Ikhtiar Sambung Generasi di Sentani Menjaga ”Keagungan” Sagu Papua
Inovasi pemberdayaan masyarakat akan membuat berbagai kalangan menjaga kekayaan sagu Papua secara berkelanjutan.
Kisah keagungan sagu Papua telah berada pada era berbeda. Di sekitar Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, generasi tua masih terus mengagungkan pangan lokal ini. Namun, di sisi lain, generasi muda telah hadir menjadi ”jembatan” dengan inovasi yang menjaga keberlanjutan sagu Papua.
Jumat (26/7/2024), sejumlah keluarga sedang mengolah sagu di Kampung Yoboi, Distrik Sentani. Kampung ini berada di pesisir Danau Sentani, dengan rumah-rumah panggung tepat berdiri di bibir danau.
Di belakang kampung, terdapat hutan sagu seluas kira-kira 1.600 hektar. Hutan sagu itu ”kaya” dengan kurang lebih 30 jenis varietas sagu. Terdapat aliran air di tengah hutan, sepanjang kurang lebih 4 kilometer dengan lebar berkisar 2-3 meter. Sungai itu menjadi prasarana hilir mudik warga membawa hasil produksi sagu menuju kampung.
Baca juga: Keresahan Usilina Epa pada Romantisasi Kuliner Lokal Papua
Ketika Kompas singgah pada Jumat siang, aktivitas warga petani sagu begitu ramai. Sebagian warga baru pulang dari menebang pohon sagu. Ada pula warga yang sudah bersiap memarut (pakai mesin) dan menokok (secara manual). Tak sedikit warga yang bersiap memeras untuk mengambil sari pati sagu yang akan menjadi tepung sagu.
Ester Fele (47), misalnya, sedang memeras sagu di kebunnya yang berjarak sekitar 800 meter dari kampungnya untuk menghasilkan endapan yang akan menjadi sari pati. Urusan sagu ini adalah urusan keluarga. Selagi Ester bekerja, anggota keluarga yang lain memarut dan menokok sagu. Tidak ketinggalan dua anaknya yang berusia di bawah 10 tahun.
Dari satu pohon sagu, biasanya dihasilkan 10-12 karung goni 50 kilogram sari pati sagu basah. Adapun proses mengolah sari pati sagu dari sebuah pohon ini dilakukan dalam 2-3 hari.
”Nanti sagu dibawa pakai perahu ke kampung atau sebagian lagi bisa langsung dibawa ke pasar (ke daratan utama Distrik Sentani),” kata Ester.
Baca juga: Sagu Papua, Sumber Pangan Terabaikan
Sebagian besar sagu yang diproduksi Ester dan keluarga, kali ini akan digunakan dalam acara prosesi pernikahan keluarganya. Dari pihak mempelai perempuan, mereka akan menyediakan konsumsi untuk menyambut pihak laki-laki yang akan membawa seserahan.
”Nanti ada pembayaran adat, jadi kami sebagai pihak perempuan akan menyambut dengan menyediakan makanan. Makanan dari sagu sudah pasti disediakan,” kata Ester.
Harta karun ulat sagu
Sementara di wilayah lain dari hutan sagu Kampung Yoboi, John Wally (35) sedang menyusuri jalan setapak. ”Ada (pohon) yang tumbang karena angin, ada juga yang sengaja ditebang,” tutur John sembari terus menyusuri hutan berlumpur. Pelepah dan kulit batang sagu pun dijadikannya sebagai pijakan.
Baca juga: Varietas Sagu Unggul Spesifik Lokasi
Berjalan sekitar 500 meter, John menunjukkan ulat-ulat sagu, ”harta karun” yang ditemuinya saat mengorek batang pohon sagu yang sudah sangat lapuk. Baru saja ia mengorek sekitar satu meter batang tersebut, John telah mendapatkan belasan ekor ulat sagu berukuran 3-5 sentimeter.
Di Papua, dan di beberapa provinsi lain di Indonesia, ulat sagu juga merupakan komoditas makanan lokal. Dalam penyajiannya, ulat sagu dapat langsung dimakan atau dipanggang.
Menyantap ulat sagu mentah jelas punya sensasi tersendiri. Ulat yang masih bergerak itu dikunyah secara utuh, dengan menyisakan bagian kepala. Terasa gurih, sebagian orang membandingkannya dengan rasa kelapa parut.
Bila kurang nyaman dengan ulat sagu mentah, dapat mencoba ulat sagu bakar. Sebagian orang mengatakan rasanya seperti kelapa bakar, tetapi ada juga merasakan cita rasa seperti kulit ayam atau ampela ayam.
”Mungkin lebih nyaman makan yang dibakar, tapi sebenarnya yang mentah, kandungan gizinya lebih banyak,” kata John.
Baca juga: Cita Rasa Papua dalam Ragam Takjil Nusantara di Jayapura
Dari hutan, sebagian warga Yoboi juga membawa ampas-ampas sagu dari hasil memeras sari pati sagu. Di kampung, ampas sagu ini akan dijadikan sebagai pupuk organik setelah dicampur tanah dalam media tanam berukuran sekitar 2 meter x 2 meter.
