Kritisi Kemunduran Demokrasi, Mahasiswa di Surakarta Lakukan Aksi Simbolik
Mahasiswa jalan mundur menuju Balai Kota Surakarta. Aksi simbolik ini menyiratkan makna kemunduran demokrasi.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·2 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS – Unjuk rasa di Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (22/8/2024), diwarnai jalan mundur mahasiswa. Itu menjadi pesan simbolik peserta aksi terkait mundurnya kualitas demokrasi di negeri ini.
Aksi di Surakarta dimulai sekitar pukul 14.30 WIB. Massa dari berbagai perguruan tinggi itu menamakan dirinya ”Koalisi Indonesia Melawan”. Setelah berkumpul di Bundaran Gladak, mereka berjalan mundur menuju Balai Kota Surakarta.
Sejumlah spanduk turut dibawa massa aksi. Spanduk-spanduk itu bertuliskan ”Pulangkan Jokowi”, ”Tukang Kayu Sedang Mempersiapkan Kursi untuk Anak-anaknya #OrbaJilid2”, hingga ”Koalisi Indonesia Melawan”,
”Ini aksi simbolis terkait kemunduran demokrasi hari ini. Yang kita tahu, itu bermula dari Solo (Surakarta), dari suatu keluarga berasal dari Solo. Maka, teman-teman coba membuat aksi jalan mundur,” kata Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (BEM UNS), Agung Lucky Pradita, di sela-sela aksi unjuk rasa.
Agung menyatakan, aksi itu dipicu sikap Badan Legislatif DPR yang tiba-tiba berencana merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Wacana itu cukup janggal mengingat rencana revisi dilakukan begitu cepat ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengubah ambang batas bagi partai untuk mengusung calonnya dan batas usia minimal calon kepala daerah.
Semacam ada seseorang di belakang semuanya yang ingin melanggengkan kekuasaannya dengan mengobrak-abrik demokrasi.
Putusan MK itu berpotensi mengubah peta perpolitikan terkini soal pilkada. Seolah terdapat upaya agar sejumlah kandidat kepala daerah melawan kotak kosong akibat terhambat ambang batas parlemen. Di sisi lain, berkembang pula isu mengenai pencalonan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, menjadi salah satu kandidat kepala daerah meski umurnya belum cukup.
”Jangan sampai terjadi seperti pilpres kemarin (putusan MK terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka). Ada peraturan yang diubah tiba-tiba. Semacam ada seseorang di belakang semuanya yang ingin melanggengkan kekuasaannya dengan mengobrak-abrik demokrasi,” kata Agung.
Dalam aksi itu, sekumpulan mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi BEM Solo Raya itu juga membuat pernyataan sikap. Beberapa hal di antaranya seperti menolak tegas dan keras atas revisi UU yang telah dibahas secara mendadak. Mereka juga menuntut DPR membatalkan rancangan UU yang sudah disepakati dan mendorong KPU menjalankan pilkada sesuai putusan MK.
Koordinator Pusat BEM Solo Raya Rozin Afiyanto menyatakan, aksi itu diadakan sebagai bentuk keresahan bersama. Pernyataan sikap yang diungkapkan mewakili suara setiap kelompok yang turut serta dalam gelaran tersebut. Bahkan, ia menyebut, koalisi yang sudah ada sekarang sebagai ”Koalisi Indonesia Mundur”.
Lebih lanjut, Rozin menyatakan, pemilihan lokasi aksi menyiratkan makna tersendiri. Balai Kota Surakarta adalah pijakan mula Joko Widodo merintis karier politiknya sebagai Wali Kota Surakarta. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, juga menduduki jabatan yang sama sebelum akhirnya menjadi wakil presiden terpilih.
”Maka, hari ini kami menyuarakan ini di Surakarta. Ini asal dari semua kebermasalahan negara ini. Kami berharap untuk segera memaksa Jokowi pulang dari jabatannya dan kembali menjadi warga negara. Tidak lagi merusak Indonesia,” kata Rozin.