Mahasiswa di Kendari Tolak Revisi UU Pilkada, 45 Anggota DPRD Malah Tak Berkantor
Aksi penolakan revisi UU Pilkada berlanjut di Sulawesi Tenggara. Ironis, semua anggota DPRD bersamaan tidak berkantor.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Aksi penolakan revisi Undang-Undang Pilkada berlangsung di DPRD Sulawesi Tenggara. Meski begitu, mahasiswa tidak ditemui oleh satu anggota DPRD pun dengan alasan semuanya sedang dalam perjalanan dinas. Situasi ini dianggap menyedihkan di tengah situasi genting yang sedang dihadapi masyarakat.
Puluhan mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kendari menggelar aksi penolakan revisi UU Pilkada, di DPRD Sulawesi Tenggara, Kamis (22/8/2024). Mereka menyuarakan penolakan serta keprihatinan akan situasi hukum yang terjadi.
Piansyah, salah seorang koordinator aksi, menjabarkan, apa yang dilakukan oleh DPR kali ini begitu mencederai hukum yang berlaku di negara ini. Aturan dari Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengikat justru dikangkangi dengan membuat aturan baru yang berbeda.
”Hal ini menjadi bukti hukum dipermainkan dan kehendak rakyat tidak diikuti. DPR yang seharusnya menjadi perwakilan bagi rakyat itu sendiri kini telah berubah menjadi kepentingan kelompok,” katanya.
Setelah berorasi, para demonstran lalu masuk ke ruang aspirasi DPRD Sultra. Akan tetapi, mereka hanya ditemui oleh staf. Diketahui, tidak ada satu anggota DPRD pun yang masuk berkantor hari itu.
Menurut Piansyah, saat ini ada persoalan substansial yang dihadapi masyarakat. Akan tetapi, para anggota DPRD di daerah ini malah tidak ada yang hadir dan mewakili suara masyarakat. Hal ini semakin meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi DPR dan DPRD.
”Kami ingin agar ada sikap dari DPRD Sultra akan persoalan genting yang terjadi. Namun, ini tidak ada seorang pun yang hadir dan berkantor. Apa yang terjadi sebenarnya? Ini memang disengaja untuk tidak ada yang hadir di situasi seperti ini?” ucapnya.
Ruslin, staf aspirasi DPRD Sultra menyampaikan, 45 anggota DPRD saat ini memang sedang melakukan perjalanan dinas. Alasannya untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat di sejumlah daerah di wilayah ini.
DPR yang seharusnya menjadi perwakilan bagi rakyat itu sendiri kini telah berubah menjadi kepentingan kelompok.
Meski demikian, saat mahasiswa meminta bukti perjalanan dinas para anggota DPRD tersebut, Ruslin tidak berani menunjukkan. Ia beralasan hal tersebut hanya untuk permintaan tertentu, seperti pengawasan dan pemeriksaan.
”Kami di sini hanya memfasilitasi agar aspirasi Saudara ditindaklanjuti. Tapi, memang semua anggota Dewan sedang perjalanan dinas,” katanya.
Aksi menolak revisi UU Pilkada di Sultra ini adalah satu dari aksi serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia. Aksi ini merespons sikap DPR yang mengakali dua putusan Mahkamah Konsitusi terkait pilkada.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan dua putusan fenomenal terkait syarat pencalonan kepala daerah. Di dalam putusan Nomor 70 Tahun 2024, MK menegaskan pemaknaan terhadap Pasal 7 Ayat (2) Huruf e UU No 10/2016 yang mengatur syarat usia minimal calon kepala daerah 30 tahun untuk gubernur-wakilnya serta 25 tahun untuk bupati-wakilnya dan wali kota-wakilnya.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan, titik penghitungan usia minimal dilakukan sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum dan bukan saat pelantikan, seperti diputus oleh Mahkamah Agung, 29 Mei 2024.
Putusan itu secara otomatis menutup peluang Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, maju sebagai calon gubernur. Padahal, Partai Nasdem sudah mendeklarasikan dukungannya untuk Kaesang maju pada Pilkada Jawa Tengah.
Putusan kedua, terkait dengan ambang batas partai politik atau gabungan parpol mengajukan calon. MK menyatakan Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat jika tidak dimaknai syarat pengajuan calon oleh partai/gabungan partai disamakan dengan syarat calon dari jalur perseorangan, yaitu berkisar 6,5 persen dan 10 persen suara sah dalam pemilu sebelumnya yang besarannya bergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut.
Namun, DPR melalui Rapat Panja Revisi UU Pilkada Badan Legislasi melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada secara kilat. Dalam rapat panja Rabu ini, mereka menyepakati untuk menggunakan putusan MA sebagai dasar penghitungan usia calon kepala daerah dan mengubah Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada menjadi tak sesuai putusan MK.
”Pembahasan RUU Pilkada ini harus ditolak karena kita ingin negara demokrasi yang berlandaskan hukum tetap pada jalurnya. Apa yang dilakukan oleh DPR kali ini dengan merevisi UU Pilkada setelah putusan Mahkamah Konstitusi seakan ingin membunuh demokrasi,” kata akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kendari, Hariman Satria, Kamis (22/8/2024).
Menurut Hariman, apa yang dilakukan oleh DPR ini mencerimkan kegenitan dalam berdemokrasi. Sebab, apa yang dibahas tidak pada tempatnya dan malah terjadi pembegalan terhadap aturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan oleh MK, ia melanjutkan, telah melalui telaah dan pembahasan yang panjang. Salah satu pertimbangan utama putusan tersebut adalah menciptakan stabilitas politik di daerah, khususnya memberikan kesempatan kepada setiap orang yang potensial untuk maju dan berkontestasi di Pilkada. Prinsipnya adalah kesempatan yang sama untuk setiap orang.