Aligator Gar, Monster bagi Ekosistem Lokal
Aligator gar, predator invasif yang mengancam ekosistem perairan lokal, bisa memicu kepunahan ikan-ikan asli.
Aligator gar, ikan predator asal Amerika, telah lama dipelihara oleh para pencinta ikan. Namun, ikan asal Amerika utara ini berbahaya jika masuk ke ekosistem perairan lokal. Sebab, ikan ini akan berkompetisi dan menjadi predator bagi ikan-ikan setempat.
Piyono (61), warga Kota Malang, Jawa Timur, baru saja menerima vonis 5 bulan kurungan dan denda Rp 5 juta oleh Pengadilan Negeri Malang pada 9 September 2024. Ia dinyatakan bersalah lantaran memelihara delapan ekor ikan predator jenis aligator gar di kolam miliknya.
Hakim menyatakan terdakwa melanggar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No 31/2004 tentang Perikanan juncto Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 19/PERMEN-KP/2020 tentang Larangan Pemasukan Pembudidayaan, Peredaran, dan Pengeluaran Jenis Ikan yang Membahayakan dan/atau Merugikan.
Vonis yang diterima Piyono lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa menuntut terdakwa 8 bulan subsider 2 bulan penjara dan denda Rp 10 juta.
”Ikan itu dibeli buat isi kolam. Tidak tahu ikan itu dilarang, dipelihara selama 16 tahun, tetapi baru dipermasalahkan sejak Februari 2024. Kemarin saya lihat di pasar juga masih banyak yang jualan,” ujar Aji Nuryanto, anak Piyono.
Awalnya, Piyono membeli ikan itu saat masih seukuran jari telunjuk orang dewasa. Ada delapan ekor yang ia beli, tetapi tiga di antaranya mati. Saat ini tinggal lima ekor yang masing-masing berukuran 1 meter.
Terlepas dari proses hukum tersebut, sebenarnya apakah aligator gar atau Atractosteus spatula itu? Bagi mereka yang punya hobi memelihara ikan, jenis ikan yang fisiknya menyerupai perpaduan antara ikan dan buaya atau aligator ini sudah tidak asing. Namun, tak sedikit pencinta ikan yang belum mengenalnya.
Aligator gar memiliki tubuh gilig memanjang. Ukuran kepalanya lebih kecil dari tubuh dengan moncong mirip buaya. Sejumlah referensi menyebut ada dua genus dan tujuh spesies dari ikan ini dengan ukuran maksimal mulai dari 100 sentimeter sampai 300 cm.
Dari pengamatan Kompas, ikan ini masih bisa dijumpai di beberapa pedagang di Malang, Jawa Timur, mulai dari yang diberi embel-embel alligator atau florida yang masih berukuran sekitar 15 cm dengan harga Rp 20.000 per ekor sampai yang berukuran 40-an cm dengan harga Rp 300.000 per ekor dengan embel-embel nama spatula.
Di beberapa grup komunitas ikan predator di media sosial ada ikan serupa. Bahkan, ada yang sudah berukuran 1 meter yang ditawarkan untuk dijual. Mengenai harga, sang penjual menyampaikan lewat inbox alias hanya diketahui oleh penjual dan calon pembeli.
Imut memang saat ukuran ikannya masih kecil. Ikan ini berenang tenang sambil bergerombol. Moncongnya yang cukup panjang akan langsung mengatup dan menggigit mangsa yang diberikan kepadanya, biasanya berupa ikan-ikan atau udang kecil.
Baca juga: Pelihara Ikan Predator Warga Malang Divonis 5 Bulan
Namun, ikan ini bisa terus tumbuh dan membesar seperti ”saudaranya” yang juga populer dari perairan Amazon di Amerika Selatan, yakni Arapaima gigas. Tentu saja, saat ukuran fisiknya kian besar, akuarium biasa tidak lagi cukup untuk menampung. Sang empunya mesti menyiapkan kolam yang lebih besar.
Arapaima berukuran besar pernah ditemukan di aliran Sungai Brantas. Pada tahun 2018, sedikitnya 18 ekor arapaima ditangkap dari wilayah Mojokerto, Sidoarjo, dan Surabaya. Ternyata, ikan-ikan itu milik seorang warga yang kemudian dilepasliarkan ke sungai lantaran yang bersangkutan kewalahan memeliharanya.
