari pakar, obat itu digunakan untuk melemaskan otot yang kaku.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Jateng Komisaris Besar Artanto memaparkan, polisi tengah melakukan otopsi psikologi dalam kasus tersebut. Pemeriksaan itu diharapkan bisa memberikan gambaran mengenai kematian ARL.
Baca juga: Soal Perundungan di PPDS, Undip Minta Semua Pihak Tunggu Hasil Penyelidikan Polisi
Selain kasus ARL, di mana saja perundungan terhadap mahasiswa PPDS terjadi?
Dugaan perundungan terhadap mahasiswa PPDS tidak hanya terjadi dalam kasus ARL. Sejumlah mahasiswa PPDS di daerah-daerah pun dilaporkan mengalami perundungan. Sejak tahun 2023 terdapat 1.500 pengaduan yang diterima oleh Kemenkes. Dari jumlah itu, 356 laporan teridentifikasi sebagai kasus perundungan.
Sebanyak 211 laporan perundungan itu terjadi di rumah sakit vertikal milik Kemenkes dan 145 laporan terjadi di luar rumah sakit vertikal, termasuk di fakultas kedokteran di perguruan tinggi. Perundungan itu terjadi dalam berbagai bentuk, baik secara fisik, verbal, intimidasi, maupun nonverbal, seperti pemaksaan untuk mengeluarkan biaya di luar biaya pendidikan yang ditetapkan.
Salah satu kasus yang terungkap dialami enam mahasiswa PPDS Bedah Saraf Universitas Padjadjaran, Bandung. Mereka mengalami perundungan saat menjalani PPDS di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, pada tahun ini. Satu di antara mahasiswa PPDS itu bahkan mengundurkan diri karena diduga trauma.
Baca juga: Satu Mahasiswa Dokter Spesialis Unpad RSHS Berhenti Kuliah akibat Perundungan
Berdasarkan data kajian etik dan hukum perundungan di RSHS yang dikeluarkan Kemenkes, tindakan perundungan itu, antara lain, berupa kewajiban mengeluarkan dana di luar biaya pendidikan sebesar Rp 65 juta setiap mahasiswa. Dana ini untuk kebutuhan mahasiswa senior, seperti makan, menyewa mobil, serta membeli obat dan barang.
Tindakan lainnya adalah pemukulan terhadap salah satu mahasiswa sebagai hukuman saat terlambat. Ada juga penggunaan kata kasar untuk mahasiswa yunior, khususnya perempuan.
Mahasiswa yunior pun diperintahkan melaksanakan tugas di luar pendidikannya, seperti menyemir sepatu, menjaga binatang peliharaan, serta mengantar pakaian ke tempat pencucian pakaian (laundry).
Kompas juga menerima pengaduan dari sejumlah pihak terkait perundungan mahasiswa PPDS. Salah satunya datang dari EG (40), dokter spesialis di Jateng, yang mengaku mengalami berbagai jenis perundungan saat menempuh PPDS.
Ketika menjalani PPDS, EG mengaku mengalami dua kali keguguran kehamilan. Hal itu terjadi karena ia mendapat beban kerja yang terlampau berat dari seniornya. Dia juga mengaku mendapat tugas jaga sampai enam kali seminggu saat berstatus mahasiswa PPDS.
Baca juga: Calon Dokter Spesialis Alami Kekerasan Seksual, dari Kelelahan sampai Keguguran
Selain itu, EG mengaku mengalami kekerasan seksual secara verbal. Sejumlah temannya juga disebut pernah mengalami kekerasan seksual secara fisik.
Menanggapi kasus perundungan terhadap mahasiswa PPDS, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan perlunya hukuman tegas bagi pihak yang bersalah. ”Kalau dihukum, saya rasa orang akan melihat, ’Oh, ini baik, ini tidak baik. Kalau tidak baik, dihukum. Dengan demikian, mereka akan memilih jalan yang baik,’” ucapnya.