Raja Sabu Ditangkap, Kampung Puntun di Kalteng Ingin Bebas dari Sandera Narkoba
Saleh, si raja sabu dari Puntun, tertangkap setelah buron 2 tahun. Puntun dikenal sebagai kampung narkoba di Kalteng.
Puntun, kawasan padat penduduk di Kelurahan Pahandut, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, telanjur dikenal dengan citra buruknya. Puntun telanjur tenar sebagai kampung narkotika dan obat terlarang.
Beberapa hari terakhir, Puntun kembali diperbincangkan. Setelah lama buron, Saleh, si raja sabu dari Puntun, tertangkap. Meski tidak mudah, momen ini ingin dijadikan sebagian warga Puntun bebas dari sandera narkoba.
Dalam bahasa setempat, puntun berarti wadah atau tempat menyimpan barang para penebang kayu. Dulu, Puntun sempat menjadi tempat persinggahan pedagang dan penebang kayu asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Tidak heran apabila sebagian besar penduduknya adalah perantau Banjarmasin. Mereka juga masih bekerja dalam bisnis pemotongan kayu.
”Puntun sudah ada sejak 1960-an. Daerah ini awalnya hutan rawa gambut dan rumah lanting, rumah khas Banjar yang mengapung di sungai,” kata H Juhri (70), Ketua RW 027 Pahandut, Selasa (10/9/2024).
Meski sejak lama menjadi tempat persinggahan, bukan perkara mudah menuju daerah sekitar 2 kilometer dari pusat Kota Palangka Raya. Kampung itu hanya bisa diakses menggunakan kendaraan roda dua.
Beberapa gang memang terlihat sudah disemen. Namun, tetap dengan fondasi kayu dengan tinggi 1-12 meter dari tanah rawa di bawahnya. Jalan dari Pelabuhan Rambang masuk ke Gang Akhlak, misalnya, hanya terbuat dari jembatan-jembatan kayu.
Kawasan ini juga kesulitan sejahtera. Wajahnya didominasi permukiman kumuh bersama sampah bertebaran. Beberapa program pemerintah sempat menyentuh Puntun, tetapi urung membuatnya menjadi lebih baik.
Salah satunya mimpi menjadikan Puntun sebagai kampung literasi tahun 2016. Kala itu, banyak anak-anak usia sekolah tidak bisa membaca. Taman baca dan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) lantas didirikan. Namun, usianya tidak panjang. Sekarang, tempat itu sudah tiada.
Ironisnya, saat berbagai niat baik itu mati sebelum disemai, justru imaji buruk Puntun terus tumbuh subur. Label Puntun sebagai kampung narkoba kian lekat. Peredaran narkotika perlahan kian menggila.
Akrab narkoba
Juhri tidak tahu pasti kapan Puntun dilabeli kampung narkoba. Dalam ingatannya, stigma itu muncul saat Salihin alias Saleh (37) jadi bandar narkoba sejak 2016. Suasana kampung yang dulu dikenal sebagai rumah para pekerja keras menjadi akrab dengan narkoba.
”Memang jadi pengaruh ke warga terutama anak muda,” kata Juhri.
Salah satu ironinya ialah saat anak-anak umur 12-17 tahun akrab membeli zenith. Obat terlarang itu dikenal dengan sebutan pil jin karena bisa memberikan halusinasi hebat bagi peminumnya.
Zenith adalah obat untuk penyakit tulang. Namun, obat ini kerap disalahgunakan untuk mabuk-mabukan.
Harganya murah. Cara mendapatkannya mudah. Satu keping berisi enam butir hanya dibanderol Rp 20.000.
”Banyak yang ngelem juga,” ujar Juhri.
Lebih menyedihkan lagi, para penenggak Zenith dan penghirup lem itu enggan sekolah. Besar kemungkinan mereka tidak bisa membaca. Ketimbang sekolah, mereka memilih menjadi penebang dan pembuat papan kayu.
Sebagian bahkan menjadi anak buah Saleh sebagai pengedar narkoba. Lewat tangan pencandu dan pengedar cilik itu, Saleh membangun kerajaannya di Puntun kurang lebih 15 tahun terakhir.
Saleh benar-benar seperti raja. Istrinya tiga. Satu dinikahi secara agama dan negara, sedangkan dua lainnya hanya nikah siri. Seperti Pablo Escobar, gembong narkoba Kolombia, Saleh tidak banyak tingkah. Ia minim bicara, tapi kerap membantu warga sekitar.
Memang jadi pengaruh ke warga terutama anak muda.
Ketua RT 002 RW 027 Pahandut Haji Imuh mengungkapkan, Saleh tak segan-segan mengeluarkan uang, mulai dari untuk anak-anak yatim piatu, pembangunan masjid, hingga pembelian sembako untuk warga.
