Timbulkan Kontroversi, Pemasangan Catra di Candi Borobudur Ditunda
Rencana pemasangan catra di Candi Borobudur ditunda. Sejumlah ahli arkeologi pun menolak pemasangan catra.
SLEMAN, KOMPAS — Rencana pemasangan catra atau payung pada bagian puncak stupa induk Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menimbulkan kontroversi. Sejumlah ahli arkeologi menolak rencana itu karena stupa induk di Candi Borobudur diyakini tidak memiliki catra. Pemerintah akhirnya menunda rencana itu dengan alasan perlu studi lebih mendalam terkait pemasangan catra.
Kontroversi tersebut, antara lain, dibahas dalam acara Diskusi Permasalahan Rencana Pemasangan Catra Borobudur, Kamis (12/9/2024), di Kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dosen Arkeologi UGM, Aditya Revianur, memaparkan, berdasarkan berbagai studi, candi-candi di Indonesia tidak memiliki catra pada bagian stupa induknya. Selain itu, relief Gandawyuha di Candi Borobudur juga menggambarkan stupa besar tanpa catra.
”Berdasarkan perbandingan dengan relief dan candi-candi yang sezaman, stupa induk Candi Borobudur itu tidak memiliki catra,” kata Aditya dalam diskusi tersebut.
Aditya menuturkan, keberadaan stupa yang tak memiliki catra itu bisa disebut sebagai ciri khas arsitektur candi di Nusantara. Dia menilai, kondisi itu terjadi karena para pembuat candi di Nusantara pada masa lalu telah mempertimbangkan kerawanan bencana, seperti gempa bumi dan sambaran petir, yang berpotensi merusak catra dan membahayakan orang yang beraktivitas di candi.
Menurut Aditya, di Indonesia memang ditemukan sejumlah stupa yang memiliki catra. Namun, stupa-stupa dengan catra itu berukuran kecil, tidak berbentuk candi yang besar. Itulah kenapa, para arkeolog meyakini bahwa di stupa induk Candi Borobudur pada masa lalu tidak terdapat catra.
Baca juga: Pemasangan Catra Candi Borobudur Perlu Memperhatikan Aspek Religi
Aditya menyatakan, catra yang akan dipasang di Candi Borobudur itu merupakan hasil rekonstruksi yang dilakukan Theodoor van Erp, ahli yang memimpin pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1907-1911. Van Erp sempat memasang catra hasil rekonstruksi itu di Candi Borobudur, tetapi kemudian menurunkannya lagi.
”Saat catra itu dipasangkan, ternyata tidak pas atau tidak cocok sehingga diturunkan lagi karena dia (Van Erp) menyadari bahwa itu salah,” ujar Aditya.
Aditya juga mengungkapkan, ternyata tidak semua batu untuk merekonstruksi catra bersusun 13 itu merupakan batu asli yang ditemukan di sekitar Candi Borobudur saat itu. Berdasarkan kajian Balai Konservasi Borobudur, dari keseluruhan batu penyusun catra itu, hanya 42 persen yang merupakan batu asli dari sekitar Candi Borobudur.
Oleh karena itu, Aditya berharap catra tersebut tidak dipasang di stupa induk Candi Borobudur. ”Menurut saya pribadi, karena sudah ada bukti-bukti itu, ya, seharusnya tidak sepantasnya untuk dipasang. Dan itu (tidak dipasangnya catra) juga tidak mengurangi keutamaan Candi Borobudur,” tuturnya.
Berdasarkan perbandingan dengan relief dan candi-candi yang sezaman, stupa induk Candi Borobudur itu tidak memiliki catra.
Menimbulkan polemik
Dosen Arkeologi UGM lainnya, Niken Wirasanti, mengatakan, keberadaan catra hasil rekonstruksi Van Erp itu sudah beberapa kali menimbulkan polemik. Dia menuturkan, pada masa lalu, sejumlah pihak memutuskan untuk meletakkan catra itu di Museum Karmawibhangga di kompleks Candi Borobudur.
Hal itu dilakukan dengan harapan bisa menjadi contoh kekeliruan dalam pemasangan catra di Candi Borobudur. ”Keinginan banyak pihak ini bisa menjadi pembelajaran agar jangan terulang lagi pemasangan catra itu,” ungkap Niken.
Baca juga: Candi Borobudur Masih Menyimpan Banyak Misteri
Akan tetapi, sejumlah orang yang melihat catra tersebut justru berpikir berbeda. Mereka berpendapat, karena pernah dipasang oleh Van Erp, catra itu juga bisa dipasang lagi sekarang. Itulah kenapa, pada tahun 2018 muncul keinginan untuk memasang catra itu meski akhirnya ditunda. Kini, keinginan untuk memasang catra tersebut juga muncul kembali.
