Panen Energi Panas Bumi di Cincin Api
Panas bumi di Dieng memiliki potensi energi besar yang terus dipantau dan terbuka dieksploitasi.
Bagaikan dua sisi mata uang, rangkaian gunung api di Indonesia menyimpan potensi energi yang besar di balik ancaman bencananya. Dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, menjadi contohnya. Puluhan megawatt energi panas bumi dipanen di antara kawah-kawah aktif yang bisa erupsi kapan saja.
Di balik megahnya uap kawah dan telaga-telaga belerang yang menghiasi plato Dieng, ada potensi bencana yang bisa mengancam jiwa makhluk hidup di dalamnya. Manusia hanya bisa menduga dan memprediksi aktivitasnya dengan mengandalkan peralatan yang ada.
Salah satu peralatan yang setia mengawasi aktivitas vulkanik ini ada di sekitar Kawah Sileri, Dieng. Rangkaian alat yang terdiri dari instrumen seismik dan kamera pengawas ini menjadi penyuplai data untuk Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Mengingat perannya yang krusial, kondisi alat ini terus dipantau. Petugas Pos Pengamatan Gunung Api Dieng PVMBG, Surip, kembali menjalankan tugasnya pada Selasa (6/8/2024) sore. Dia bersama seorang petugas lainnya memastikan alat berfungsi dengan baik.
Surip memantau layar monitor rekannya yang sedang memeriksa kelancaran transfer data melalui laptop yang digunakan. Sesekali pria paruh baya itu memandang ke uap panas yang membubung di udara. Jarak mereka ke bibir kawah itu kurang dari 500 meter.
”Alat pemantau juga dipasang di beberapa kawah yang ada di sekitar Dieng. Deteksi dini ini diharapkan bisa menanggulangi potensi bencana dari aktivitas vulkanik di sini,” ujarnya.
Kewaspadaan ini beralasan. Berkali-kali peningkatan aktivitas kawah di sekitar Dieng ini mengancam keselamatan jiwa. Bahkan, ratusan nyawa melayang pada bencana gas beracun yang terjadi 20 Februari 1979 dini hari. Erupsi Kawah Sinila menyebabkan 136 tewas. Sebagian besar berasal dari Desa Kepucukan. Mereka tewas terjebak gas beracun (Kompas, 22/9/1979).
Suplai energi yang stabil dari panas bumi bisa menjadi opsi sumber listrik untuk memenuhi kebutuhan dasar.
”Lewat kemajuan teknologi, kami bisa mengumpulkan data lebih banyak. Tidak hanya untuk mitigasi, tapi juga kebutuhan lainnya terkait potensi yang ada di kawah-kawah Dieng,” papar Surip.
Dia mencontohkan, selain memantau konsentrasi karbon monoksida, gas beracun yang tidak berbau dan tak berasa, alat itu juga merekam berbagai data, termasuk potensi panas bumi di dalamnya.
Kepala PVMBG Hadi Wijaya menguatkan pendapat itu. Dia menyebut, data aktivitas gunung api yang digunakan untuk sektor lainnya adalah wujud dari kerja sama lintas sektor. Di samping memetakan potensi bencana, data juga mendukung sektor lainnya agar bekerja optimal.
”Kita melakukan pemantauan dengan titik pantau di daerah rawan bencana. Kami di Badan Geologi memiliki beberapa bagian yang harus sinergi untuk memaksimalkan tugas dan fungsi badan ini,” ujarnya.
Energi hijau
Salah satu potensi yang terus dipantau adalah panas bumi yang menjadi potensi energi baru dan terbarukan (EBT). Penyelidik bumi madya Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi (PSDMBP) di Badan Geologi Nurhadi menjelaskan, energi panas bumi di Dieng mencapai lebih dari 200 megawatt elektrik (MWe).
Energi hijau dari Dieng ini hanyalah satu dari ribuan titik panas bumi yang tersebar dari penjuru negeri. Apalagi, Indonesia memiliki potensi besar karena dilewati rangkaian gunung api yang melintasi sebagian besar bumi dan disebut dengan Cincin Api (ring of fire).
