Ribuan Mahasiswa, Dosen, hingga Seniman Suarakan Penolakan Revisi UU Pilkada di Yogyakarta
Massa menuntut DPR dan pemerintah mematuhi putusan MK soal persyaratan pencalonan pilkada.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·2 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Setidaknya 2.000 orang yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, seniman, dan elemen masyarakat sipil lainnya turun ke jalan di Yogyakarta, Kamis (22/8/2024). Mereka menuntut DPR dan pemerintah mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pilkada dan menghentikan revisi undang-undang pilkada.
Massa berkumpul di kantong parkir Jalan Abu Bakar Ali, di ujung utara Jalan Malioboro, sejak Kamis pagi. Menjelang siang, ribuan orang itu mulai bergerak berjalan kaki menyusuri Jalan Malioboro.
Mahasiswa dari berbagai kampus itu sempat berhenti untuk berorasi di depan Gedung DPRD DIY dan Gedung Agung Istana Kepresidenan Yogyakarta. Setelah itu, mahasiswa memusatkan unjuk rasa di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, di ujung selatan Jalan Malioboro.
Reformati, salah satu koordinator mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan, aksi ini menyikapi langkah DPR dan pemerintah yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat pencalonan dalam pilkada dengan melakukan revisi Undang-Undang Pilkada.
”Tuntutan kami meminta pemerintah dan DPR hargai putusan MK dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengubah peraturan KPU agar sesuai dengan putusan MK,” ujarnya.
Putusan yang dikeluarkan MK pada Selasa (20/8/2024) menyatakan batas usia minimal calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat calon dilantik. MK juga mengubah syarat ambang batas pencalonan lewat partai politik yang kini berdasarkan jumlah pemilih di tiap-tiap provinsi serta kabupaten/kota, berkisar 6,5-10 persen suara.
Aksi ini adalah aksi yang menyuarakan suara jernih dari Yogyakarta untuk mengingatkan penguasa yang tampaknya dalam beberapa bulan terakhir sudah kelewatan.
Namun, pada Rabu (21/8/2024), Badan Legislasi (Baleg) DPR bersepakat menghidupkan kembali ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK itu dalam revisi UU Pilkada. Baleg DPR juga memilih mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) pada Mei 2024 soal penghitungan batas usia minimal calon kepala daerah, yakni saat calon dilantik, bukan saat calon ditetapkan KPU.
Hal itulah yang menyulut ribuan orang berunjuk rasa di Yogyakarta, bersama dengan kota-kota lain di Indonesia. Bukan cuma mahasiswa, ratusan dosen juga ikut serta menyuarakan keresahan mereka, termasuk rektor.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid tampak ikut serta dalam unjuk rasa. Dia menyebutkan, lebih kurang 100 dosen UII juga turun ke jalan bersama mahasiswa.
”Aksi ini menyuarakan suara jernih dari Yogyakarta untuk mengingatkan penguasa yang tampaknya dalam beberapa bulan terakhir sudah kelewatan,” katanya.
Dia pun berharap, dengan suara masyarakat yang semakin lantang, keresahan ini akan didengar dengan hati nurani dan bisa menggerakkan perubahan. ”Harapan kita karena Indonesia berhak untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik,” ujar Fathul.
Sementara itu, Herlambang Wiratraman, dosen Fakultas Hukum UGM yang juga ikut berunjuk rasa bersama mahasiswa, menyebutkan, aksi ini sebagai bentuk kemuakan publik yang seakan dibodohi terus-menerus oleh elite. ”Aksi ini adalah bagian untuk menjawab bahwa rakyat tak mau lagi dibodohi oleh penguasa yang sewenang-wenang,” katanya.
Seniman Butet Kartaredjasa juga hadir menyuarakan penolakannya terhadap revisi UU Pilkada. Menurut Butet, persoalan ini bukan lagi persoalan para politisi atau partai, tapi menjadi persoalan seluruh rakyat Indonesia.
”Kita tidak bisa diam ketika konstitusi dirusak, demokrasi dirusak, hukum diporak-porandakan. Jadi, jelas yang dilakukan DPR kemarin itu bagi saya adalah kejahatan yang terang benderang,” ujarnya.
Unjuk rasa berlangsung tertib. Massa berangsur membubarkan diri sekitar pukul 15.30 WIB.