Sedekah Bumi Desa Cibuntu, Pesan Harmoni Manusia dan Alam
Sedekah Bumi Desa Cibuntu di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menyiratkan pesan pentingnya harmoni manusia dan alam.
Sedekah Bumi di Desa Cibuntu, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, kembali digelar. Tradisi wujud syukur atas hasil bumi ini menyajikan berbagai potensi desa hingga 1.001 angklung. Di dalamnya, termuat pesan pentingnya harmoni manusia dan alam.
Matahari belum meninggi pagi itu, Sabtu (7/9/2024), di Desa Cibuntu. Namun, ratusan warga telah berkumpul di pinggir jalan. Dari anak-anak hingga warga lanjut usia, mereka mengenakan kostum. Ada yang baju merah plus caping, ada pula yang mengenakan kebaya dan pakaian tari.
Para pria yang mengenakan seragam hitam lengkap dengan iket khas Sunda memikul tetenong atau wadah berbahan kayu dan bambu. Di dalamnya, terdapat makanan. Seluruh warga lalu berbaris dan berjalan kaki menuju sebuah lapangan. Arak-arakan itu disambut puluhan kamera.
Bagaimana tidak, setiap barisan rukun tetangga membawa hasil bumi yang telah dikreasikan. Semuanya menyimbolkan potensi desa. RT 002 RW 001, misalnya, membuat gunungan berisi aneka buah dan sayuran yang tumbuh di Cibuntu. Mulai dari jeruk, pisang, pete, hingga alpukat.
Lain lagi RT 002 RW 002 yang membawa miniatur domba lengkap dengan hasil buminya. Selama ini, Cibuntu dikenal sebagai kampung domba karena jumlah ternaknya lebih banyak dari warganya. Domba di sana bisa mencapai 1.200 ekor, sedangkan penduduknya hanya 996 jiwa.
Ada lagi RT 001 RW 001, yang membikin miniatur rumah bertuliskan homestay dengan boneka sebagai ”ibu kos”. Karya itu menggambarkan potensi homestay di sana. Dari sekitar 200 rumah warga, sebanyak 70 di antaranya adalah homestay.
Setelah sampai di lapangan, acara dilanjutkan dengan pergelaran budaya dan pertunjukan 1.001 angklung. Jumlah angklung yang dimainkan sebenarnya tidak sampai 1.001. Tapi, disebut demikian karena yang membunyikan angklung tidak hanya ratusan warga, tetapi juga pengunjung.
Dipimpin oleh Chandra Udjo, keturunan Mang Udjo Ngalagena, dan tim, semua peserta antusias memainkan angklung. Mereka membawakan lagu khas Sunda ”Manuk Dadali”, ”Laskar Pelangi” karya Nidji, hingga ”I Have a Dream” yang dipopulerkan Westlife.
Maria, warga Polandia yang mengikuti pertukaran mahasiswa di Institut Pariwisata Trisakti, juga ikut membunyikan angklung. Ia mengenakan kebaya hijau, sarung batik khas Sunda, serta caping. ”Pakaian ini saya pinjam. Saya suka warnanya, hijau,” kata Maria dalam bahasa Inggris.
Bagi Maria, desa di kaki Gunung Ciremai itu sangat indah dan alami. Ciremai adalah gunung tertinggi di Jabar dengan ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut. ”Kami akan membagi pengalaman di sini kalau kembali ke Polandia,” kata Maria yang baru dua pekan di Indonesia.
Kuwu (Kepala Desa) Cibuntu Dadi Kurniadi gambira dengan sambutan pengunjung, termasuk Maria dan tiga rekannya dari luar negeri. Sedekah Bumi, katanya, tidak hanya wujud syukur atas hasil panen warga, tetapi juga ajang menunjukkan kekhasan pesona alam hingga budaya.
Filosofi angklung
Bahkan, acara itu membawa pesan hubungan antara manusia dan alam yang disimbolkan melalui angklung, alat musik berbahan bambu. ”Filosofi angklung itu gotong royong. Jika dimainkan bersama, iramanya indah. Kalau sendiri, bunyinya tidak indah,” ungkap Dadi.
Tidak hanya itu, bambu yang banyak tumbuh di desanya turut menyejukkan desa hingga menjaga ekosistem air. Di Cikahuripan, salah satu sumber mata air di desa, misalnya, terdapat sejumlah pohon bambu. Pihaknya pun mencanangkan Cibuntu sebagai salah satu sentra angklung di Kuningan.
