Polemik Iuran Rukun Warga dan Sekolah Petra Surabaya, Ini Duduk Perkaranya
Masalah pengurus RW dan Sekolah Petra di Manyar Tirtosari akibat iuran dan macet bisa berkembang menjadi perkara hukum.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Masalah antara pengurus rukun warga dan Sekolah Petra di Jalan Raya Manyar Tirtosari, Surabaya, Jawa Timur, sempat memanas dan viral. Polemik mengemuka saat ada kenaikan beban iuran rukun warga hingga penutupan jalan akses menuju sekolah.
Masalah ini bermula dari permintaan pengurus tiga RW kepada pengelola SMP Kristen Petra 3 dan SMA Kristen Petra 2 tentang kenaikan nilai iuran dari Rp 32 juta per bulan menjadi Rp 35 juta per bulan. Iuran dibebankan kepada sekolah yang dianggap ”mengganggu” kenyamanan hidup warga sekitar karena aktivitas antar-jemput yang macet. Iuran digunakan untuk membayar upah satuan pengamanan.
Di sekitar Sekolah Petra ada RW IV Kelurahan Menur Pumpungan dan RW VII Kelurahan Klampis Ngasem, Kecamatan Sukolilo, dan RV V Kelurahan Manyar Sabrangan, Kecamatan Mulyorejo. Wilayah ini cukup dikenal sebagai kawasan elite Perumahan Manyar Tompotika.
Pada Rabu (15/5/2024), pengurus RW secara sepihak memberlakukan rekayasa lalu lintas untuk penanganan kemacetan saat antar-jemput siswa siswi Sekolah Petra. Pengaturan ini dengan cara menutup sejumlah portal jalan dari dan ke sekolah sehingga membingungkan orangtua dan atau wali penjemput para pelajar.
Di sisi lain, terkuaklah masalah bahwa Petra keberatan dengan kenaikan beban iuran bulanan. Petra mengakui memberi iuran bulanan kepada pengurus RW yang katanya untuk membayar satuan pengamanan wilayah.
”Kami menolak besaran kenaikan iuran karena penentuannya sepihak dari pengurus RW sejak 2017,” ujar Kepala Bagian Legal Perhimpunan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Petra (P3KP) Christin Novianty Panjaitan di Surabaya, Sabtu (3/8/2024).
Christin memaparkan, kompleks Petra telah berdiri sejak 1979 saat perumahan masih berupa tegalan dan sawah. Sekolah beroperasi sejak 21 Juli 1980. Keberadaan sekolah untuk menjawab kebutuhan warga di masa depan ketika perumahan berkembang dan padat.
Seiring perjalanan waktu, Petra bersedia berkontribusi dengan membayar iuran kepada pengurus RW. Nilainya meningkat. Pernah di angka Rp 18,5 juta per bulan, Rp 22 juta per bulan, Rp 25 juta per bulan, Rp 30 juta per bulan, dan Rp 32 juta per bulan.
Christin melanjutkan, P3KP melaksanakan audit untuk meningkatkan akuntabilitas keuangan mereka. Atas dasar itu, sekolah meminta laporan pertanggungjawaban keuangan kepada pengurus RW.
Laporan yang diminta sejak 2017 sampai akhir 2023, tetapi belum diberikan oleh RW. Sementara pada Februari 2024 datang surat pemberitahuan kepada Petra tentang kenaikan iuran dari Rp 32 juta per bulan menjadi Rp 35 juta per bulan. Petra tidak bersedia membayar sebelum diberikan laporan.
Sampailah saat rekayasa lalu lintas yang menimbulkan masalah antara kelompok warga dan sekolah. Masalah ini dimediasi di Kepolisian Sektor Sukolilo. Karena masalah belum terselesaikan, Petra mengadu ke DPRD Kota Surabaya dan dimediasi pada Rabu (17/7/2024). Dari sana Petra tersadarkan bahwa Jalan Manyar Kertoasri sudah bukan milik pengembang, melainkan pemerintah. Dengan begitu, pembebanan iuran kepada Petra harus melalui mekanisme yang baik dan sesuai aturan.
Menurut IK, anggota satuan pengamanan di lingkungan itu, sebelum terjadi masalah, waktu masuk dan keluar SMP dan SMA Petra sama sehingga terjadi kemacetan mobil dan sepeda motor penjemput siswa-siswi. Kemacetan bisa mengular lebih dari 2 kilometer ke Jalan Manyar Tirtomoyo dan Jalan Manyar Tirtoyoso yang terhubung dengan akses utama Jalan Menur Pumpungan.
Namun, setelah ribut dan masalah viral, sekolah mencoba mengubah jam operasional. SMA menjadi pukul 06.40-15.15, sedangkan SMP 07.40-14.30. ”Jadinya, sudah tidak macet,” ujar IK yang hanya ingin ditulis inisialnya.