Aktivitas vulkanik dari gunung api ini menghasilkan uap yang bisa diproses menjadi energi. Selain aktivitas vulkanik, lanjut Nurhadi, keberadaan panas bumi ini juga ditemukan di sejumlah sesar aktif tektonik.
”Di Indonesia ada 127 titik pusat gunung api yang masuk ke dalam jalur ring of fire. Data tersebut berkaitan dengan pemanfaatan panas bumi, yang bisa diekstrak dan dipakai sebagai energi listrik,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Badan Geologi, potensi panas bumi yang telah dipetakan hingga Desember 2023 mencapai 362 lokasi. Tempat-tempat itu menghasilkan energi hingga 23,5 gigawatt.
Sumatera menjadi wilayah dengan lokasi terbanyak yang mencapai 104 titik, disusul Sulawesi (91) dan Jawa (77). Namun, yang baru dimanfaatkan baru menyentuh 2.374 MWe atau sekitar 10 persen dari potensi yang ada.
Meskipun hanya di posisi ketiga, energi panas bumi yang dipanen di Pulau Jawa menjadi yang terbanyak dengan angka 1.267 MWe. Energi ini berasal dari tujuh pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
PLTP di Sumatera juga berjumlah tujuh unit, tapi hanya mendulang energi panas bumi sebesar 962,55 MWe. Setelah itu, baru wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara yang telah memanfaatkan EBT ini dengan jumlah masing-masing 120 MWe dan 24,08 MWe.
Menurut Nurhadi, penggunaan energi panas bumi untuk listrik di Indonesia masih didominasi untuk sistem Jamali (Jawa, Madura, Bali). Apalagi, pemanfaatan ini sejalan dengan target Indonesia bebas emisi karbon pada tahun 2060.
”Pengembangan panas bumi ini seiring apa yang didengungkan terkait net zero emission tahun 2060. Peralihan dari energi fosil ke energi baru ini dilakukan dengan berbagai usaha di panas bumi, seperti optimalisasi PLTP yang sudah ada,” ujarnya.
Stabil
Energi yang bersumber dari panas bumi ini juga dianggap bisa menyelesaikan kendala dalam memanfaatkan EBT. Tidak semua sumber energi hijau ini bisa dijadikan base load atau kebutuhan listrik yang diperlukan dalam waktu 24 jam.
Menurut Nurhadi, suplai energi yang stabil dari panas bumi bisa menjadi opsi sumber listrik untuk memenuhi kebutuhan dasar itu. Energi hijau dari perut bumi ini, lanjutnya, tidak terpengaruh cuaca seperti yang terjadi pada energi surya dan angin, atau musim kemarau seperti energi air.
”Kestabilan ini bisa menjadi keunggulan dari panas bumi dibandingkan EBT yang lainnya. Dalam sistem Jawa-Bali, energi panas bumi juga sudah masuk ke base load bersama yang lainnya,” papar Nurhadi.
Baca juga: Sukses Manfaatkan ”Merah” dan ”Putih”, Peternak Cigugur Kini Nikmati ”Emas Hitam”
Namun, memanfaatkan energi panas bumi ini juga menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Menurut Nurhadi, biaya yang dibutuhkan untuk satu kali pengeboran eksplorasi mencapai 7 juta dollar AS.
”Ini yang membuat perusahaan masih berpikir dalam melakukan pengeboran. EBT ini masih high risk dan high cost. Namun, biasanya teknologi akan terus diperbarui dan akan mencapai harga yang cocok sehingga pemanfaatan energi ini bisa dilakukan lebih optimal,” ujarnya.
Meskipun dinilai mahal, pemanfaatan potensi yang besar dari panas bumi tetap menjadi salah satu sumber EBT. Dengan memanen energi dari Cincin Api, Indonesia bahkan dunia bisa bebas dari emisi karbon.
Baca juga: Arab Saudi Bidik Bisnis Energi Terbarukan di Indonesia