Perempuan dan Anak di Sultra Hadapi Kekerasan Setiap Hari
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sultra terjadi setiap hari. Perempuan dan anak tak kunjung merdeka.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulawesi Tenggara terus terjadi. Sejak awal tahun hingga pekan kedua Agustus 2024, terjadi 251 kasus atau rata-rata terjadi setiap 0,9 hari atau kurang dari sehari. Sebagian besar adalah kekerasan seksual dan fisik. Menjelang ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, perempuan dan anak di wilayah ini belum kunjung merdeka dari kekerasan.
Berdasarkan data pelaporan di aplikasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak RI, hingga Kamis (15/8/2024), ada total 251 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan terjadi di wilayah Sultra. Jika dirata-ratakan dengan total hari hingga 15 Agustus 2024, kekerasan terjadi setiap 0,9 hari atau lebih dari satu kasus setiap hari.
Sebanyak 118 kasus atau 47 persen dari 251 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual, 114 kasus kekerasan fisik, dan 24 kekerasan psikis. Kasus terbanyak terjadi di Baubau dengan total 41 kasus, disusul Kota Kendari dengan 29 kasus dan Konawe Selatan dengan 27 kasus. Selebihnya tersebar di sejumlah kabupaten lain di Sultra.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Sultra Abdul Rahim mengungkapkan, lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memang terus terjadi. Angkanya terus bertambah dari waktu ke waktu.
Menurut dia, situasi ini menjadi hal yang menyedihkan di tengah berbagai upaya yang dilakukan. ”Angkanya sangat menyedihkan. (Situasi) Ini menjadi tantangan kita dalam rangka menciptakan generasi emas 2045,” kata Abdul Rahim, di Kendari, Sultra.
Jika melihat angka tahunan, kata dia, jumlah kasus cenderung bertambah. Pada 2019 ada total 140 kasus, lalu pada 2020 sebanyak 240 kasus, dan sempat menurun di 2021 menjadi 235 kasus. Namun, pada 2022 jumlah kasus melonjak menjadi 379 kasus dan pada 2023 sebanyak 545 kasus.
Lonjakan kasus, menurut dia, bisa terjadi karena sejumlah faktor. Faktor itu mulai dari kurangnya pemahaman, lingkaran kemiskinan, hingga tingkat pendidikan. Kasus ini terjadi hampir di semua level keluarga dengan korban yang beragam.
Menurut Rahim, pihaknya berupaya agar kasus bisa dicegah. Sosialisasi dan peningkatan pemahamaman dijalankan secara kontinu. Meski begitu, ia tidak membantah upaya yang dilakukan masih jauh dari maksimal. Hal itu disebabkan oleh terbatasnya sumber daya, baik manusia maupun anggaran.
Dalam berbagai kesempatan, pihaknya mendorong agar semua pihak terlibat aktif dalam pencegahan kekerasan di masyarakat. ”Setiap ada pertemuan, saya sampaikan khususnya kepada kepala desa dan lurah agar mengalokasikan anggaran dan sumber daya untuk mencegah kekerasan (terhadap) perempuan dan anak. Sebab, angkanya terus melonjak dan berimbas ke banyak hal, utamanya ke generasi mendatang,” papar Rahim.
Sementara itu, catatan tahunan Komnas Perempuan menunjukkan, jumlah kekerasan terhadap perempuan pada 2023 mencapai 401.975 kasus. Data ini menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan turun sekitar 12 persen atau 55.920 kasus dibandingkan dengan data pada 2022.
Ibarat fenomena gunung es, data kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut merupakan data kasus yang dilaporkan oleh korban, pendamping, atau keluarga. Sementara itu, kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak dilaporkan bisa jadi lebih besar.
Sejumlah data juga menunjukkan bahwa akar masalah bersumber dari ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Sumber kuasa pelaku semakin kuat ketika pelaku memiliki kekuasaan politik, pengetahuan, jabatan struktural, dan tokoh keagamaan.
Yustina Fendritta, pemerhati kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sultra menjabarkan, terus berulangnya kasus kekerasan atas perempuan dan anak di masyarakat menunjukkan sejumlah hal di masyarakat. Semakin tingginya pelaporan berarti kesadaran masyarakat untuk mengadu semakin tinggi. Hal itu didukung dengan berbagai kanal dan saluran pengaduan, baik di lembaga pendidikan, agama, maupun masyarakat luas.
Akan tetapi, hal ini juga berhadapan dengan berbagai persoalan dalam upaya penanganan secara holistik kekerasan di masyarakat. Berbagai permasahan mendasar masih melekat dari hulu hingga ke hilir.
Di sisi hulu, problem pola pikir dan budaya patriarki masih tertanam erat di struktur masyarakat. Program untuk mengubah hal ini masih masih kecil dan belum tepat sehingga perilaku masyarakat juga belum banyak berubah. Akibatnya, perempuan dan anak terkadang dianggap sebagai obyek semata.
Di tingkat hilir, utamanya penanganan kasus, juga sering kali bermasalah. Meski secara substansi hukum telah didukung berbagai aturan, struktur dan penegakan hukum masih lemah. Belum lagi dengan budaya hukum yang juga bermasalah. Akibatnya, kasus sering kali jalan di tempat atau yang paling fatal adalah terjadinya rekayasa kasus.
Berbagai hal ini, kata dia, harus terus didorong agar ada perbaikan maksimal soal pentingnya saling menjaga dan melindungi yang harus tumbuh di masyarakat. Perspektif kehidupan yang setara tanpa bias patriarki semestinya terus disebarkan. Peran negara begitu vital dalam tataran ini.
”Ibarat kata, kita sudah jelang 79 tahun merdeka; ironisnya, di usia yang matang, perempuan dan anak masih jauh dari bayangan memiliki kemerdekaan untuk hidup tanpa ancaman kekerasan. Ini refleksi kita bersama bahwa insfratruktur dan sistem yang ditujukan untuk perempuan dan anak belum maksimal,” paparnya.