Bongkar Mafia BBM di NTT, Rudy Soik Kena Demosi ke Papua
Mafia BBM bersubsidi di NTT melibatkan oknum polisi. Rudy Soik yang membongkarnya dihukum demosi tiga tahun ke Papua.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
Terbongkarnya mafia bahan bakar minyak bersubsidi yang diduga melibatkan anggota Polda Nusa Tenggara Timur berbuntut panjang. Inspektur Dua Rudy Soik, yang memimpin operasi itu, malah diseret ke sidang kode etik. Putusannya, Rudi harus menjalani demosi tiga tahun ke Polda Papua.
Rudy yang temui Kompas.id pada Sabtu (31/8/2024) malam bicara blak-blakan terkait mafia BBM yang diduga melibatkan oknum polisi. Pria berusia 41 tahun itu membeberkan sejumlah dokumen, berupa video, rekaman, foto, dan percakapan di telepon seluler.
”Saya harus ungkap ini biar publik tahu. Saya dituduh macam-macam setelah proses kasus mafia BBM ini. Prinsipnya, saya tegak lurus dengan aturan dan loyal dengan perintah pimpinan, Kapolresta Kupang (Komisaris Besar Aldinan Manurung),” katanya.
Jalan terjal Rudy berawal dari laporan masyarakat dan temuan tim bahwa terjadi kelangkaan BBM bersubdisi di sejumlah daerah di Pulau Timor. Kelangkaan itu terjadi karena ada permainan jaringan mafia.
Jaringannya dalam beberapa tingkatan. Ada orang-orang yang mendapatkan banyak barcode dari oknum pemerintah untuk membeli BBM bersubsidi. Ini disebut tim pengepul. BBM dimaksud kemudian dibawa ke tempat penimbunan yang dikuasai beberapa orang.
Selanjutnya, BBM bersubsidi itu dijual ke industri, juga untuk berbagai proyek infrastruktur. Bahkan, diselundupkan hingga ke negara tetangga, Timor Leste.
”Dalam proses distribusi barang ilegal ini dikawal oleh oknum polisi,” kata Rudy.
Berangkat dari informasi lapangan itu, pada 15 Juni 2024 Rudy mendapat perintah penyelidikan. Pada hari itu, tim menangkap salah pelaku penimbun bernama Ahmad di kawasan Alak, Kota Kupang. Dari hasil penyidikan, ada oknum polisi yang mendapat setoran Rp 30 juta.
Masih pada hari yang sama, seusai operasi itu, Rudy mengajak bertemu Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Kupang Ajun Komisaris Yohanes Suhardi dan tim. Termasuk juga dua anggota polwan, yang tak lain adalah rekan mereka.
Pertemuan dalam rangka monitoring dan evaluasi di salah satu restoran yang biasa digunakan anggota polisi dan keluarga. Tempat itu terbuka untuk umum.
Selain makan, juga ada fasilitas untuk karaoke. Letaknya hanya beberapa meter dari Markas Polda NTT. Rudy datang duluan, kemudian diikuti dua polwan itu serta beberapa polisi. Dua polwan langsung masuk, sedangkan polisi yang lain masih di luar.
Tak lama, datang Suhardi dan langsung masuk. Melihat hanya Rudy dan dua polwan tadi, Suhardi langsung keluar dan bermaksud mengajak anak buah yang lain untuk masuk.
Tak berapa lama, datang rombongan dari Bidang Profesi dan Pengamanan Polda NTT. ”Di situ firasat saya sudah lain. Saya tanya kepada beberapa anggota yang menunggu di luar, katanya mereka dilarang masuk oleh salah satu polisi,” katanya.
Rudy dan Suhardi kemudian menjalani sidang kode etik. Tuduhannya bertemu istri orang.
Di sisi lain, semua anggota tim yang terlibat membongkar mafia BBM bersubsidi sebanyak 12 orang langsung dimutasi keluar dari Polresta Kupang. Penyelidikan atas kasus itu pun kini tak jelas.
Menurut Rudy, sidang kode etik sangat merugikan dirinya. Pada 28 Agustus, ia dinyatakan bersalah.
Dia didemosi selama tiga tahun ke luar Polda NTT. Rudi digeser ke wilayah Polda Papua.
”Saya rasa ini bentuk ketidakadilan bagi saya,” katanya.
Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Arya Sandi memaparkan sejumlah fakta persidangan kode etik serta tuduhan pelanggaran yang dilakukan Rudy.
Hal itu terkait Pasal 13 Ayat (1) dan atau Pasal 14 Ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri juncto Pasal 5 Ayat (1) huruf b dan huruf c dan atau Pasal 8 huruf f Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Komisi Kode Etik Polri.
”Wujud perbuatan, memasuki tempat hiburan karaoke di saat jam dinas Polri berlangsung bersama wanita yang merupakan istri orang,” katanya.
Hal yang meringankan, lanjut Arya, Rudy sudah 19 tahun berdinas di Polri. Adapun hal yang memberatkan adalah tidak kooperatif, berbelit-belit, dan pernah menerima putusan disiplin sebelumnya.
Menurut Arya, pelanggaran yang dilakukan Rudy merupakan perbuatan tercela. Rudy diwajibkan meminta maaf kepada institusi Polri.
Rudy sementara menjalani penempatan khusus selama 14 hari. Kemudian, ia menjalani mutasi demosi selama tiga tahun ke luar Polda NTT.
Sementara itu, Gabriel Goa dari Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia menilai, sidang tuduhan pelanggaran kode etik adalah upaya untuk mengkriminalisasi Rudy.
”Polri harusnya bersyukur memiliki anggota yang berani seperti Rudy,” katanya.
Gabriel mengikuti rekam jejak Rudy sejak lama. Ketika masih berpangkat brigadir, misalnya, Rudy sangat getol memberantas tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di NTT. Ia bahkan sempat dipenjara karena dianggap melanggar prosedur ketika menangkap pelaku TPPO.
”Waktu itu diduga banyak tangan yang barmain dalam TPPO,” kata Gabriel.
Gabriel berharap Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengambil sikap atas kasus yang dialami Rudy. Memberi keadilan bagi Rudy adalah bentuk apresiasi kepada anggota Polri yang telah bekerja dengan baik.