Beban ganda perempuan petani masih belum dilihat sebagai kekuatan pertanian. Mereka masih dianggap membantu suaminya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·2 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Perempuan petani masih belum dianggap pekerja meski memiliki peran ganda. Selain punya peran di dalam rumah, perempuan petani juga punya peran besar saat berladang.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik yang diselenggarakan Yayasan Gemawan dan Yayasan Insan Hutan Indonesia (YIHUI) di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (12/9/2024). Kegiatan itu juga jadi tanda berakhirnya kajian dua lembaga tersebut dalam tema petani perempuan dan strategi masa depan.
Kedua yayasan tersebut melakukan Kajian di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Mereka melakukan kajian di dua desa tiap provinsi. Di Kalteng, dua desa tersebut adalah Desa Pilang dan Desa Simpur.
Dari hasil kajian tersebut, bisa dilihat perempuan petani masih menemukan banyak kendala. Terdapat lima tantangan besar perempuan petani di Kalteng, antara lain, akses pengetahuan dan informasi yang minim, tata niaga yang begitu panjang, minim peran kepemimpinan, kebijakan yang belum melindungi perempuan petani, dan beban ganda perempuan.
Di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kompas pernah berjumpa dengan Mama Abe (46) yang berjualan sayur kuah keliling kampungnya. Ia bersama suaminya, Ardianto, membuat sayur kuah siap makan itu sebagai siasat karena kerap gagal panen di ladangnya.
Gagal panen terjadi lantaran Mama Abe dan suaminya biasa berladang tradisional, tetapi sejak larangan membakar mereka kesulitan mengolah ladangnya. Pemerintah pun datang dengan solusi melalui food estate. Sayangnya, solusi itu justru menambah masalah baru bagi warga, khususnya peladang tradisional.
Mereka yang biasa berladang dipaksa untuk mengolah lahan persawahan. Gaya bertani itu perlu waktu untuk dipelajari, tetapi Mama Abe dan Ardianto juga warga Pilang lainnya tetap menanam di sawahnya dengan harapan hasil panen padi yang sama ketika saat berladang.
Selain mengurus rumah, kata Mama Abe, dirinya juga harus menyiapkan sarapan anaknya yang masih di bangku sekolah dasar, menyiapkan benih, membersihkan rumput liar di sawah, hingga menebar benih.
”Untung kami menanam sayuran di pematang sawah, jadi masih bisa dijual,” kata Mama Abe. Menurut dia, daripada menjual sayur mentah lebih baik memasaknya terlebih dahulu lalu dijual, harganya lebih mahal. Meski tidak membuat dalam porsi besar, sayur kuah yang berisi daun singkong, kelakai, dan berbagai sayuran lainnya itu selalu ludes terjual ke rumah-rumah tetangganya.
Peran luar biasa Mama Abe itu merupakan bukti bahwa perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata dalam sektor pertanian. Manajer Program Yihui Arul mengatakan, dalam kajian mereka ditemukan banyak perempuan tidak bisa mengambil keputusan dalam pengelolaan sumber daya, baik dalam pertanian maupun perladangan.
Padahal, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), perempuan menyumbang setidaknya 43 persen tenaga kerja pertanian di negara-negara berkembang. Mereka terlibat dalam berbagai kegiatan pertanian, seperti penanaman, pemeliharaan tanaman, panen, dan pengolahan hasil pertanian.
Meskipun demikian, akses perempuan terhadap sumber daya produktif, seperti tanah, air, dan pembiayaan, sering kali terbatas. Ini membatasi kemampuan mereka untuk meningkatkan produktivitas dan mencapai keberlanjutan dalam pertanian.
”Perlu ada sistem atau strategi yang dibangun agar peran perempuan petani tidak dianggap sebelah mata,” ungkap Arul.
Arul menambahkan, dari sisi kebijakan pun harusnya ada aturan yang mampu melindungi peran perempuan petani sehingga mereka bisa mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki. ”Ada gap pengetahuan dan informasi tentang banyak hal sehingga aktivitas mereka pun terbatas,” kata Arul.
Perlu ada sistem atau strategi yang dibangun agar peran perempuan petani tidak dianggap sebelah mata.
Menurut Arul, melalui partisipasi aktif perempuan, masyarakat dapat membangun masa depan pertanian yang lebih berkelanjutan, adil, dan sejahtera.