Pemprov Kalteng Sebut Kebun Plasma Tuntutan Warga Seruyan ”Ditukar” Kegiatan Usaha
Pemerintah mengklaim berhasil memaksa perusahaan perkebunan sawit menjalankan kewajiban dalam bentuk kegiatan usaha.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKA RAYA, KOMPAS — Pemerintah berupaya menyelesaikan konflik yang berkepanjangan antara warga dan perusahaan perkebunan sawit. Polemik soal lahan kebun plasma yang belum menemui titik terang membuat pemerintah meminta perusahaan mengganti kebun menjadi kelompok usaha.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah Rizky Badjuri menyampaikan hal itu kepada Kompas, Minggu (11/8/2024). Ia mengaku sedih melihat konflik yang bermunculan di Kabupaten Seruyan.
Menurut dia, konflik itu bisa terjadi karena banyak faktor. Salah satunya kepentingan masyarakat dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan yang ilegal, bahkan pelanggaran seperti pencurian. Kelompok-kelompok ini datang dari sejumlah daerah untuk mengambil buah yang dipanen di lokasi-lokasi yang diketahui sedang berselisih.
”Soal ini memang arahnya pidana. Jadi, aparat penegak hukum yang punya wewenang untuk menjelaskannya lebih detail,” kata Rizky.
Setidaknya ada tujuh koperasi yang sudah dibentuk untuk menerima manfaat dari perusahaan dalam bentuk kegiatan usaha.
Rizky menambahkan, tuntutan warga yang berkonflik sudah mulai dipenuhi, khususnya tuntutan warga di Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan. Setidaknya ada tujuh koperasi yang sudah dibentuk untuk menerima manfaat dari perusahaan dalam bentuk kegiatan usaha sebagai pengganti kebun plasma.
Kegiatan usaha itu diberikan kepada tujuh koperasi di desa dan wilayah yang berbeda-beda, tetapi masih di sekitar perusahaan. ”Soal kebun atau lahan plasma masih polemik. KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) bilang tidak wajib dalam bentuk lahan, BPN (Badan Pertanahan Nasional) bilang wajib bentuk lahan. Namun, kalau menuruti polemik, masalah ini tidak selesai-selesai,” kata Rizky.
Selain persoalan plasma, lanjut Rizky, beberapa perusahaan perkebunan sawit di Seruyan Tengah dan sebagian besar di wilayah Kalteng memiliki masalah status lahan. Di Seruyan Tengah, misalnya, masih banyak kawasan perkebunan yang belum dapatkan hak guna usaha (HGU) lantaran beroperasi di atas kawasan hutan.
”Memang kena aturan baru (Undang-Undang Cipta Kerja) yang Pasal 110 A dan B. Nah, untuk masalah yang ini tidak bisa pemerintah daerah saja yang berusaha menyelesaikannya, apalagi kami di dinas perkebunan,” ungkap Rizky.
Hal serupa disampaikan Hendra, Kepala Desa Bukit Buluh, Kecamatan Seruyan Tengah. Bukit Buluh merupakan daerah yang sampai saat ini masih dibelenggu konflik berkepanjangan. Sepekan lalu warga di desa itu bentrok dengan aparat dan satu orang terluka. Warga juga membakar mes karyawan salah satu perusahaan perkebunan sawit.
Hendra mengungkapkan, perusahaan yang berkonflik dengan warganya belum memiliki HGU, tetapi sudah beroperasi sejak 2007. ”Saya juga tidak paham kenapa pemimpin (desa) yang terdahulu langsung mengizinkan beroperasi,” kata Hendra.
Menurut Hendra, saat ini pihaknya memastikan anggota koperasi yang menerima manfaat dalam bentuk kegiatan usaha dari perusahaan itu merupakan warga yang lahannya benar-benar masuk dalam izin lokasi perusahaan.
”Kami sedang mendorong perusahaan menjalankan kewajibannya, terutama ke koperasi-koperasi,” katanya.
Melihat hal tersebut, Direktur Save Our Borneo Muhammad Habibi berpendapat, selama ini pendekatan yang diambil pemerintah merupakan pendekatan hukum. Pendekatan seperti ini hanya akan menimbulkan gerakan represif serta memicu bentrok warga dan aparat. Perlu ada penyelesaian yang lebih bijak.
”Jangan hanya warga yang ditangkap karena tuduhan mencuri. Perusahaan yang beroperasi saat izin belum lengkap juga harus ditindak. Itu, kan, yang memicu masalahnya sejak awal,” kata Habibi.
Habibi menambahkan, peristiwa yang terjadi di Seruyan Tengah tidak hanya terjadi sekali, tetapi berkali-kali. Kejadian serupa juga terjadi di banyak daerah di Kalteng. Aksi itu bukan pencurian, melainkan bentuk protes karena tuntutan mereka tidak dijawab.
”Pilihan solusi yang diberikan cenderung mengakomodasi kepentingan perusahaan, bukan kepentingan masyarakat. Padahal, mereka mengambil kebun masyarakat,” kata Habibi.
Habibi menambahkan, tidak ada pencurian yang dilakukan di siang bolong dan di tempat terbuka. ”Mereka bukan pencuri yang mengendap-ngendap di malam hari, itu aksi protes,” ungkapnya.
Kejadian serupa terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan. Saat itu satu warga tewas ditembak polisi. Satu orang lagi tertembak dan cedera seumur hidup. Seusai peristiwa itu, polisi penembak diadili dan diberi hukuman. Namun, menurut Habibi, hukumannya terlalu ringan.