Terkait rencana pemasangan itu, Niken pun mempertanyakan bentuk catra seperti apa yang akan dipasang. Hal ini karena terdapat beberapa jenis catra dengan bentuk yang berbeda. Di sisi lain, catra hasil rekonstruksi Van Erp sudah diakui salah sehingga tidak bisa dipasang.
”Kalau mau dipasang catra, bentuknya seperti apa? Karena ada banyak sekali contoh. Jangan menggunakan yang (hasil rekonstruksi) Van Erp karena itu sudah jelas salah,” paparnya.
Tujuh langkah
Kementerian Agama menyatakan, pemasangan catra di stupa induk Candi Borobudur diputuskan untuk ditunda. Penundaan itu merupakan hasil Rapat Koordinasi Tingkat Menteri Terkait Pelestarian Candi Borobudur sebagai Situs Warisan Dunia.
Rapat itu dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Borobudur.
Berdasarkan keterangan tertulis dari Kemenag, penundaan itu sesuai dengan hasil kajian teknis dan detail engineering design (DED) yang dilakukan tim ahli Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Hasil kajian itu menyimpulkan perlunya studi lebih mendalam tentang otentisitas catra.
Oleh karena itu, rencana peresmian catra di Candi Borobudur pada 18 September 2024 ditunda untuk dievaluasi kembali agar selaras dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya serta Konvensi Warisan Dunia Tahun 1972.
Baca juga: Borobudur Jadi Destinasi Wisata Religi, Potensi Kunjungan 2 Juta Orang Per Tahun
Juru Bicara Kemenag Sunanto menyatakan, dari hasil kajian teknis pakar BRIN yang dilakukan atas permohonan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kemenag, kondisi material saat ini belum memungkinkan pemasangan catra karena kondisi batu yang antara lain tidak utuh.
”Berdasarkan hasil kajian teknis yang komprehensif, meliputi pengamatan langsung, pengukuran, pengujian, serta perhitungan dan analisis kekuatan, bahwa kondisi material catra ada yang tidak utuh atau terbagi banyak bagian batu dan batu bahan material tidak memiliki kait antarbatu. Maka, diperlukan tahapan yang harus dikoordinasikan sesuai ketentuan yang berlaku,” kata pria yang akrab disapa Cak Nanto itu dalam keterangan yang dimuat di situs Kemenag, Rabu (11/9/2024).
Dengan kondisi material catra itu, Cak Nanto menyebutkan, Kemenag berencana melakukan pembahasan lebih lanjut terkait pendekatan adaptasi untuk catra dengan menekankan aspek spiritual umat Buddha.
Selain itu, Kemenag juga berkomitmen untuk mematuhi prosedur dan kaidah yang diatur dalam UU Cagar Budaya serta Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya.
Cak Nanto menambahkan, ada tujuh langkah tindak lanjut yang akan ditempuh agar target pemasangan catra bisa selesai dalam waktu satu tahun serta sesuai dengan UU Cagar Budaya dan Konvensi Warisan Dunia Tahun 1972.
Langkah pertama, proses adaptasi untuk pemasangan catra di Candi Borobudur dimulai dengan penyusunan dokumen rencana kegiatan adaptasi yang komprehensif. Kedua, menyempurnakan dokumen studi kelayakan yang mencakup kajian spiritual, kajian teknis, dan DED.
”Ketiga, melakukan komunikasi intensif dengan semua pemangku kepentingan untuk mencapai konsensus yang akan diintegrasikan ke dalam studi kelayakan,” katanya.
Keempat, tim kajian dampak cagar budaya yang baru perlu ditunjuk untuk mengevaluasi dampak berdasarkan dokumen-dokumen yang telah disusun, lalu dilakukan uji publik.
Kelima, mengajukan permohonan izin dan konsultasi kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) serta Dewan Internasional Monumen dan Situs (ICOMOS).
Keenam, mengajukan permohonan izin adaptasi ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan memperoleh rekomendasi positif dari Dewan Pengarah Badan Otorita Borobudur. Ketujuh, pemasangan catra hanya dapat dilaksanakan setelah mendapatkan izin adaptasi resmi dari Kemendikbudristek.
”Sejumlah langkah tersebut ditargetkan dalam satu tahun ke depan untuk selanjutnya direalisasikan pemasangan catra di Candi Borobudur dengan baik sesuai ketentuan yang berlaku untuk memenuhi harapan umat Buddha,” kata Cak Nanto.