Geliat Harga Kopi Mengungkit Pertumbuhan Ekonomi Sumsel
Geliat harga kopi mendorong pertumbuhan ekonomi Sumsel menjadi yang tertinggi di Sumatera pada triwulan II-2024.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan pada triwulan II-2024 menjadi yang tertinggi di Pulau Sumatera. Salah satu faktornya didorong geliat harga kopi yang tinggi sehingga mengungkit pertumbuhan ekonomi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel Moh Wahyu Yulianto dalam rilis berita statistik di Palembang, Senin (5/8/2024), mengatakan, ekonomi Sumsel secara tahun ke tahun atau kalau dibandingkan antara triwulan II-2024 dan triwulan II-2023 tumbuh 4,96 persen. Secara kuartal ke kuartal atau kalau dibandingkan triwulan II-2024 dan triwulan I-2024, ekonomi Sumsel tumbuh 4,47 persen.
”Untuk year-on-year triwulan II, pertumbuhan ekonomi Sumsel menjadi yang tertinggi di Sumatera, diikuti Sumut 4,95 persen dan Kepulauan Riau 4,90 persen,” ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, pertumbuhan ekonomi Sumsel didukung oleh momen perayaan hari besar keagamaan dan tahun ajaran baru sekolah yang mendorong peningkatan konsumsi masyarakat dan aktivitas produksi. Kendati demikian, hal itu tidak lepas dari faktor geliat harga kopi yang menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah mulai April hingga Juni lalu.
Hal itu membuat petani lebih antusias panen atau meningkatkan produksinya. Terbukti, dari sisi produksi, sektor pertanian berkontribusi 0,54 persen atau terbesar keempat dari 17 lapangan usaha yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Sumsel pada triwulan II-2024 secara year-on-year. ”Sektor pertanian itu meliputi pula subsektor perkebunan dan tanaman pangan, termasuk di dalamnya ada kopi,” kata Wahyu.
Lonjakan harga kopi kemarin pasti memengaruhi perekonomian Sumsel.
Dari hasil panen yang lebih menguntungkan, otomatis konsumsi rumah tangga petani ikut meningkat. Hal itu turut memengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga yang menjadi sumber pertumbuhan tertinggi untuk ekonomi Sumsel pada triwulan II-2024 secara year-on-year dari sisi pengeluaran, yakni mencapai 2,85 persen.
”Lonjakan harga kopi kemarin pasti memengaruhi perekonomian Sumsel. Yang pasti, saat harga komoditas meningkat, hal itu memacu petaninya lebih produktif. Dengan keuntungan lebih besar, petani akan lebih konsumtif untuk membeli makanan, bahan bakar, kendaraan bermotor, dan sebagainya,” tutur Wahyu.
Jaga tren positif
Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Ekonomi Keuangan dan Pembangunan Sutoko berharap efek dari geliat harga kopi itu bisa menjaga tren positif perekonomian Sumsel. Apalagi puncak harga kopi terjadi pada Juli dan masa panen terakhir baru berakhir pada Agustus.
”Setidaknya, efek dari meningkatnya harga kopi akan tetap terasa hingga triwulan III (Juli-September) 2024. Sebab, grafik peningkatan harga kopi pada Juli dan dampak dari panen di bulan Agustus baru masuk dalam catatan atau laporan BPS Sumsel pada triwulan III-2024,” ujar Sutoko.
Sutoko menuturkan, efek dari meningkatnya harga kopi telah menunjukkan bahwa kopi memiliki potensi luar biasa terhadap perekonomian Sumsel. Ke depan, pihaknya berkomitmen untuk menjaga momentum tersebut agar dampaknya tidak sesaat.
”Paling tidak, kami berharap kegiatan launching brand kopi Sumsel dan pemecahan rekor Muri (Museum Rekor-Dunia Indonesia) minum kopi serentak terbanyak di pinggir sungai baru-baru ini bisa mengangkat nama kopi Sumsel. Tujuannya agar kopi Sumsel lebih dikenal dan bisa berkontribusi lebih besar untuk perekonomian daerah,” katanya.
Ketua Dewan Kopi Indonesia Sumsel Zain Ismed menyampaikan, sebagai penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia, petani kopi di Sumsel sangat menikmati berkah dari lonjakan harga kopi robusta yang sempat menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah pada awal Juli. Harga kopi robusta petik asalan sempat mencapai Rp 70.000-Rp 75.000 per kilogram (kg) dan kopi robusta petik merah Rp 100.000-Rp 120.000 per kg.
Para petani larut dalam euforia dengan berbagai cara. Sebagian besar menggunakan keuntungannya untuk belanja konsumtif, seperti membeli kendaraan bermotor. Hal itu dianggap wajar karena petani sudah sangat lama tidak merasakan euforia tersebut. ”Terakhir kali petani merasakan lonjakan harga kopi pada tahun 1998 karena pengaruh nilai tukar rupiah yang turun drastis terhadap dollar AS,” ujar Zain.
Namun, belum lama merasakan nikmat tersebut, harga kopi robusta berangsur turun pada pertengahan Juli. Bahkan, per 1 Agustus, harga kopi robusta asalan anjlok menjadi Rp 50.000-Rp 60.000 per kg dan harga kopi robusta petik merah Rp 75.000-Rp 100.000 per kg.
”Melihat fenomena ini, sudah waktunya petani diarahkan untuk beralih menjual produk bernilai tambah atau melakukan hilirisasi. Itu akan membantu menjaga kestabilan kesejahteraan petani di tengah dinamika harga komoditas yang bisa berubah tiba-tiba,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sumsel Sumarjono Saragih.