Debora Wally (65), misalnya, memanfaatkan media tanam ini untuk menanam sayuran di depan rumahnya. ”Hasilnya (produksinya) masih terbatas, setidaknya cukup untuk kebutuhan rumah tangga,” katanya.
Identitas Sentani
Bagi tokoh adat setempat, Hans Tokoro, sagu akan selalu menjadi identitas kebanggaan warga Sentani. Sagu diyakininya akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari dalam peradaban Sentani.
Hingga kini, setiap warga masih menjaga pelestarian di hutan sagu Kampung Yoboi. Kebiasaan warga lokal ini, kata Hans, akan menjaga ”keabadian” pangan lokal ini.
Ketika ada yang menebang pohon sagu untuk produksi, misalnya, pemilik kebun wajib menanam bibit pohon lagi. ”Tebang satu pohon, bisa saja tanam lagi lebih dari itu, tergantung lahan yang masih kosong,” ujar Hans.
Baca juga: Hutan Sagu Manawari, Tumpuan Hidup Masyarakat Yerisiam
Bahkan, lanjut Hans, sejak lahir anak adat Sentani sudah berkontribusi dalam menjaga ekosistem sagu. Ia menceritakan, ketika perempuan yang melahirkan anak, maka suami wajib menanam sagu. Hal ini, sekaligus sebagai penanda dan pengingat usia sagu dan anak.
”Saat meninggal pun, saat pemakaman juga diikuti dengan menanam bibit sagu yang baru. Untuk mengingatkan, maka keluarga menanam pohon sagu,” ujarnya. Kebetulan, hampir semua keluarga di Kampung Yoboi juga memiliki hutan sagu yang relatif luas.
Di sisi lain, keyakinan Hans juga semakin bertambah dengan melihat generasi muda yang masih mau terlibat dalam pengolahan sagu. Apalagi, pengolahan sagu biasanya dilakukan bersama-sama dalam keluarga.
Selain itu, Hans terus meyakini, ketergantungan masyarakat adat Sentani atas sagu akan terus menjaga ”keagungan” pangan lokal ini. Selain sebagai konsumsi harian, sagu juga selalu dimanfaatkan dalam berbagai acara adat.
Walau zaman terus berubah, Hans menyakini sagu tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari warga Sentani. Ada filosofi mendalam yang telah tertanam dalam jati diri masyarakat adat Sentani.
”Walaupun ada beras satu ton, tidak ada sagu pasti bilang tidak ada makanan. Begitu pun walau sudah makan nasi, tapi nanti bilang belum karena belum makan papeda,” ujarnya.
Jembatan generasi
Sebagai generasi muda, Billy Tokoro (40) juga menyadari ancaman terhadap sagu. Banyak pohon sagu di wilayah Jayapura telah dibabat, sedangkan hutan sagu mulai beralih fungsi.
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jayapura, luas hutan sagu di kabupaten itu kini seluas 3.300 hektar (2019), Luasannya menurun drastis dibandingkan tahun 1990-an yang mencapai 10.000 hektar.
Billy pun mendorong gerakan bersama untuk menjaga sagu Papua, khususnya di Sentani. Menurut dia, gerakan lintas generasi perlu sangat dibutuhkan untuk menjaga kekayaan tanah leluhur ini. Generasi muda diharapkannya dapat menciptakan terobosan yang akan menghadirkan kebermanfaatan untuk dinikmati bersama.
”Sebagai anak adat asli Kampung Yoboi, kami ingin berkontribusi untuk kampung ini,” kata Billy.
Salah satu terobosannya berbentuk pengembangan agrowisata. Pada masa awal pandemi Covid-19, sekitar pertengahan 2020, ia bersama-sama masyarakat menjadikan Yoboi sebagai kampung wisata. Billy yang didapuk sebagai ketua kelompok sadar wisata berinovasi dengan memanggungkan tradisi turun-temurun dari leluhurnya ini.
”Kami angkat tradisi ini lebih bernilai, jadi paket wisata. Saat kita semakin maju, budaya kami jangan sampai tergilas,” ujarnya.
Baca juga: Bom Waktu di Lumbung Sagu...
Dengan paket wisata ini, pelancong ditawari sensasi menyaksikan pengolahan sagu di Kampung Yoboi. Pengunjung kemudian diajak menyusuri hutan sagu naik perahu warga. Selain itu, pengunjung dapat menyaksikan pengolahan sagu serta panen ulat sagu.
”Semua masyarakat (Yoboi) yang terlibat sehingga mereka juga merasakan hasilnya juga. Pasti mereka akan semakin sadar untuk menjaga hutan sagu,” ujarnya.
Meski agrowisata itu sudah berjalan, Billy tetap merasa perlu dukungan dan kolaborasi berbagai pihak. Pemerintah diharapkan hadir untuk memberikan pendampingan sehingga muncul inovasi berkelanjutan untuk memacu produktivitas, baik dari sisi pengolahan sagu maupun pengembangan kampung wisata.
Keberlanjutan ini, kata Billy, akan membawa masyarakat terus merawat kekayaan sagu yang mereka miliki. Di sisi lain, praktik baik yang dilakukan di Kampung Yoboi juga bisa diimplementasi di kampung sagu di wilayah lain di Papua. Dengan begitu keagungan sagu Papua akan terus abadi kendati pada era yang terus berubah.