Kekerasan Seksual pada Anak Marak, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Kekerasan seksual terhadap anak harus segara diatasi. Tanpa keseriusan semua pihak, generasi bangsa terancam.
Apa yang Bisa Anda Pelajari dari Artikel ini?
1.Berapa banyak kasus kekerasan seksual pada anak di berbagai daerah?
2.Mengapa kasus kekerasan seksual pada anak marak dan siapa pelakunya?
3.Apa dampak kekerasan seksual pada anak bagi kehidupan anak di masa depan?
4.Bagaimana semestinya kekerasan seksual pada anak ini diatasi?
Berapa banyak kasus kekerasan seksual pada anak di berbagai daerah?
Kekerasan seksual pada anak kian mengkhawatirkan dalam beberapa waktu terakhir. Laporan wartawan Kompas di sejumlah daerah menggambarkan fenomena kekerasan seksual pada anak yang tinggi pada semester I-2024. Situasi darurat kekerasan seksual pada anak pun disuarakan oleh sejumlah pemerhati.
Kisah sedih itu seperti menimpa anak AA (13), gadis cilik di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Ia gadis periang yang tidak mau menyerah pada kesulitan ekonomi keluarga. Sepulang sekolah, dia menjual balon hingga malam agar bisa memenuhi biaya sekolahnya. Namun, hidupnya berakhir tragis. Siswi SMPS Kelas VIII itu dibunuh dan diperkosa empat pelajar yang kecanduan menonton video bermuatan pornografi.
Ironisnya, pelaku kekerasan seksual itu juga masih anak-anak. Pelaku utamanya adalah IS (16), yang baru dikenal oleh AA melalui aplikasi pertemanan di media sosial Facebook. Keduanya kemudian bertemu di pertunjukan kuda lumping di Jalan Pipa Reja, Kecamatan Kemuning, Palembang, Minggu (1/9/2024).
Baca juga: Kisah Tragis Siswi SMP Penjual Balon, Dibunuh dan Diperkosa Empat Pencandu Pornografi
IS yang kecanduan film pornografi mengajak AA berkeliling ke sebuah krematorium. Mereka diikuti tiga pelaku lain, yaitu MZ (13), NS (12), dan AS (12). AA lalu diajak jalan ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Talang Kerikil. Di TPU itu, IS membujuk AA agar mau berhubungan seksual, tetapi AA menolak. Keempat pelaku kemudian memaksa AA. Mereka membekap hidung AA.
”Menurut pengakuan pelaku, mereka awalnya menduga korban hanya pingsan. IS lalu memerkosa AA lalu diikuti secara bergantian oleh tiga pelaku lainnya,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Palembang Komisaris Besar Harryo Sugihhartono, Sabtu (7/9/2024).
Tidak berhenti di situ, keempat pelaku lalu menggotong jasad AA dengan berjalan kaki ke lokasi kuburan yang lebih jauh dan sepi. Di lokasi kedua itu, mereka kembali melampiaskan nafsu kepada korban. Jasad AA kemudian ditinggalkan di lokasi kuburan itu.
Keempat pelaku kembali ke lokasi pertunjukan kuda lumping dan menceritakan perbuatan mereka kepada teman-temannya yang lain dengan bangga. Dari keterangan teman-teman pelaku inilah, antara lain, polisi menemukan titik terang pelaku kejahatan terhadap AA.
Baca juga: Kekerasan Seksual Kian Menggila, Hukuman Perlu Dipertegas?
Peristiwa di Palembang itu hanyalah satu dari ribuan kekerasan seksual yang menimpa anak. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), yang diakses pada Minggu (8/9/2024), pukul 19.15 WIB, terdapat 17.238 kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya, 3.720 korban anak laki-laki, dan 14.960 korban anak perempuan.
