Sukses Manfaatkan ”Merah” dan ”Putih”, Peternak Cigugur Kini Nikmati ”Emas Hitam”
Koperasi peternak di Kuningan, Jawa Barat, mengubah kotoran sapi menjadi biogas.
Bertahun-tahun, kotoran sapi di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menjadi masalah. Kini, dengan kolaborasi, koperasi peternak menyulap kotoran sapi menjadi biogas hingga memanfaatkan PLTS. Setelah ”emas merah” dan ”putih”, mereka pun menikmati ”emas hitam” itu sembari tetap menjaga lingkungan.
Nyaris tidak tercium bau kotoran saat memasuki kandang sapi milik Koperasi Produsen Karya Nugraha Jaya di Cigugur, Rabu (7/8/2024) pukul 10.00 WIB. Sapi perah itu leluasa duduk tenang tanpa kotoran di bawahnya. Ternak itu pun memejamkan mata seperti sedang tidur siang.
”Jam segini, sapi memang waktunya istirahat. Apalagi, tadi sudah mandi air hangat,” kata Jojo Suarjo, kepala kandang, tersenyum. Mandi yang ia maksud adalah menyiram ambing atau kelenjar susu sapi dengan air hangat. Dengan kehangatan itu, pemerahan susu lebih mudah.
Uniknya, air hangat itu tidak berasal dari listrik negara. Sumbernya dari mesin pemanas yang bahan bakarnya kotoran sapi.
Saban pagi, sebelum mengambil susu, Jojo dan pekerja lainnya membersihkan kandang dan menyemprot kotoran dari 60 sapi. Namun, kotoran ternak itu tidak lagi masuk ke instalasi pengolahan air limbah. Limbahnya meluncur ke dua penampungan bulat yang berkapasitas masing-masing 50 meter kubik.
Di sana, kotoran diendapkan sebulan hingga menghasilkan gas metana. Biogas atau gas dari kotoran hewan inilah yang tersalurkan ke pipa khusus, termasuk ke mesin pemanas air.
Cukup menggeser tuas di pipa, biogas itu sudah bisa menyalakan kompor. Api kebiruan dari biogas inilah yang dimanfaatkan Jojo memanaskan air untuk membersihkan kaleng susu hingga memasak aneka lauk-pauk. Dalam dua tahun terakhir, ia tidak lagi bergantung pada gas elpiji 3 kilogram.
Jojo juga tidak perlu pusing jadwal ”mandi air hangat” sapi perah setiap pagi dan sore. ”Sebelum ada biogas, dulu pakai air hangat itu kalau sapi habis melahirkan saja karena menghemat. Paling, dulu pakai kayu bakar. Bawanya ribet dan carinya susah kalau musim hujan,” ujar Jojo.
Perubahan mulai terjadi ketika Pemprov Jabar menyalurkan dana hibah Rp 1,3 miliar untuk membangun instalasi biogas pada 2019. Dengan pendampingan Institut Teknologi Bandung, biogas dibangun. Sempat terkendala pandemi Covid-19, energi ini dimanfaatkan optimal tahun 2022.
Menurut Jojo, kehadiran biogas turut membuat sapi-sapinya ”PW” alias ”posisi wenak (nyaman)”. Sebab, ternak itu bisa merasakan air hangat dan tidak lagi terganggu dengan kotoran.
”Ambing susu kalau kena air panas juga lebih mekar. Otomatis produksi susunya nambah,” ungkapnya.
Ia memprediksi, penambahan susu setelah sapi rutin ”mandi air hangat” bisa mencapai 1 liter per hari. Saat ini terdapat 26 sapi induk yang diperah dengan produksi susu sekitar 460 liter per hari. Artinya, jika ambing sapi kerap dibasuh air hangat, peningkatan susunya bisa 26 liter sehari.
Sejak ada PLTS, komposisi protein di pakan yang diproduksi naik dari 14 persen jadi 16 persen. Semuanya untuk pelayanan peternak.
Jojo juga tak lagi pusing dengan kotoran yang menumpuk karena tidak tertampung di IPAL. Dulu, kotoran itu hanya didiamkan hingga mengering. Jika ada yang ingin pupuk kompos, warga cukup mengambilnya. Tetapi, katanya, jumlahnya tidak banyak karena warga juga punya ternak.
Akhirnya, kotoran itu tidak termanfaatkan optimal. Bahkan, ketika musim hujan, limbahnya ke mana-mana. Baunya kian menyengat.
”Biasanya dikasih terpal aja. Kalau 60 sapi, (kotorannya) bisa 10 truk (kapasitas 8 ton per truk) selama setengah tahun,” ungkap Jojo.
Kini, semenjak ada biogas, kotoran sapi tak lagi menggunung. Warga juga masih memanfaatkan sisa kotoran untuk pupuk kompos. Bahkan, koperasi berencana mengoperasikan mesin milk cooling unit atau unit pengumpulan dan pendinginan susu dengan bantuan biogas.
Tenaga surya
Tidak hanya biogas, kandang koperasi peternak juga menggunakan pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 15 kilowatt peak (KWp). Panel-panel PLTS dari dana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi senilai Rp 647 juta pada 2022 itu berjejer di atap.
Listrik dari PLTS inilah yang menyalakan lampu hingga membantu Jojo menonton televisi saat menjaga kandang semalaman. Ia tidak lagi mendengar bunyi token semenjak PLTS beroperasi. Biaya bayar listrik Rp 500.000 per bulan pun kini dialihkan untuk kebutuhan lainnya.
