Prabowo-Gibran Diminta Kedepankan Hak-hak Masyarakat Pesisir
Prabowo-Gibran perlu meninjau kebijakan yang merugikan pesisir. Masyarakat pesisir berhak hidup sehat dan sejahtera.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·3 menit baca
MALUKU TENGAH, KOMPAS — Menjelang transisi kekuasaan, pemerintahan Prabowo-Gibran diminta untuk tidak melanjutkan serta meninjau ulang kebijakan pemerintah sebelumnya yang merugikan pesisir. Sejumlah kebijakan, seperti zonasi pesisir, penerbitan izin pertambangan baru, hingga perluasan kawasan konservasi jangan sampai merugikan masyarakat pada masa depan. Kawasan Indonesia Timur menjadi salah satu yang paling terdampak bila kebijakan terus berlanjut.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara Faizal Ratuela menjelaskan, kegiatan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya di Maluku Utara perlu ditinjau ulang. Bahkan, pemerintah didesak untuk tidak lagi menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) baru di wilayah tersebut. Hal tersebut dinilai penting mengingat dampaknya yang kian meresahkan.
Kehadiran kawasan industri nikel khususnya di Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Timur dianggap merusak mata pencarian nelayan. Dibangunnya kawasan industri membuat pesisir tercemar limbah logam berat. Alhasil, wilayah tangkapan nelayan semakin jauh.
”Industri yang tumbuh lewat kebijakan proyek strategis nasional membuat masyarakat pesisir semakin rentan terhadap kemiskinan dan ancaman bencana ekologi,” ujarnya di Banda Naira, Maluku Tengah, Maluku, Kamis (12/9/2024).
Selain ekonomi, kesehatan masyarakat juga terdampak, khususnya dengan tumbuhnya pabrik pengolahan (smelter) nikel. Smelter membutuhkan dukungan listrik besar sehingga menuntut adanya pembangkit listrik bertenaga batubara. Polutannya bisa mencemari udara.
Pencemaran yang berdampak pada kerusakan wilayah tangkapan ini juga ditemukan tim Kompas dalam liputan Jelajah Laut Papua-Maluku pada Oktober-November 2023 lalu. Kerusakan yang terjadi membuat nelayan di Teluk Weda, Halmahera Tengah dan Teluk Buli, Halmahera Timur melaut lebih jauh (Kompas, 7/11/2023).
Hingga kini, tercatat ada sekitar 114 IUP yang ada di Maluku Utara. Mayoritas berasal dari pertambangan nikel yang terus bertumbuh sejak kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi dilakukan. Lokasinya banyak memakan wilayah pesisir.
Berdasarkan penghitungan Centre for Research of Energy and Clean Air (CREA) yang dirilis Februari 2024, baku mutu polutan PM 2,5 tahunan di lingkar tambang di Maluku Utara dan sebagaian Sulawesi, kini mencapai 15-20 µg per m3 (mikrogram per meter kubik). Angka ini berada di atas batas maksimal yang ditetapkan pemerintah sebesar 15 µg per m3, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 µg per m3.
Industri yang tumbuh lewat kebijakan proyek strategis nasional membuat masyarakat pesisir semakin rentan terhadap kemiskinan dan ancaman bencana ekologi.
Bila kapasitas PLTU ditingkatkan hingga tahun 2030, CREA mengestimasikan, sebanyak 5.000 masyarakat di lingkar tambang di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara bisa meninggal akibat cemaran udara.
Kawasan konservasi
Selain tidak meninjau ulang serta menerbitkan IUP baru, pemerintahan Prabowo-Gibran juga diminta untuk mengevaluasi kebijakan lain. Kebijakan seperti perluasan kawasan konservasi dan penetapan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Tuntutan ini terhimpun dalam Resolusi Banda Naira, yang menjadi bagian dalam pertemuan .
Resolusi ini digagas oleh Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia, yang merupakan simpul pegiat lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia Timur. Tuntutan tersebut diharapkan menjadi rekomendasi dalam pembuatan kebijakan untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Direktur Jala Ina Maluku Yusuf Sangadji menjelaskan, kebijakan penetapan kawasan konservasi hingga 30 persen di 2045 perlu dirumuskan dengan cermat, agar tidak merugikan nelayan kecil. Kawasan konservasi ditujukan untuk menjaga sumber daya kelautan. Hanya, aturan ini akan mempersempit ruang tangkap nelayan kecil, karena adanya zona pembatasan tangkapan.
Padahal, masyarakat Maluku atau Indonesia bagian timur pada umumnya, memiliki kearifan lokal soal konservasi yang terwujud dalam praktik turun-temurun, yakni sasi. Lewat sasi, masyarakat adat akan membatasi aktivitas penangkapan dalam kurun waktu tertentu.
”Penetapan kawasan konservasi harus juga mengakui hukum masyarakat adat yang berlaku karena mereka juga punya pengetahuan soal pelestarian lingkungan,” ujarnya.
Kebijakan lain yang perlu jadi perhatian adalah penetapan RZWP3K. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Parid Ridwanuddin menjelaskan, aturan tersebut belum berpihak pada masyarakat pesisir. Berdasarkan data dari puluhan RZWP3K yang diterbitkan di tingkat pusat atupun provinsi, dari total 3.590.883 hektar pesisir, hanya 1.256 hektar yang diperuntukkan untuk kegiatan nelayan.
Ia menambahkan, sisanya akan direklamasi atau kepentingan industri lainnya. Peraturan tersebut dinilai tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem laut. ”Pemerintahan Prabowo-Gibran wajib mengedepankan hak-hak masyarakat pesisir, khususnya di timur Indonesia sebagai agenda utama pemerintah,” ujarnya.