Jika dilihat dari bentuk kekerasan yang dialami, 7.933 korban di antaranya mengalami kekerasan seksual, diikuti kekerasan fisik 5.960 korban, dan kekerasan psikis 5.130 korban. Sisanya adalah kekerasan bentuk lain, seperti penelantaran, eksploitasi, trafficking atau perdagangan, dan kekerasan lain.
Data itu kemungkinan masih akan bertambah jika melihat laporan kekerasan seksual yang terus muncul dari daerah, seperti di Kendari, Sulawesi Tenggara; Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah; Barito Timur, Kalteng; Bandung, Jawa Barat; dan DKI Jakarta; serta daerah-daerah lain.
Mengapa kasus kekerasan seksual pada anak marak dan siapa pelakunya?
Ada banyak faktor yang memicu terjadinya kekerasan seksual pada anak. Dalam kasus AA di Palembang, pemicu yang menonjol ialah ketidakmampuan anak memproses konten pornografi dari media sosial secara bijak. Mereka terpengaruh konten pornografis, dan kehilangan kepekaan akan perbuatan baik dan buruk, sehingga tidak memiliki empati atas tindakannya. Setelah melakukan kejahatan, mereka sempat bercerita dengan bangga terhadap teman-temannya. Pelaku kekerasan seksual terhadap AA juga masih anak-anak.
Situasi berbeda ditemui dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kendari. Dalam sepekan terakhir, dua kasus kekerasan seksual pada anak mencuat di Ibu Kota Sultra itu. Kasus terbaru ialah perkosaan ayah tiri, LR (42), terhadap anak tirinya. Kasus ini hanya berselang beberapa hari hari setelah kasus pencabulan yang dilakukan oleh guru seni, SI (55) terhadap sejumlah siswi di sebuah sekolah dasar. Ada 11 siswi yang menjadi korban, tetapi baru lima orang melapor ke polisi.
Baca juga: Sepekan di Kendari, Guru Cabuli Murid hingga Ayah Perkosa Anak
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Kendari Ajun Komisaris Nirwan Fakaubun mengatakan, guru itu mencabuli siswi dengan memegang dan meraba bagian tubuh mereka.
Dalam kasus di Kendari, pelaku kekerasan seksual pada anak adalah guru dan ayah atau kerabat terdekat. Kekerasan seksual oleh orang terdekat juga ditemui dalam kasus di Kotawaringin Barat. Seorang ayah di Kotawaringin Barat, UN (49), memerkosa anaknya sejak empat tahun lalu. Korban yang berinisial UT saat ini berusia 20 tahun. Ketika perbuatan keji itu dilakukan ayahnya, ia masih berusia 16 tahun.
Baca juga: Diduga Berkali-kali Cabuli Dua Anak, Seorang Pria di Bandung Diringkus Polisi
Kepala Satreskrim Polres Kotawaringin Barat Ajun Komisaris Yoga Panji mengatakan, korban kabur dari rumahnya menuju ke Polres Kobar untuk melaporkan kejadian tersebut. ”Selama bertahun-tahun ini korban tidak berani melapor lantaran diduga diancam oleh pelaku, bahkan diancam dibunuh,” kata Yoga saat dihubungi dari Palangka Raya, Selasa (3/9/2024).
Di Bandung, pelaku kekerasan seksual adalah tetangga korban. AF (43) ditangkap di sebuah rumah di Kecamatan Bojongloa Kaler pada Selasa (3/9/2024) siang. Ia mencabuli dua anak lelaki berusia 11 tahun dan 7 tahun di tempat kerjanya. Lokasi rumah kedua korban berdekatan dengan tempat kerja AF. Sehari-hari, AF bekerja sebagai karyawan penyalur tenaga asisten rumah tangga.
Kekerasan seksual oleh orang terdekat juga terjadi di Kabupaten Barito Timur. Mega Ekatni (18) dibakar bersama sepeda motornya di Bangi Wao, sebuah wilayah perkemahan yang biasa digunakan untuk kegiatan pramuka di Desa Haringen, Kecamatan Dusun Timur, Selasa (9/7/2024). Pelaku adalah sepupunya sendiri, Robi (24). Belum sempat ditangkap, Robi sudah lebih dulu bunuh diri, 11 hari setelah pembunuhan Mega.
