Barang Bukti Sabu Menghilang, Kasat Narkoba Batam dan Jajaran Jalani Sidang Etik
Satres Narkoba Polres Batam terlibat peredaran sabu. Cermin kasus Teddy Minahasa yang terus terulang di tubuh Polri.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
BATAM, KOMPAS — Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Kota Batam-Rempang-Galang atau Barelang dan sembilan personel lain menjalani sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri di Polda Kepulauan Riau. Mereka diduga menjual barang bukti sabu seberat 1 kilogram.
Kepala Bidang Humas Polda Kepri Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad, Rabu (4/9/2024), mengatakan, sidang etik terhadap Kepala Satres NarkobaPolresta Barelang dan sembilan anggotanya masih bergulir. Itu menyangkut kasus penyalahgunaan kewenangan dan jabatan dalam kasus hilangnya barang bukti narkoba.
Pandra belum dapat memastikan kapan sidang etik itu bakal rampung karena ada 10 anggota Polri yang harus diperiksa. Namun, ia memastikan semua aspek akan didalami dan dibuktikan dalam proses persidangan tersebut.
”Sanksinya ada macam-macam sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat, itu yang paling tinggi,” kata dia saat diwawancara di Markas Polda Kepri.
Kepala Satres Narkoba Polresta Barelang Komisaris Satria Nanda dan sembilan anggotanya diduga menjual barang bukti sabu sebanyak 1 kilogram. Dikonfirmasi terkait hal itu, Pandra tidak menjelaskan kasus secara gamblang.
”Yang jelas dari hasil pengungkapan itu 1 kg tidak berada di tempat. Ke mana (hilangnya barang bukti itu) dan sebagainya tentu kami dalami, mau berapa kilo pun juga. Yang jelas keberadaan barang itu sejak ditangkap ke mana saja dan sebagainya itu yang sedang dipertanggungjawabkan,” ujar Pandra.
Dia menambahkan, Polda Kepri terus berkomunikasi dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) terkait pengusutan kasus itu. Ia menyebut, Kompolnas juga akan datang ke Polda Kepri untuk memantau kasus tersebut dalam minggu ini.
Secara terpisah, anggota Kompolnas, Poengky Indarti, berharap kasus yang melibatkan jajaran Satresnarkoba Polresta Barelang itu dapat diproses secara profesional dengan scientific crime investigation sehingga hasilnya tidak terbantahkan. Metode itu di antaranya meliputi pemeriksaan data dalam ponsel yang akan membuktikan apakah anggota Polri pernah terlibat percakapan atau pertemuan dengan jaringan narkoba di Batam.
”Polisi digaji rakyat melalui pajak. Kalau sampai ada penyelewengan dalam pelaksanaan tugas, maka rakyat wajib tahu,” kata Poengky.
Ia menyebutkan, hukuman tegas tidak cukup membuat efek jera kepada oknum Polri. Padahal, sebelumnya sudah ada anggota Polri yang divonis mati oleh majelis hakim akibat terlibat peredaran narkoba.
Pada Maret 2024, Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Lampung, menjatuhkan vonis mati kepada bekas Kepala Satresnarkoba Polres Lampung Selatan Ajun Komisaris Andri Gustami. Ia meloloskan delapan kali pengiriman puluhan kilogram sabu dan pil ekstasi di Pelabuhan Bakauheni pada 2023.
Polisi digaji rakyat melalui pajak. Kalau sampai ada penyelewengan dalam pelaksanaan tugas, maka rakyat wajib tahu.
Selain kasus Gustami, Poengky juga menyebut beberapa kasus lain di antaranya adalah vonis mati terhadap Ajun Inspektur Dua Evgiyanto yang menyelundupkan 52 kg sabu di Riau dan vonis mati terhadap tiga polisi dari Polres Tanjung Balai, Sumatera Utara. Tiga Polisi di Sumut itu terlibat menjual barang bukti sabu kepada pengedar dengan nilai Rp 1 miliar.
Kasus narkotika tidak hanya menjerat perwira menengah, seperti Kepala Satres Narkoba Polresta Batam, tetapi juga perwira tinggi, salah satunya bekas Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa. Pengadilan menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Teddy yang terlibat peredaran 5 kilogram sabu.