Konflik Lahan Masyarakat Adat Berkepanjangan, Bagaimana Duduk Soalnya?
Konflik lahan masyarakat adat membuat mereka menderita di tanah leluhur. Hak-hak mereka terabaikan.
Apa yang Bisa Anda Pelajari dari Artikel ini?
1. Bagaimana situasi konflik lahan masyarakat adat di sejumlah daerah di Tanah Air?
2. Apa dampak konflik lahan adat itu bagi masyarakat adat?
3. Bagaimana upaya penuntasan konflik lahan masyarakat adat itu?
4. Sudah cukupkah perlindungan diberikan negara kepada masyarakat adat dan lahan kehidupannya?
Bagaimana situasi konflik lahan masyarakat adat di berbagai daerah di Tanah Air?
Masyarakat adat di sejumlah daerah menghadapi konflik lahan dengan pemerintah, perusahaan swasta, dan sejumlah pihak lain. Kerap kali masyarakat adat harus berhadapan dengan hukum dan tidak jarang mereka menghadapi kenyataan pahit dipenjarakan dengan alasan mencuri atau menempati lahan tanpa izin. Bahkan, beberapa konflik lahan sampai memicu korban jiwa.
Situasi tidak mudah itu, antara lain, dialami oleh masyarakat adat di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Selama satu dekade, konflik lahan di Kinipan membuat kehidupan masyarakat adat tidak tenang.
Sedikitnya ada tiga persoalan di Kinipan. Pertama, wilayah hutan adat yang diklaim oleh warga sampai kini belum diakui oleh pemerintah. Kedua, pencadangan hutan adat yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seluas 6.800 hektar harus segera diverifikasi lapangan. Alasannya, ada ladang masyarakat yang masuk ke dalam pencadangan hutan adat tersebut.
Persoalan terbaru yang dikhawatirkan masyarakat adat terkait dengan bisnis karbon yang melibatkan Bezos Earth Fund (BEF), sebuah yayasan milik salah satu orang terkaya dunia Jeff Bezos. Perihal ini muncul setelah kedatangan Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar ke Kinipan, Sabtu (7/9/2024). Siti datang bersama Presiden dan CEO BEF Andrew Steer serta petinggi BEF lainnya.
Baca juga: Siti Nurbaya Janji Atasi Konflik Hutan Adat Kinipan, Warga Minta Deforestasi Distop
Pada 2019, konflik meruncing ketika beberapa perusahaan perkebunan sawit yang sudah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan dari KLHK membuka hutan yang diklaim oleh warga sebagai wilayah kelola adat mereka. Lahan itu dibuka dan ditanami sawit. Berdasarkan keterangan yang dihimpun Kompas, setidaknya lebih kurang 1.800 hektar lahan sudah dibuka.
Akibat konflik lahan itu, masyarakat adat Kinipan melawan. Tokoh adat Desa Kinipan, Effendi, bahkan pernah ditangkap aparat dengan tuduhan otak pencurian. Tokoh warga lainnya, Willem Hengki yang pernah dituduh korupsi, tetapi tidak terbukti dan bebas dari penjara.
Di Simalungun, Sumatera Utara, salah seorang tetua adat, Sorbatua Siallagan (65), divonis penjara 2 tahun dan denda Rp 1 miliar karena dinyatakan bersalah menduduki konsesi kawasan hutan milik PT Toba Pulp Lestari. Sementara ia merasa kawasan itu adalah wilayah hutan adat masyarakat Oppu Umbak Siallagan. Vonis itu dijatuhkan kepadanya pada Rabu (14/8/2024).
Jerni Elida Siallagan, anggota masyarakat adat Oppu Umbak, mengatakan, warga adat merasakan miris atas hukum di negara ini. Mereka dipaksa bersalah karena mempertahankan tanah ulayatnya.
”Bapak Sorbatua tinggal di rumah kayu berukuran 4 meter x 5 meter dengan lantai tanah. Namun, diminta membayar Rp 1 miliar dan harus dipenjara selama 2 tahun karena mempertahankan tanah adat,” kata Jerni.
Masyarakat adat itu hidup selaras dengan alam dari hasil hutan adat dan perladangan di tanah ulayat seluas 851 hektar. Hidup mereka mulai terusik saat sebagian hutan adat itu diserahkan negara kepada PT Toba Pulp Lestari pada tahun 1993 melalui hak konsesi. Sejak itu, masyarakat adat di Desa Sihaporas ataupun desa lain di sekeliling Danau Toba menghadapi konflik agraria tanpa henti, sebagaimana dialami Sorbatua.