Baca juga: Kasus Pembunuhan Mega Ekatni Terungkap, Pelakunya Orang Dekat
Dalam kasus Mega, polisi mengungkap upaya perkosaan oleh Robi terhadap Mega. Mega yang memberontak membuat Robi panik dan membunuh Mega. Untuk menutupi kejahatannya, Robi membakar jasad Mega beserta sepeda motornya.
Secara terpisah, psikolog klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Indria Laksmi Gamayanti, mengatakan, kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja. ”Sayangnya, menurut penelitian, kekerasan banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang justru seharusnya bisa menjadi pelindung dari anak tersebut. Pada banyak kasus, pelaku merupakan orangtua, guru, pengasuh, bahkan sesama anak sendiri dapat melakukan tindak kekerasan,” ujar Indria.
Menurut Yustina Fendritta, pemerhati kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sultra, terus berulangnya kasus kekerasan seksual atas perempuan dan anak menunjukkan sejumlah hal. Semakin tingginya pelaporan berarti kesadaran masyarakat untuk mengadu semakin tinggi. Hal itu didukung dengan berbagai kanal dan saluran pengaduan, baik di lembaga pendidikan, agama, maupun masyarakat luas.
Akan tetapi, hal ini juga berhadapan dengan berbagai persoalan dalam upaya penanganan secara holistik kekerasan di masyarakat. Problem pola pikir dan budaya patriarki masih tertanam erat di struktur masyarakat. Program untuk mengubah hal ini masih kecil dan belum tepat sehingga perilaku masyarakat juga belum banyak berubah. Akibatnya, perempuan dan anak terkadang dianggap sebagai obyek semata.
Baca juga: Kekerasan Seksual di Kalteng Berulang, Seorang Bapak Perkosa Anaknya
Di tingkat hilir, terutama penanganan kasus, juga sering kali bermasalah. Meski secara substansi hukum telah didukung berbagai aturan, struktur dan penegakan hukum masih lemah. Belum lagi dengan budaya hukum yang juga bermasalah. Akibatnya, kasus sering kali jalan di tempat atau yang paling fatal adalah terjadinya rekayasa kasus.
”Ini serupa pandemi kekerasan seksual. Kasusnya terus berulang dengan korban yang terus bertambah banyak. Kuncinya itu ada di penegakan hukum. Secara aturan, penegak hukum telah dibekali aturan yang cukup lengkap saat ini. Persoalannya, penanganan kasus itu harus viral dulu baru ditindak. Ini yang menjadi pekerjaan rumah bagi kepolisian,” kata Yustina.
Selain itu, upaya meningkatkan pemahaman masyarakat juga harus terus digalakkan. Setiap keluarga harus sadar peran dan tugas dalam mendidik anak. Persoalannya, keluarga menjadi rapuh saat sejumlah faktor membayangi, mulai dari ekonomi hingga perpisahan. Belum lagi dengan dampak dari teknologi terhadap anak. Perspektif kehidupan yang setara tanpa bias patriarki pun semestinya terus disebarkan. Peran negara begitu vital dalam tataran ini.
Di sisi lain, konten pornografis di medsos dan media daring sangat berpengaruh terhadap anak-anak yang terpapar. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu menyatakan, anak-anak menjadi target eksploitasi dan kekerasan seksual melalui berbagai platform teknologi digital dan internet, baik secara langsung maupun melalui kombinasi interaksi daring dan tatap muka antara pelaku dan korban.
Baca juga: Di Kotawaringin Barat, Tetangga Lagi-lagi Menjadi Pelaku Pencabulan Anak
Apa dampak kekerasan seksual pada anak bagi kehidupan mereka di masa depan?
