Masyarakat Dinilai Belum Siap Hadapi Ancaman ”Megathrust”
Narasi yang timbul di media sosial bisa menunjukkan siapa yang tidak siap menghadapi bencana ”megathrust”.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Potensi gempa megathrustyang mengancam sejumlah wilayah pesisir di Indonesia perlu dipahami masyarakat. Namun, berbagai informasi yang beredar justru menimbulkan ketakutan dan kepanikan sehingga masyarakat dianggap belum siap menghadapi ancaman bencana tersebut.
Pengamat kebencanaan Universitas Padjadjaran, Dicky Muslim, menyayangkan respons publik terkait isu gempa besar dari Zona Megathrust. Kepanikan yang beredar, terutama di media sosial, menunjukkan masyarakat belum siap menghadapi ancaman gempa besar tersebut.
”Masyarakat tidak siap dengan informasi itu sehingga timbul kepanikan, seperti yang terlihat di media sosial. Bukannya waspada, narasi yang ada justru menimbulkan ketakutan terhadap bencana yang tidak bisa diprediksi ini,” ujarnya di Bandung, Jawa Barat, Senin (19/8/2024).
Isu terkait gempa megathrust ini mencuat di publik dalam beberapa waktu terakhir. Menurut Dicky, kondisi ini terjadi setelah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis informasi terkait kewaspadaan terhadap gempa bumi di Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut pada pertengahan Agustus 2024.
Peringatan terkait potensi gempa megathrust ini berdekatan dengan informasi yang diberikan Badan Meteorologi Jepang (JMA). Peringatan ini hadir setelah gempa berkekuatan magnitudo 7,1 mengguncang perairan di Prefektur Miyazaki, Jepang, Kamis (8/8/2024).
Pemerintah setempat lalu meningkatkan kewaspadaan. JMA bahkan memperingatkan potensi gempa tersebut dapat menewaskan ratusan ribu orang. Ini merupakan peringatan pertama yang dikeluarkan berdasarkan aturan baru yang dibuat pascagempa bumi, tsunami, dan bencana nuklir pada 2011 (Kompas, 10/8/2024).
”Peringatan yang diberikan Jepang ini juga membuat Indonesia waspada. BMKG telah mengeluarkan informasi terkait potensi megathrust dan memang tidak bisa diprediksi. Seharusnya informasi ini dipahami sebagai bentuk peringatan dini,” ujar Dicky.
Berbagai narasi yang timbul di media sosial menunjukkan ketidaksiapan itu. Menurut Dicky, kondisi ini seharusnya dimanfaatkan para pengambil kebijakan untuk memetakan pihak-pihak yang belum siap menghadapi bencana megathrust.
Semua itu dilakukan untuk membangun kesadaran bagi warga sehingga lebih siap menghadapi bencana. Dicky menyatakan, kesiapan berbagai pihak ini bisa saja berupa pemetaan terhadap lokasi berpotensi tinggi serta penguatan struktur bangunan di daerah rawan bencana.
”Jika didengarkan baik-baik, tidak ada informasi yang bersifat menakut-nakuti. Kita hidup di daerah yang rawan bencana sehingga publik perlu terus diinformasikan karena bencana bisa datang kapan saja,” ujarnya.
Apalagi, potensi gempa besar ini bisa hadir sewaktu-waktu. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono menyatakan, pihaknya mengingatkan kembali potensi gempa megathrust sebagai potensi yang diduga gempa besar.
Indonesia memiliki segmen-segmen yang ”tinggal menunggu waktu” lepas. Segmen itu, misalnya, Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut yang sangat berpotensi memunculkan gempa besar. Daryono berharap informasi ini dianggap sebagai peringatan dini, bukan dimaknai seolah-olah bakal terjadi dalam waktu dekat.
”Potensi ini diduga oleh para ahli sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) yang sudah berlangsung ratusan tahun. Potensi gap ini memang harus diwaspadai karena dapat melepaskan energi signifikan yang dapat terjadi sewaktu-waktu,” ujarnya dalam keterangan tertulis.