Pusat Rehabilitasi di Lampung Selamatkan Kicau Burung yang Terluka
Pusat Rehabilitasi di Lampung selamatkan ribuan burung kicau, pulihkan mereka dari perburuan ilegal.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Pusat Rehabilitasi Burung Berkicau yang berdiri di Kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, Kota Bandar Lampung, telah menyelamatkan lebih dari 1.000 burung kicau yang terluka akibat diburu dan diperdagangkan secara ilegal. Pemulihan burung di pusat rehabilitasi ini memperbesar peluang satwa bisa selamat dan beradaptasi saat dilepasliarkan ke alam.
Penanggung jawab Pusat Rehabilitasi Burung Berkicau Taman Hutan Rakyat (Tahura) Wan Abdul Rachman, Arief Vickry, mengatakan, saat ini ada sekitar 82 ekor berbagai jenis burung kicau yang masih dirawat di pusat rehabilitasi tersebut. Burung-burung ini adalah satwa sitaan yang diperoleh dari para sindikat perdagangan burung ilegal asal Sumatera.
Sebagian besar di antaranya burung-burung dari wilayah Bengkulu, Sumatera Barat, hingga Aceh yang diduga diburu dari hutan atau alam liar. ”Burung-burung ini biasanya terluka di bagian sayap atau ekor karena terkena lem yang dipasang para pemburu. Kondisi itu membuat satwa ini tidak bisa terbang tinggi di alam,” kata Arief saat ditemui di Bandar Lampung, Rabu (21/8/2024).
Selain itu, ada burung yang lemas karena kekurangan asupan makanan karena dikurung di kotakselama berhari-hari saat proses pengiriman dari Sumatera ke Jawa. Oleh karena itu, burung-burung ini harus mendapatkan perawatan sebelum dilepasliarkan kembali ke alam.
Selama berada di pusat rehabilitasi, burung-burung ini akan mendapat perawatan dari para keeper satwa selama 1-2 pekan. Selain diberi makanan dan minuman, petugas memantau kondisi kesehatan burung. Jika sudah lincah dan sehat, burung-burung liar itu akan dilepasliarkan ke hutan Tahura Wan Abdul Rachman atau lokasi lain di Lampung yang sesuai habitatnya. Lokasi lain yang jadi lokasi pelepasliaran burung antara lain Taman Nasional Way Kambas dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Direktur Eksekutif FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds Marison Guciano mengatakan, pusat rehabilitasi tersebut dibangun sejak awal tahun 2023 untuk menyelamatkan burung-burung yang diperdagangkan secara ilegal. Selama ini, tidak semua burung yang disita dari jaringan perdagangan burung ilegal langsung bisa dilepasliarkan ke alam. Sebagian di antaranya membutuhkan perawatan karena terluka.
Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 1.000 ekor burung yang dirawat di pusat rehabilitasi tersebut. Sebagian besar sudah dilepasliarkan kembali ke alam. Pelepasliaran burung dalam kondisi sehat dapat memperbesar peluang burung itu bisa bertahan di alam dan selamat dari para pemburu.
Ia mengungkapkan, hingga saat ini, burung liar masih diperdagangkan oleh sindikat pedagang burung asal Sumatera. Meski ratusan ribuan burung telah disita setiap tahun, pengiriman burung secara ilegal dari Sumatera ke Jawa diyakini masih marak.
”Burung-burung yang berhasil disita ini hanya sebagian kecil dari jumlah burung asal Sumatera yang diperdagangkan secara ilegal. Dari hasil investigasi kami, jaringan perdagangan burung liar ini mengirim ribuan (ekor) burung dari Sumatera ke Jawa hampir setiap pekan,” katanya.
Berdasarkan catatan FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds, sepanjang tahun 2021-2023, setidaknya ada 121.689 ekor burung kicau asal Sumatera yang disita dari para sindikat pedagang burung ilegal. Sebagian besar burung ini disita dari wilayah Lampung.
Sepanjang tahun 2021-2023, setidaknya ada 121.689 burung kicau asal Sumatera yang disita dari para sindikat pedagang burung ilegal.
Sementara itu, sejak Januari-Juli 2024, setidaknya sudah ada 13.193 burung yang disita di wilayah Lampung. Burung-burung tersebut biasanya hendak dijual di sejumlah pasar burung di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Kepala Satuan Pelayanan Pelabuhan Bakauheni Balai Karantina Pertanian Lampung Akhir Santoso menjelaskan, lalu lintas satwa liar dinyatakan ilegal apabila tidak disertai dokumen resmi yang dipersyaratkan. Dokumen itu meliputi surat keterangan kesehatan hewan dari daerah asal, surat hasil uji bebas flu burung dari laboratorium asal, dan surat izin lalu lintas satwa dalam negeri atau surat angkut tumbuhan dan satwa liar dalam negeri.
Selain itu, pengirim juga wajib dilaporkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran. Aktivitas perdagangan burung ilegal tersebut melanggar Pasal 88 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Pelaku dapat terancam pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.