Kekerasan seksual berdampak panjang bagi kehidupan anak. Pada kuartal akhir 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 1.056 (58,7 persen) pelanggaran hak anak berasal dari lingkungan keluarga dan pengasuh alternatif. Hingga saat ini pun masih terus terjadi, anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandung serta anak yang menjadi korban kekerasan pengasuh.
”Segala bentuk perbuatan orang dewasa terhadap anak tentu akan meninggalkan jejak dan bayang-bayang bagi anak,” kata dosen psikologi sosial Universitas Airlangga (Unair), Ike Herdiana, seperti dikutip dari laman resmi Unair, Sabtu (13/4/2024).
Jika orangtua dan kerabat terdekat dapat berlaku baik dalam tumbuh kembangnya, ucap Ike, pengalaman baik akan terus membersamai anak. Sebaliknya, jika anak mendapatkan perlakuan buruk pada masa tumbuh kembangnya, akan ada bayangan buruk yang terus menghantui anak.
Baca juga: Kekerasan pada Anak Menimbulkan Pengalaman Buruk Sepanjang Hidup
Indria Laksmi Gamayanti mengatakan, dalam ilmu psikologi, kekerasan semasa kecil dapat diklasifikasikan sebagai adverse childhood experiences (ACEs) atau pengalaman-pengalaman buruk di masa kecil. Dampaknya, anak akan cenderung memiliki masalah kesehatan mental dan tendensi kekerasan yang tinggi ketika tumbuh dewasa.
Berbagai kasus juga menunjukkan gejala yang berbeda. Beberapa anak menjadi pribadi yang pendiam, murung, tercekat, cenderung nakal, sering menangis, bahkan ada yang terlihat baik-baik saja hingga sering disalahartikan sebagai proses penyembuhan trauma yang cepat. Gejala ini banyak luput disadari oleh orangtua, padahal sebenarnya anak membutuhkan penanganan lebih dari dampak kekerasan tersebut.
Orang dewasa yang melakukan kekerasan pada anak, kata Indria, umumnya merupakan orang-orang yang tidak matang secara emosi. Bahkan, mungkin saja orang yang semasa kecilnya juga menerima tindakan kekerasan. Padahal, ketika seseorang mengalami kekerasan di masa kecil, ada potensi ia akan melakukan kekerasan yang lebih parah ketika beranjak dewasa.
Baca juga: Anak Rentan Terpapar Konten Dewasa di Internet
Kini, marak juga kekerasan yang dilakukan pada sesama anak. Bentuk kekerasan ini banyak ditemui dalam kasus-kasus bullying atau perundungan pada lingkungan sekolah atau teman bermain. Menurut Indria, penyebab anak melakukan tindakan kekerasan kepada sesamanya juga bisa disebabkan dari lingkungan dan pola asuh orangtua. ”Bisa jadi anak tersebut juga menerima kekerasan dari orangtua atau kurangnya validasi sehingga cenderung mencari validasi pada sesamanya,” ujar Indria.
Pengalaman kekerasan pada anak bahkan menyebabkan masalah jangka panjang pada otak, sistem kekebalan tubuh, dan sistem metabolisme. Kondisi ini akan berpengaruh pada kesehatan jantung ataupun kecenderungan pada risiko diabetes. ”Yang belum jelas adalah bagaimana semua efek ini berinteraksi atau saling memperkuat,” kata Sofia Orellana, mahasiswa doktoral (PhD) di Department of Psychiatry and Darwin College, University of Cambridge, seperti dipublikasikan dalam situs internet kampus tersebut, 9 April 2024.
Studi yang dilakukan Orellana dan tim, termasuk dari Leiden University, baru-baru ini berupaya mengungkap pemahaman tersebut. Riset tersebut telah dilaporkan dalam jurnal PNAS. Hasil penelitian mereka menunjukkan, orang dewasa yang masa kecilnya mengalami kekerasan berisiko tinggi mengalami obesitas, peradangan, dan masalah traumatis. Faktor-faktor yang memperburuk kesehatan ini membuat otak mengalami perubahan struktur.