”Kami pernah menemukan arapaima di Surabaya, Mojokerto, dan Sidoarjo. Kami melakukan pemberantasan dalam kegiatan rehabilitasi ekosistem sungai,” ujar Alaika Rahmatullah, Divisi Edukasi Lembaga Kajian Ekologi (Ecoton), Jumat (13/9/2024).
Selain arapaima yang pernah menggemparkan jagat maya, ada juga ikan ”pendatang” lain di Brantas, seperti lele dumbo dan sapu-sapu.
Menurut Alaika, keberadaan ikan predator dari benua lain itu berbahaya karena akan berkompetisi dalam mencari makan dengan ikan lokal. Ikan lokal biasanya akan kalah. Akhirnya, ikan lokal tidak bisa bertahan dan dalam jangka panjang dan punah.
Dia mencontohkan ikan papar atau belida di Brantas. Meski belida juga predator lokal, ikan ini kalah dengan predator lain. ”Akhirnya sekarang terancam punah,” ujarnya.
Guru Besar Bidang Ilmu Eksplorasi Sumber Daya Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang, Dewa Gede Raka Wiadnya mengatakan, aligator gartermasuk dalam famili Lepisosteidae. Mereka terbagi dalam dua genus dan tujuh spesies.
Ikan yang dipelihara Piyono merupakan Atractosteus spatula dengan nama dagang aligator gar yang memiliki ukuran paling besar dengan panjang dewasa bisa mencapai 3 meter.
Enam spesies lainnya adalah Atractosteus tristoechus atau dengan nama dagang cuban gar, Atractosteus tropicus atau tropical gar, Lepisosteus oculatus atau spotted gar, Lepisosteus osseus atau longnose gar, Lepisosteus platostomus atau shortnose gar, dan Lepisosteus platyrhincus dengan nama dagang florida gar.
”Semua merupakan predator puncak. Bukan ikan asli Indonesia. Kalau ditemukan di Indonesia, berarti termasuk ikan introduksi. Kemungkinan dimasukkan ke Indonesia sebagai ikan hias. Ikan ini akan berbahaya jika dilepaskan ke lingkungan,” ujarnya.
Baca juga: Mengapa Orang Indonesia Mengonsumsi Sedikit Ikan
Ikan predator membutuhkan kuantitas makanan yang banyak. Karena buas, mereka bisa mengonsumsi ikan apa saja di lingkungan yang alami. Untuk memelihara ikan tertentu, kemungkinan mesti ada izin dari pihak berwenang.
Menurut Gede Raka, pada dasarnya semua jenis ikan dari luar negeri yang masuk ke Indonesia harus melewati pengkajian mandalam. Sebab, setelah berada di Indonesia dan ikan itu masuk ke lingkungan alami, keberadaannya bisa berpotensi mengganggu keseimbangan komunitas spesies lokal.
Khusus untuk ikan predator, keberadaannya dinilai berbahaya karena akan memangsa ikan lain. Jenis ikan ini akan memakan ikan yang ukurannya lebih kecil sehingga struktur komunitas ikan yang ada di sebuah perairan bisa terganggu.
Pemerintah perlu berhati-hati memberikan izin terbatas pada pemasukan jenis ikan tertentu.
Sejumlah spesies ikan yang berkembang di Tanah Air sebenarnya berasal dari negara lain. Sejumlah spesies akhirnya diterima, seperti lele dumbo, nila, dan ikan mas. ”Nila itu sebenarnya bukan asli Indonesia. Ikan nila bisa berkompetisi dengan jenis ikan yang lain. Beda dengan aligator gar yang bersifat sebagai predator,” ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu berhati-hati untuk memberikan izin terbatas pada orang atau perusahaan yang ingin memasukkan jenis ikan tertentu. Sebab, jika lepas di perairan umum, keberadaannya akan mengganggu keseimbangan ikan yang lain.
Langkah serupa, kata Gede Raka, dilakukan negara-negara lain. ”Ada kasus ikan dari Thailand yang masuk ke Amerika. Setelah di sana, si ikan menjadi predator karena mencapai ukuran besar. Itu jadi masalah juga,” ujarnya.
Para pencinta ikan mesti bijaksana saat memelihara ikan. Jangan sampai kesenangannya justru berujung pada rusaknya ekosistem. Pemangku kepentingan pun mesti waspada.