Lain lagi dengan konflik lahan adat di Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di sana kini resah dengan pembangunan Bendungan Mbay Lambo. Lahan mereka hanya dihargai Rp 3.500 per meter persegi. Warga pun mengaku telah mengalami intimidasi oleh kelompok aparat keamanan. Perpecahan sosial di antara warga pun tidak terhindarkan karena ada yang menerima ganti rugi dan ada pula yang menolak ganti rugi itu.
Baca juga: Diambil Paksa Pemerintah, Tanah Adat Kami Dihargai Rp 30.500...
Perjuangan untuk mempertahankan hutan adat juga dilakukan oleh Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan; dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya. Kedua suku itu masih menanti putusan kasasi di Mahkamah Agung.
Suku Awyu menggugat pemerintah provinsi karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL yang mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektar. Selain kasasi perkara PT IAL, masyarakat Awyu juga mengajukan kasasi atas gugatan PT KCP dan PT MJR. Dua perusahaan ini sebelumnya kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, kemudian mengajukan banding dan dimenangi oleh hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan dilayangkan karena kedua perusahaan tersebut dinilai tidak melakukan kewajibannya sebagai pemegang izin konsesi.
Apa dampak konflik lahan adat itu bagi masyarakat adat?
Konflik lahan adat membuat masyarakat adat tidak bisa leluasa mengelola lahan yang mereka tempati secara turun-menurun. Kerusakan lingkungan karena deforestasi juga menghantui ruang hidup mereka. Kriminalisasi juga dialami oleh para tokoh masyarakat adat. Hal itu seperti terjadi di Kinipan dan Simalungun.
Pembangunan di wilayah hutan adat pada kenyataannya juga tidak membawa manfaat bagi warga setempat. Deforestasi menyebabkan terjadinya emisi karbon, seperti dialami warga Kinipan.
”Mereka (masyarakat Kinipan) tidak dapat apa-apa, bahkan menghadapi ancaman kriminalisasi. Tapi, sebagai strategi, apa yang dilakukan KLHK ini bisa dimanfaatkan, paling tidak untuk membantu perjuangan Kinipan agar dapat pengakuan sebagai MHA (masyarakat hukum adat), dan menyelamatkan hutan serta ruang hidup mereka seluas 16.000 hektar lebih itu,” ucap Direktur Save Our Borneo Muhammad Habibi.
Di NTT, pembangunan Bendungan Mbay Lambo memicu konflik sosial. Bahkan, konflik terjadi di dalam lingkup keluarga lantaran ada yang bersedia menerima ganti rugi dari pemerintah dan ada yang menolaknya.
Baca juga: Konflik Bendungan Mbay Lambo, Ketua Suku Pun Dicaci Maki Bocah Ingusan
Salah seorang warga, Adityanto Weo (30), menuturkan, sejak adan proyek bendungan, muncul kelompok warga yang pro dan kontra. Weo dan keluarganya termasuk kelompok kontra pembangunan bendungan. Namun, keluarga besar suami dari adik kandung Weo ternyata merupakan kelompok pro bendungan. Konflik di antara keluarga tak terhindarkan.
”Suatu waktu, kami kasih beras untuk saudari kami, tapi keluarga besar suaminya sampai tidak mau makan. Ada suami serta bapak dan mama mantu dari adik saya. Terlalu dalam konflik ini,” ujarnya.
Konflik sosial telah merusak relasi dan tatanan budaya yang dijaga selama ini. Untuk memulihkan relasi sosial di masyarakat, butuh waktu lama dan proses panjang.
Alih fungsi lahan adat di Papua juga membuat ruang hidup warga suku Awyu dan Moi semakin sempit. Selama ini, mayoritas masyarakat adat di Papua, termasuk warga Awyu dan Moi, telah memanfaatkan hutan dan tanah adat sebagai ruang penghidupan bersama sekaligus keperluan berburu, berkebun, pangan, obat-obatan, budaya, ekonomi, dan pengembangan pengetahuan. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit akan menghilangkan fungsi dan daya dukung lingkungan alam.
Lihat juga: ”All Eyes on Papua”, Perjuangan Masyarakat Adat Melawan Perkebunan Sawit
Bagaimana seharusnya upaya penuntasan konflik lahan masyarakat adat itu?
Sejumlah upaya dapat ditempuh untuk menuntaskan konflik lahan adat di sejumlah daerah. Upaya dialog yang dijanjikan oleh Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar, misalnya, disambut positif oleh warga Desa Kinipan. Upaya duduk bersama diharapkan menghasilkan kesepahaman antara pemerintah, masyarakat adat, dan pemegang konsesi.
