Ambisi pemerintah mengatrol investasi asing justru menimbulkan konflik agraria yang menggerus kemanusiaan di Rempang.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Sudah satu tahun kehidupan warga koyak akibat konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Pemerintah didorong menciptakan dialog yang lebih manusiawi, tidak lagi menganggap relasi manusia dan tanah sebatas kepentingan ekonomi.
Hari ini, satu tahun yang lalu, Karim (54), meringkuk di balik jeruji penjara. Ia dan enam warga ditangkap polisi karena menghadang aparat gabungan yang akan mengukur lahan untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City pada 7 September 2023.
”Saya dipenjara 10 hari. Yang ada di pikiran waktu itu hanya anak dan istri makan apa,” kata Karim, Rabu (11/9/2024).
Karim adalah warga Blongkeng, satu dari lima kampung yang bakal tergusur tahap pertama pembangunan PSN Eco City. Ada sekitar 855 keluarga yang bermukim di lima perkampungan adat Melayu tersebut.
Sebetulnya sampai sekarang saya tidak mengerti apa kesalahan saya. Mereka (aparat) yang memaksa masuk kampung, tetapi malah kami yang dipenjara.
Karim adalah nelayan tradisional dengan penghasilan harian. Selama ia dipenjara, istri Karim harus mengutang ke tetangga untuk menghidupi empat anak mereka.
”Sebetulnya sampai sekarang saya tidak mengerti apa kesalahan saya. Mereka (aparat) yang memaksa masuk kampung, tetapi malah kami yang dipenjara,” ujar Karim.
Setelah berbulan-bulan dilanda trauma, pelan-pelan Karim mulai kembali mengikuti aktivitas warga menolak penggusuran. Menurut dia, mempertahankan tanah leluhur adalah kewajiban dan dorongan nurani.
Pembangunan tahap pertama PSN Eco City mencakup proyek kawasan industri terpadu, yang salah satunya pabrik kaca untuk panel surya dari investasi perusahaan China, Xinyi International Investments Limited. Oleh karena itu, warga yang bermukim pada lima kampung akan digusur ke perumahan yang disiapkan pemerintah di Kampung Tanjung Banun, yang juga berada di Pulau Rempang.
Dewan Penasihat Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor University, Rina Mardiana, menyebut, slogan Eco City dalam PSN di Rempang hanya pepesan kosong. Pemerintah menggunakan narasi ekonomi berkelanjutan, tetapi praktik di lapangan sama sekali tidak mencerminkan hal itu.
”Konflik yang muncul akibat proyek ini telah menggerus sendi-sendi kemanusiaan dan sistem penghidupan masyarakat. Itu tidak pernah diperhitungkan sebagai biaya yang lebih mahal daripada target pertumbuhan ekonomi semata,” kata Rina.
Langkah pemerintah menggusur warga Rempang ke hunian sementara di Batam memicu konflik horizontal. Rina mengatakan, hal menjadi cermin tindakan pemerintah yang mengebut pencapaian kuantitatif dan tutup mata terhadap pertentangan antarwarga.
Ia juga mengkritik langkah pemerintah yang berencana memindahkan warga di lima kampung ke satu tempat relokasi. Sejauh ini tidak ada kajian yang bisa menjamin lingkungan pesisir dan lahan pertanian di Tanjung Banun bakal mencukupi untuk menyokong kehidupan 855 keluarga yang digusur ke sana.
”Kalau betul PSN Eco City memandang masyarakat asli Rempang secara inklusif, seharusnya warga tidak digusur. Cara itu tidak berkebudayaan dan ahistoris,” tutur Rina.
Pada 9 September lalu, Badan Pengusahaan (BP) Batam memublikasikan rilis pers yang isinya menyatakan pembangunan rumah relokasi di Tanjung Banun jumlahnya sudah mencapai 60 unit. Disebutkan juga bahwa tiga keluarga akan dipindahkan dari hunian sementara di Batam ke rumah relokasi pada 25 September.
Ini tidak sesuai dengan pernyataan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso yang datang ke Batam pada 26 Agustus lalu. Waktu itu, ia mengatakan, warga yang setuju digusur sudah dapat pindah ke rumah relokasi pada 1 September.
Kalau betul PSN Eco City memandang masyarakat asli Rempang secara inklusif, seharusnya warga tidak digusur. Cara itu tidak berkebudayaan dan ahistoris.
Kompas telah mengirimkan daftar pertanyaan kepada Ketua Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Rempang Eco City Sudirman Saad lewat Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait sejak 5 September. Namun, belum ada jawaban sampai saat ini.
Konflik agraria di Pulau Rempang telah berlangsung selama satu tahun, terhitung sejak pecah bentrok aparat dan warga pada 7 September 2023. Rina menilai, pemerintah harus membangun dialog yang lebih manusiawi ke tingkat tapak dengan itikad yang baik.
”Pemerintah harus melihat bahwa gerakan warga di Rempang bukan dilakukan segelintir elite. Itu perjuangan entitas yang merasa ruang penghidupan dan identitas kulturalnya terganggu. Cobalah membangun dialog yang empatik, bukan dengan memata-matai atau mengintimidasi,” kata Rina.
Selama ini pemerintah hanya memandang tanah di Rempang sebagai aset produksi yang nilainya bisa ditukar dengan sepetak tanah di tempat lain. Padahal, tanah selalu memiliki ikatan batin dengan masyarakat karena mengandung sisi kultural dan spiritual.
Pada 7 September lalu, warga Rempang yang menolak penggusuran berkumpul di hutan Lubuk Lanjut yang diyakini menjadi titik awal perkampungan di Rempang. Makam kuno di lokasi itu menjadi tanda bahwa masyarakat di Rempang telah ada jauh sebelum RI merdeka.
Salah satu warga, Sani (64) mengatakan, mereka menganggap tanah sebagai ibu yang harus dijaga dan disayangi. Nilai sepetak tanah tidak selalu bisa ditukar dengan uang, ada marwah dan sejarah yang melekat (Kompas.id, 7/9/2024).
Adapun warga lain, Siti Hawa (70), mengibaratkan, sikap pemerintah dalam konflik Rempang seperti pohon pisang yang punya jantung, tetapi tidak punya hati. Ia menganggap pemerintah tutup mata dan tidak mau mengerti perasaan masyarakat Rempang (Kompas, 8/9/2024).