Tarian Remaja Kinipan Sisipkan Pesan Soal Hutan Adat dan Pangan Lokal
Dalam pagelaran Budaya Bakesah Lewu Itah di Palangka Raya, sekelompok remaja asal Kinipan sampaikan pesan dalam tarian.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKA RAYA, KOMPAS — Masyarakat Adat Kinipan masih terus berharap hutan adat mereka segera disahkan. Harapan itu tersirat dalam tarian yang dibawakan para remaja Kinipan di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, dalam pagelaran budaya Bakesah Lewu Itah.
Empat remaja dengan nama Sanggar Tari Beringin Soti menempuh perjalanan lebih kurang 14 jam dari kampung mereka Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, menuju ibu kota Provinsi Kalteng, Palangka Raya, Minggu (1/9/2024). Mereka membawakan tarian ciptaan mereka sendiri dengan judul Bahuma Batongah yang artinya berladang.
Mesah, instruktur tari dan pendamping mereka, menjelaskan, tarian Bahuma Batongah merupakan tarian yang diciptakan khusus untuk kegiatan Bakesah Lewu Itah yang diselenggarakan JPIC Kalimantan dengan tema pangan lokal. Tarian itu menunjukkan proses leluhur orang Dayak Tomun di Kinipan berladang.
”Jadi, ada gerakan menebas atau membersihkan kebun, membakar, lalu menanam benih padi,” ucap Mesah saat ditemui sebelum mereka pulang ke Kinipan, Senin (2/9/2024).
Mesah mengungkapkan, saat berladang, peladang Dayak tak hanya menanam padi. Mereka juga menanam berbagai jenis sayuran, umbi-umbian, kacang-kacangan, hingga buah-buahan.
”Semuanya ada lengkap di ladang, mau sayuran liar juga ada karena ladang kan dekat hutan-hutan, jadi bisa dicari di sekitar ladang. Belum lagi bisa berburu, jadi dapat daging. Kalau berladang, dari sayur, nasi sampai lauknya sudah tersedia di ladang,” ucap Mesah.
Kinipan hanya satu dari banyak desa yang tampil dalam Pagelaran Budaya Bakesah Lewu Itah. Acara itu diselenggarakan oleh JPIC Kalimantan bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Lembaga Dayak Voices, dan Komunitas Hitam Putih Borneo. Acara yang sudah dilaksanakan sejak Maret 2024 itu ditutup dengan pertunjukan seni dan budaya pangan lokal Dayak.
Pangan lokal adalah budaya, kehilangan pangan lokal merupakan kehilangan budaya yang seharusnya merupakan masa depan bangsa kita.
Direktur JPIC Kalimantan Sani menjelaskan, Bakesah Lewu Itah bisa dimaknai dengan pertukaran informasi, pengetahuan dan gagasan soal pangan lokal. Tidak hanya jenis masakan atau makanan, tetapi proses dan tradisi yang ada di Kalimantan Tengah.
”Acara ini merupakan bentuk upaya bersama, bukan hanya JPIC, tetapi semua masyarakat Dayak di Kalteng untuk bercerita tentang dirinya, tentang kampungnya, lewat pangan lokal. Upaya ini merupakan komitmen kami menjaga budaya pangan lokal yang kian tergerus,” ungkap Sani.
Sani mengungkapkan, pangan lokal merupakan masa depan umat manusia. Alasannya, hanya pangan lokal yang mampu bertahan di tengah krisis iklim. Pangan lokal hanya bisa musnah ketika budaya dan lingkungan juga ikut musnah.
”Jangan sampai generasi berikutnya menyesal dan berharap bisa memutar waktu kembali ke belakang. Pangan lokal adalah budaya, kehilangan pangan lokal merupakan kehilangan budaya yang seharusnya merupakan masa depan bangsa kita,” ucap Sani.
Hutan adat
Sani menambahkan, hutan menjadi bagian paling penting dalam mempertahankan pangan lokal, terutama bagi masyarakat adat Dayak. Kinipan, kata Sani, hanya satu dari banyak desa yang sedang memperjuangkan hutan adat mereka yang saat ini terancam konversi lahan atau diubah fungsi kawasannya.
”Ancaman itu nyata dan sedang berlangsung. Pangan lokal dan tradisi berladang juga ikut terancam,” ujar Sani.
Dalam catatan Kompas, sudah empat kali masyarakat adat Laman Kinipan mengusulkan hutan adat. Terakhir usulan itu diajukan kembali pada April 2024 lalu. Mereka berharap kali ini mendapat titik terang.
Komunitas ini sempat menjadi perbincangan pada 2020 saat Ketua Masyarakat Adat Laman Kinipan Effendi Buhing ditangkap dan diseret dari rumahnya oleh aparat Polda Kalteng. Tidak hanya Buhing, empat warga lebih dulu masuk penjara. Mereka dituduh merusak fasilitas perusahaan perkebunan sawit dan melakukan pencurian (Kompas, 26 Agustus 2020).
Kasus yang dinilai banyak pihak sebagai kriminalisasi itu kemudian menguap. Semua tersangka yang sudah ditetapkan polisi dilepas. Kasusnya juga tidak berlanjut.
Peristiwa itu dipicu penolakan masyarakat terkait kehadiran perusahaan perkebunan sawit di wilayahnya. Sejak itu, masyarakat adat Laman Kinipan kemudian mengusulkan hutan adat agar wilayah mereka terlindungi.
Kepala Desa Kinipan Willem Hengki mengungkapkan, ada banyak cara untuk mengutarakan keresahan, salah satunya lewat seni. Ia begitu berharap hutan adat bisa diberikan kepada masyarakat adat Laman Kinipan. ”Tampaknya sudah ada titik terang, semoga saja. Pemerintah masih berproses,” katanya.