Di sisi lain, warga adat meminta pemerintah mengakui tanah mereka sebagai lahan milik adat yang harus dilindungi.
”Kalau enggak salah, kan, pengusaha (pemegang konsesi), orang Lamandau, pasti sayang sama hutan Lamandau, pasti bisa dibicarakan. Saya sepakat tidak ada masalah yang tidak selesai jika kita semua duduk bersama,” ujar Siti.
Tokoh adat Kinipan, Effendi Buhing, mengungkapkan, masyarakat adat Kinipan legawa dengan hutan yang telah dibuka, yakni seluas 1.800 hektar, tetapi ia menginginkan agar pembukaan lahan dihentikan dan tidak dilanjutkan mengambil sisanya.
Baca juga: Setelah Jalan Mulus, Warga Kinipan di Pelosok Kalteng Berharap Pengakuan Hutan Adat
Di NTT, sikap bijak pemerintah diperlukan. Pendampingan, antara lain, dilakukan oleh Kemitraan Partnership for Governance Reform berkolaborasi dengan Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam program Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi. Lewat program itu, mereka memperjuangkan pemenuhan hak masyarakat adat.
Rakhmat Nur Hakim, Communication Manager Kemitraan Partnership for Governance Reform, mengatakan, selain pendataan terhadap masalah ganti rugi, pihaknya juga memfasilitasi pendampingan untuk bantuan hukum serta pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat adat. Ia menilai, setelah pembangunan bendungan itu, banyak persoalan bakal muncul, misalnya kemiskinan.
Oleh karena itu, pemerintah pun tak boleh tinggal diam. Selain membebaskan lahan dan membangun bendungan, pemerintah harus mengantisipasi berbagai masalah yang muncul agar konflik sosial tak terus membesar.
Upaya hukum yang berkeadilan dan berperspektif lingkungan diharapkan juga dapat memastikan masyarakat adat untuk melestarikan lahan adat mereka. Situasi semacam itu yang kini dinantikan oleh suku Awyu dan suku Moi di Papua Selatan dan Papua Barat Daya. MA diharapkan memutus dengan perspektif yang ramah lingkungan dan mempertimbangkan keberlangsungan masyarakat adat.
Baca juga: Jejak Perjalanan Masyarakat Adat Papua Menyelamatkan Hutannya
Pakar hukum agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Rikardo Simarmata, memandang, hakim PT-TUN yang memenangkan perusahaan sawit masih menggunakan pendekatan formalistik. Sebab, dalam kasus ini, hakim hanya memeriksa pemenuhan unsur untuk menyimpulkan aspek prosedural dan substantif. Hakim dinilai tidak mempertimbangkan konsekuensi sosial pada masyarakat adat suku Awyu sebagai tergugat apabila permohonan para penggugat diterima.
Sudah cukupkah perlindungan diberikan negara kepada masyarakat adat dan lahan kehidupannya?
Upaya penuntasan konflik lahan masyarakat adat akan lebih kuat jika ada regulasi yang menjadi payung kebijakan yang ditaati seluruh pihak. Kriminalisasi terhadap warga dan tokoh adat, misalnya, dapat dihindari jika ada regulasi yang secara tegas melindungi dan menjamin hak-hak warga adat beserta lahan mereka.
Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Janpatar Simamora mengatakan, negara mengakui keberadaan masyarakat adat, tetapi urung melindunginya. ”Penangkapan Sorbatua menunjukkan negara mengakui Sorbatua sebagai ketua komunitas masyarakat adat. Hanya saja, negara tidak mau melindungi masyarakat adat melalui kebijakan UU,” katanya.
Janpatar menuturkan, RUU Masyarakat Adat sangat mendesak untuk disahkan. Jika tidak, daftar kasus kriminalisasi masyarakat adat yang memperjuangkan tanah ulayatnya akan terus bertambah panjang.
Baca juga: All Eyes on Papua, Mengapa Suku Awyu dan Moi, Penjaga Hutan Papua, Menggugat ke MA?
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan, dalam 10 tahun terakhir, politik hukum masyarakat adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, dan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur ”penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya.
”Political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus-menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tecermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan masyarakat adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan masyarakat adat,” ujarnya.
Dalam 10 tahun, menurut Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16 persen dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di BRWA. Adapun pengakuan hutan adat baru mencapai 8 persen dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah.
Baca juga: Sorbatua Dipenjara, Masyarakat Adat Mengadu ke Komnas HAM