Wakil Wali Kota Surabaya Armuji yang sempat mendatangi kompleks mengatakan, masalah antara pengurus RW dan Petra bukan karena kemacetan, melainkan besaran iuran. ”Menentukan besaran iuran harus musyawarah, tidak bisa sepihak. Apakah mereka ini melakukan musyawarah atau tidak, berhati-hatilah,” katanya.
Namun, sepekan setelah rekayasa lalu lintas dan kemudian viral, pengurus tiga RW mengeluarkan surat keputusan tentang Kenaikan Iuran Bulanan Warga Kompleks Tompotika Surabaya. Salah satu masalah yang dicantumkan keputusan Petra tidak mau lagi membayar iuran bulanan sejak 1 Maret 2024 untuk penggunaan fasilitas kompleks perumahan.
Di surat ini dinyatakan, iuran yang seharusnya terkumpul dari ketiga RW dan sekolah senilai Rp 35 juta dikali empat atau Rp 140 juta per bulan. Karena sekolah belum membayar, iuran untuk tiga RW menjadi Rp 46 juta per bulan.
Surat menyatakan, besarnya iuran bulanan berdasarkan kategori luas tanah ialah Rp 150.000 per bulan untuk luas kurang dari 199 meter persegi. Nilainya meningkat sampai Rp 675.000 per bulan untuk luas melebihi Rp 1.000 meter persegi. Iuran tambahan untuk rumah sebagai tempat usaha Rp 50.000 per bulan kategori kecil dan Rp 230.000 per bulan sebagai tempat usaha sedang sampai besar.
Menentukan besaran iuran harus musyawarah, tidak bisa sepihak. Apakah mereka ini melakukan musyawarah atau tidak, berhati-hatilah.
Versi pengurus RW
Triawan Kustiya, juru bicara ketiga RW, mengatakan, akar masalah dengan Petra ialah ketidaknyamanan warga karena kemacetan. Ada 7-8 akses jalan di perumahan menuju Petra. Kemacetan itu dirasakan mengganggu aktivitas warga. Pengurus memang pernah mencoba membuat rekayasa lalu lintas menjadi satu akses masuk, tetapi berujung teguran dan pemanggilan ke kepolisian.
Triawan mengakui, pengurus RW memang menaikkan nilai iuran untuk membayar dan menaikkan upah sekitar 40 satuan pengaman dari Rp 2,7 juta per bulan menjadi Rp 3 juta per bulan. Namun, saat ditanya apa dasar penentuan besaran iuran, pengurus RW tidak dapat menjawab. Pengurus RW juga menyanggah bahwa akses Jalan Raya Manyar Tirtosari bukan fasilitas umum meskipun sudah diserahkan oleh pengembang kepada pemerintah.
Secara terpisah, anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Josiah Michael, mengkritik keputusan pengurus RW yang menetapkan iuran tanpa musyawarah dan mufakat. Surat keputusan pengenaan iuran diyakini belum dituangkan dalam berita acara musyawarah dan diserahkan kepada lurah untuk dievaluasi terlebih dahulu sebelum ditandatangani atau dijalankan.
Wakil Ketua Komite Advokasi Daerah Antikorupsi Jatim Ronny Mustamu mengingatkan, besaran penentuan iuran perlu mengacu pada Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 112 Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Pembinaan Rukun Tetangga, Rukun Warga, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan. Untuk penentuan iuran harus dengan musyawarah, penggunaan untuk apa, dan akuntabilitas yang baik melalui transparansi laporan keuangan.
”Dalam peraturan, Pasal 66 huruf f dinyatakan pengurus dilarang melakukan pungutan di luar ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan ini,” ujarnya.
Penetapan iuran Rp 25 juta-Rp 35 juta per bulan bagi Petra berarti menganggap kompleks sekolah tersebut setara dengan satu RW. Padahal, di dalam surat, bangunan dengan luas melebihi 1.000 meter persegi dikenai iuran Rp 675.000 per bulan. Jika dianggap usaha, ada penambahan Rp 230.000 per bulan.
”Nah, jika sekolah disamakan dengan satu RW, justifikasinya apa? Jika tidak ada, hati-hati karena potensi pelanggaran,” kata Ronny.
Ronny meminta pejabat Pemerintah Kota Surabaya mencermati masalah ini. Jika ada pelanggaran yang ditempuh oleh pengurus RW, bisa mengacu pada Pasal 67 Perwali tadi dengan menjatuhkan sanksi dari administratif sampai pemberhentian.
”Jika dibiarkan, pejabat pemerintah dianggap melakukan pembiaran yang masuk dalam pelanggaran tindak pidana korupsi,” ujar Ronny.