”Meski tahu dia itu pengedar, namanya dikasih duit, warga sih terima aja,” kata Imuh.
Sikap itu membuat Saleh mudah disukai warga. Ada warga yang benar-benar melindunginya demi mendapat manfaat dari keberadaan Saleh.
Susah ditangkap
Itu juga yang kata polisi membuat Saleh susah ditangkap. Bila warga menyebut Saleh adalah ”raja”, polisi menjulukinya ”si kancil”. Saleh cukup cerdik untuk berlindung di balik ketiak warga yang melindunginya.
Sepanjang 2019, aparat mencoba menangkap Saleh tiga kali. Namun, semuanya tidak berlanjut. Alasannya, tidak ada barang bukti. April 2019, misalnya, Saleh digerebek di rumahnya di Puntun.
Namun, bersama Saleh hanya ditemukan senjata api tanpa narkoba. Saleh hanya divonis 3 tahun penjara karena kepemilkan senpi tanpa izin itu.
Lihat juga: Pembakaran Kampung Narkoba
Di penjara, bisnis narkobanya tetap melaju kencang. Siti Komariyah alias Kokom, istri Saleh, jadi pemegang kemudi. Namun, hanya setahun, Kokom ditangkap. Barang buktinya 52,8 gram sabu.
Kokom ditangkap dan dituntut 8 tahun penjara. Saat ini sidang masih berjalan.
Pada 2022, Saleh ditangkap lagi setelah baru bebas dari penjara. Kali ini, barang buktinya 200 gram sabu. Namun, entah kenapa, dia divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Palangka Raya. Persidangan pun berjalan ganjil. Digelar terbuka, wartawan dilarang meliput oleh anak buah Saleh. Aparat tidak berdaya saat itu.
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalteng Undang Mugopal mengungkapkan, semua orang kecewa dengan putusan tersebut. Pihaknya lantas melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 25 Oktober 2022, Saleh divonis 7 tahun penjara.
Namun, saat itu Saleh tidak lantas ditahan. Dia buron. Saleh disebut melarikan diri ke sejumlah tempat. Dari Palangka Raya, Saleh kabur ke Samarinda, Kalimantan Timur, lalu ke Banjarmasin.
Hingga akhirnya, petualangan si raja narkoba itu untuk sementara berakhir di Puntun. Lama bertualang, Saleh ternyata rindu kampung halaman. Di awal September, dia terendus pulang.
Di Puntun, diam-diam, dia dan komplotannya membangun tiga gubuk kayu. Dari luar, bangunan itu tidak mencolok. Namun, isi di dalamnya terlihat kontras.
Lihat juga: Dulu Kampung Narkoba, Kini Ramah bagi Warga
Di sana ada perlengkapan dapur, pendingin ruangan, tempat tidur mewah, hingga kamar mandi yang dilengkapi dengan pancuran. Patut diduga, semua biayanya berasal dari pencandu yang tertipu akal bulus pengedar seperti Saleh.
”Dia pikir kami enggak pantau. Pada 4 September, dia kami tangkap,” ungkap Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Marthinus Hukom.
Marthinus mengatakan, bukan perkara mudah menangkap Saleh. Proses penangkapannya membutuhkan waktu 2 tahun. Koneksi dengan pengedar besar lainnya di Kalimantan membuat Saleh sulit dicokok.
Ingin berubah
Salah satu pengedar besar itu adalah Koh A. Dia penyuplai barang ke Saleh. Beroperasi di Pulau Kalimantan saja, omzet yang dikantongi Koh A Rp 50 juta-Rp 100 juta per hari. Uang hasil penjualan itu dikumpulkan oleh kaki tangan Saleh yang berinisial US, yang hingga kini masih buron.
”Dari US ke Saleh. Dari Saleh lantas ke Koh A. Kami juga akan kejar semua aset mereka. Mereka harus dimiskinkan,” kata Marthinus.
Saat Saleh dan antek-anteknya bergelimang harta, Puntun masih saja dibayangi kemiskinan. Efeknya bisa jadi kian panjang apabila anak mudanya tenggelam dalam candu narkoba.
Berkaca dari penangkapan Saleh ini, pemerintah setempat mencoba berbenah. Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Pahandut Rizka berjanji akan segera menggelar sosialisasi pencegahan narkoba. Ia berharap, ditangkapnya Saleh yang tidak saleh itu bisa mengubah wajah kampung yang muram menjadi lebih bersinar di kemudian hari.
Begitu juga Haji Juhri. Ia hanya ingin Puntun seperti kampung lainnya, yang tidak berisik dan heboh karena penggerebekan dan narkoba. Ia berharap warga bisa hidup lebih tenang, tanpa narkoba tentunya.
Baca juga: Kisah Warga Tolak Kampung Rawasari Jadi ”Basecamp” Narkoba