Gudang pakan ternak, tepat di seberang kandang, juga memanfaatkan PLTS berkapasitas 41 KWp. PLTS senilai Rp 2 miliar dari Pemprov Jabar itu mampu menggerakkan mesin pengolahan pakan yang bisa menghasilkan hingga 50 ton pakan per hari.
”Kami bisa menghemat Rp 5 juta sampai Rp 7 juta per bulan karena pakai PLTS ini,” ucap Ketua 1 Koperasi Produsen Karya Nugraha Jaya Udir Sudirja. Dengan penghematan itu, harga pakan di koperasi bisa Rp 3.700 per kg, lebih rendah dibanding harga pasaran, Rp 4.000 per kg.
”Kami juga menambah mutunya. Sejak ada PLTS, komposisi protein di pakan yang diproduksi naik dari 14 persen jadi 16 persen. Semuanya untuk pelayanan peternak,” kata Udir. Sejauh ini, katanya, PLTS masih berfungsi maksimal, termasuk 18 baterai yang ada di gudang dan kandang.
Dedi (49), peternak, mengakui, harga pakan di koperasi lebih murah dibandingkan tempat lainnya. Ia tidak ingat, apakah harganya sempat turun setelah ada PLTS. ”Tetapi, kalau ada PLTS, mutunya (untuk pakan) diperbaiki. Susunya juga baik, harganya naik,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, harga susu per liter kini mencapai Rp 7.500 per liter, naik dari biasanya Rp 7.000 per liter. Dedi menduga, kenaikan harga susu itu dipengaruhi membaiknya kualitas pakannya. Setiap hari, ia bisa memanen hingga 45 liter dari tiga sapinya.
Baca juga: Dari Kotoran Menjadi Energi
Sekretaris KP Karya Nugraha Jaya Junen berharap, kehadiran biogas dan PLTS meningkatkan kuantitas dan kualitas susu sapi perah yang sempat terpuruk akibat penyakit mulut dan kuku (PMK) pada 2022. Saat ini, produksi susu dari sekitar 2.500 sapi indukan sebanyak 22.000 liter per hari.
Sebelum PMK, katanya, produksi susu sapi di koperasi yang berdiri tahun 1994 ini sempat menyentuh 25.000 liter sehari dari 3.500 sapi indukan. Susu dari sapi yang dikelola 700-an peternak anggota koperasi itu lalu dikirim ke perusahaan susu di Bandung hingga Jakarta.
Emas hitam
”Di sapi perah itu ada tiga emas. Pertama, ’emas putih’, yaitu susu. Kedua, ’emas merah’ atau dagingnya. Ketiga, ’emas hitam’ atau kotorannya. Kami sudah memanfaatkan emas putih dan emas merah. Sekarang, waktunya emas hitam dengan mengubah limbah jadi berkah,” ujarnya.
Menurut dia, limbah ternak tidak hanya bau, tetapi juga pernah memicu protes dari warga. Sebab, kotoran ternak itu mencemari sungai saat musim hujan.
Sejumlah organisasi nonpemerintah dan Pemprov Jabar pernah mencoba menyelesaikan persoalan itu dengan biogas. ”Pernah ada bantuan reaktor (biogas) ke sejumlah peternak. Kapasitasnya kecil, 4 meter kubik, tetapi tidak terawat,” ucap Junen.
Akhirnya, pemanfaatan biogas belum optimal. Selain masalah biaya, kendala lainnya adalah lahan. Tanah di Cigugur kini menjelma kafe dan tempat wisata. ”Usaha sapi perah tergerus oleh pariwisata,” ucapnya.
Sejak tahun 2019, ITB dan Pemprov Jabar mengembangkan energi biogas dan PLTS di kandang milik koperasi. ”Kami berharap kapasitas biogas dan PLTS bisa ditambah dan para anggota juga bisa memanfaatkannya. Apalagi, potensinya besar,” ungkap Junen.
Baca juga: Nasib Perih Peternak Sapi Perah Jabar Dihajar Penyakit Mulut dan Kuku
Menurut dia, setiap sapi bisa mengeluarkan kotoran hingga 15 kg per hari. Dengan jumlah sapi di anggota koperasi mencapai 5.000 individu, kotoran yang dihasilkan per hari bisa 75 ton.
”Kalau setiap rumah tangga punya dua sapi, kotorannya itu bisa menghasilkan biogas yang cukup untuk masak 2 jam sehari,” ungkap Rahmat Romadhon, dosen Fakultas Teknologi Industri ITB yang juga Ketua Tim Peneliti Biogas dan PLTS di koperasi itu.
Meski demikian, investasi awal energi terbarukan cukup besar. Meski demikian, peternak kelak menikmati hasilnya. Penggunaan biogas di kandang itu, misalnya, menghemat Rp 17,7 juta per tahun. Adapun pemanfaatan PLTS itu diprediksi memangkas biaya Rp 94,5 juta per tahun.
Lebih dari itu, proyek ini juga mengurangi 657 ton kotoran sapi per tahun, termasuk yang mencemari sungai. Estimasi penurunan emisi gas rumah kaca dari pemanfaatan biogas serta PLTS itu diperkirakan 848,65 ton setara karbon dioksida per tahun.
”Penyumbang gas rumah kaca terbesar itu salah satunya dari kotoran hewan. Dengan pemanfaatan biogas, kita turut menjaga bumi ini,” ungkap Rahmat. Dari kotoran sapi, peternak bisa menambang emas hitam sekaligus merawat lingkungan.