”Apalagi, Kuningan sudah mendeklarasikan diri sebagai daerah angklung,” kata Dadi. Meski demikian, bambu hitam yang menjadi bahan angklung masih jarang di Cibuntu. Itu sebabnya, pihaknya menyiapkan sekitar 4 hektar untuk ditanami bambu. Selain sumber angklung, bambu juga menjaga air.
Chandra Udjo mengatakan, setelah sekitar setahun hilir mudik Cibuntu, ia meyakini desa itu punya potensi jadi sentra angklung. Meski bambu hitam masih minim, desa ini punya bambu jenis betung, yang biasa menjadi frame angklung. Ada juga bambu ”temen” atau ater yang bisa jadi bahannya.
Pembuatan angklung, katanya, juga tidak mengancam habitat bambu. Sebab, bambu yang dipotong adalah yang telah melengkung. ”Itu memang harus dipotong supaya bambu baru tumbuh,” kata Chandra. Ia pun telah mengajak perajin senior untuk melatih lima warga membuat angklung.
Selain angklung, Cibuntu sudah sejak lama berupaya menjaga alam dengan jalan pariwisata. Belasan tahun lalu, desa itu menjadi salah satu lokasi galian C. Pada 2012, seiring penetapan Cibuntu sebagai desa wisata, warga mulai menyulap daerahnya menjadi destinasi wisata.
Perubahan ini sempat membuat warga yang bergantung pada galian C khawatir. ”Kami membalasnya apa? Kejujuran. Anggaran desa kami gunakan untuk pembangunan. Jalan diperbaiki, gang-gang diaspal. Warga pun semakin mendengar kami,” ungkap Awam (74), kuwu pada saat itu.
Perlahan, berhektar-hektar bekas tambang pun disulap menjadi kawasan hijau yang mendatangkan wisatawan. Lapangan yang menjadi lokasi pergelaran seni, misalnya, merupakan bekas galian C. Institut Pariwisata Trisakti turut mendampingi warga dalam menyiapkan homestay.
Hasilnya membanggakan. Homestay Teratai 3 milik Bu Narjo masuk dalam ASEAN Homestay Standard 2017-2019 dan meraih peringkat kelima terbaik di tingkat Asia Tenggara pada 2016 di bidang homestay. Cibuntu juga jadi Desa Mandiri Inspiratif dalam ajang Anugerah Desa Wisata 2021.
Penjabat Sekretaris Kabupaten Kuningan Taufik Rohman mengatakan, Cibuntu jadi inspirasi bagi desa lain di dalam dan luar Kuningan. Sedekah Bumi Cibuntu pun telah masuk dalam kalender tahunan pariwisata di Kuningan. Selain warga yang ramah, alam yang ashri juga jadi andalan.
”Ini akan jadi tren kuat di industri kepariwisataan selama kita berkomitmen mengembangkan kearifan lokal. (Pariwisata) ini berbeda dengan potensi migas (minyak dan gas) yang lambat laun akan habis dan tidak bisa diperbarui,” ungkap Taufik. Ia berkomitmen mendukung wisata Cibuntu.
Meski demikian, Cibuntu juga masih diselimuti sejumlah kendala. Yuyun Yuniarti, pemilik Homestay Iwan, misalnya, mengeluhkan sepinya pengunjung. Terakhir kali ia mendapat tamu adalah bulan April lalu. Padahal, biasanya, dalam sebulan, ia bisa mendapat dua pengunjung.
Yang ditawarkan di sini pengalaman bagaimana menikmati desa dengan kearifan lokalnya. (Arif)
”Setelah ada kecelakaan bus siswa dari Depok (bulan Mei) itu, homestay jadi sepi. Harapannya semoga dengan Sedekah Bumi ini homestay ramai lagi,” kata Yuyun, istri Iwan. Keresahannya itu ia gambarkan dalam miniatur homestay yang dibawa saat arak-arakan warga.
Kepala Program Studi S-1 Pariwisata Institut Pariwisata Trisakti Arief Faizal Rachman mengatakan, Cibuntu tidak hanya mengejar jumlah wisatawan, tetapi kualitas kunjungan wisata. ”Karena, yang ditawarkan di sini pengalaman bagaimana menikmati desa dengan kearifan lokalnya,” ungkapnya.
Mengembangkan pariwisata di Cibuntu memang membutuhkan waktu. Seperti angklung yang dimainkan warga dan pengunjung siang itu memerlukan irama, tempo, dan tentu saja kerja sama. Hasilnya pun akan nikmat, layaknya acara makan bersama yang menutup Sedekah Bumi.