Baca juga: Kekerasan pada Anak Merusak Metabolisme dan Otak
Dalam risetnya, tim peneliti mengamati hasil pemindaian MRI otak pada 21.000 orang dewasa berusia 40-70 tahun dengan menggunakan data dari UK Biobanks. Selain itu, mereka juga mengamati data indeks massa tubuh (indikator kesehatan metabolik), CRP (penanda peradangan), serta pengalaman kekerasan dan trauma.
Dengan menggunakan jenis pemodelan statistik yang memungkinkan mereka menentukan keterkaitan hal-hal tersebut, para peneliti memastikan, pengalaman kekerasan pada masa kanak-kanak membuat individu lebih mungkin mengalami peningkatan indeks massa tubuh (atau obesitas) dan tingkat trauma yang lebih besar di masa dewasa.
Selanjutnya, para peneliti memperluas model mereka dengan memasukkan hasil pengukuran MRI pada otak orang dewasa. Hasilnya, peningkatan serta penurunan ketebalan dan volume otak terkait dengan indeks massa tubuh yang lebih besar, peradangan, dan trauma yang disebabkan oleh kekerasan pada masa kanak-kanak. Perubahan struktur otak ini menunjukkan kemungkinan kerusakan fisik pada sel-sel otak sehingga memengaruhi cara kerja dan fungsinya.
Bagaimana semestinya kekerasan seksual pada anak ini diatasi?
Untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual, sejumlah upaya harus dilakukan. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai Maryati menyatakan, rentetan kasus kekerasan seksual terhadap anak itu memperlihatkan lemahnya pengawasan lingkungan terhadap keselamatan anak-anak. Karena itu, ia mengusulkan penguatan kehadiran satuan tugas (satgas) khusus pengawasan dan perlindungan anak dari tindak kejahatan. Kehadiran satgas di tingkat RT/RW ini dinilai penting karena pelaku atau predator seksual banyak dari lingkungan keluarga atau orang terdekat.
Baca juga: Kekerasan Seksual terhadap Anak Terus Terjadi, Pengawasan di Lingkungan Krusial untuk Pencegahan
Satgas itu, lanjutnya, harus ditempatkan di lingkungan masyarakat dan berkolaborasi dengan berbagai sektor, termasuk organisasi masyarakat. Koordinasi itu tidak hanya terkait pengawasan, tetapi juga penanganan.
Anggota KPAI, Kawiyan, menegaskan perlunya sanksi tegas agar memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan. ”Seharusnya jika pelaku kekerasan seksual itu adalah keluarga korban, tentu hukuman yang diberikan 1/3 kali lebih berat dibandingkan dengan pelaku di luar keluarga,” ujarnya.
Rehabilitasi terhadap anak juga krusial dilakukan agar kelak ketika mereka dewasa, korban anak ini tidak menjadi pelaku kekerasan seksual. Indria menambahkan, apabila terjadi kekerasan, sebaiknya memberikan penanganan yang tepat dan sesuai dengan kondisi anak.
”Jadi, bukan hanya anak sebagai faktornya, tetapi orangtua juga perlu mendapatkan penanganan,” kata Indria.
Orang dewasa yang berada di lingkungan tempat anak tinggal, kata Indria, harus dapat memberikan perlindungan terhadap tindak kekerasan. Karena itu, penting untuk menjalin komunikasi yang baik dengan anak, tidak hanya pada anggota keluarga, tetapi juga orang-orang sekitar.
Masa kecil pada anak merupakan masa pertumbuhan yang krusial untuk membentuk karakter sehingga perlu pengawasan dan pengasuhan yang baik agar bentuk kelalaian berujung kekerasan tidak terjadi. Yang tidak kalah penting lagi, penerapan pola asuh yang baik secara berkelanjutan akan menghasilkan anak-anak dengan mental dan fisik yang sehat di masa depan.