Pertaruhan Masa Depan Sungai Gambut Menyangga Kehidupan Kalimantan
TNS, salah satu Taman Nasional di Kalteng, terdegradasi akibat perubahan fungsi lahan gambut.
Masa depan lahan gambut semakin dipertaruhkan di tengah perubahan fungsi kawasan. Tidak hanya memicu hilangnya keanekaragaman hayati, tetapi juga masa depan manusia di sekitarnya.
Terik matahari menemani Mahriadi (48) yang semringah mempersilakan enam tamunya naik ke atas perahu kayu bermotor atau kelotok miliknya, Minggu (28/7/2024) siang. Dia begitu bahagia. Maklum, setelah menunggu sejak pagi, rombongan wisatawan lokal itu adalah tamu pertama Mahriadi atau biasa disapa Egy hari itu.
Grook...grook...grook...
Egy lantas menyalakan mesin kelotoknya. Diawali bunyi mesin seperti orang batuk itu, perjalanan menyusuri Sungai Sebangau, salah satu sungai gambut di Kota Palangka Raya, pun dimulai.
Egy adalah salah satu pengemudi perahu wisata di Sungai Sebangau. Susur Sungai Sebangau adalah sajian wisata andalan di Kereng Bangkirai, Kecamatan Sebangau, Kota Palangka Raya.
Sungai itu membelah Taman Nasional Sebangau (TNS) yang luasnya 568.700 hektar, sedikit lebih luas dibanding Pulau Bali. Berada di Kalteng, TNS masuk tiga daerah. Selain Palangka Raya, ada juga Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang Pisau.
Sungai Sebangau adalah kekayaan air tawar di Kalteng. Seperti sungai gambut lainnya, air berwarna hitam atau cokelat tua. Selain menopang daya dukung lingkungan, keasrian TNS memberi mata pencaharian warga seperti Egy. Dia mematok tarif Rp 125.000 per perahu untuk satu kali perjalanan keliling sungai selama kurang lebih satu jam.
Berpengalaman sekitar 30 tahun mengendalikan kelotok di sungai gambut, Egy cekatan melintasi hutan rasau (Pandanus helicopus), sejenis pandan berduri. Ada tegang dan seru setiap melintasi terowongan yang tersusun dari rasau yang tumbuh padat.
Akan tetapi, sekitar setengah perjalanan, petualangan itu menampilkan wajah lain di TNS. Hijau rasau berganti dengan pemandangan bekas rasau terbakar.
”Saya juga bingung kenapa (rasau) bisa terbakar? Mungkin karena banyak yang mancing di sini buang rokoknya jadi terbakar,” kata Egy.
Menurut Egy, ketika kemarau, beberapa bagian dari kawasan rawa di TNS memang rawan mengering. Orang bahkan bisa berjalan di atasnya. Jika sudah begitu, sedikit percikan api bisa membakar kawasan itu.
Tercemar
Jauh sebelum menjadi kawasan wisata, TNS sudah lama memberikan kehidupan bagi warga Sebagau. Meski airnya hitam seperti kopi atau teh yang kuning kehitaman, airnya bisa langsung diminum.
Warga juga biasa berburu ikan di sana. Mereka melakukannya dengan memancing atau membuat kolam ikan yang disebut beje.
Salah satu pemilik beje adalah Harmedi (38), warga Desa Bukit Sua, Kota Palangka Raya. Ukuran beje sekitar 5 meter x 10 meter. Kedalaman kolam sekitar 1 m.
Air gambut begitu penting karena jika gambut kering maka akan mudah terbakar, tidak hanya kehidupan di hutan yang terganggu, tetapi juga kehidupan manusia.
Hermedi mengatakan, beje dibuat dengan mengeruk tanah gambut di musim kemarau. Saat musim hujan, air meluap menjadi rawa gambut di hutan-hutan pinggir sungai, dan masuk ke kolamnya. Air itu biasanya membawa banyak ikan. Ketika kemarau datang lagi, saat itu juga panen ikan dimulai.
”Kami punya jaring khusus bernama salaboa untuk mengangkut ikan. Letaknya di dalam beje,” ujarnya.
Akan tetapi, Egy dan Harmedi sepakat bahwa kawasan gambut kini tak sama lagi. Diduga akibat perubahan fungsi lahan gambut, beje semakin sulit ditemukan. Kini, mereka juga pikir-pikir jika hendak meminum langsung air gambut.
Peneliti dari Cimtrop atau Laboratorium Alam Hutan Gambut Universitas Palangka Raya, Kitso, menjelaskan, air gambut kini rentan tercemar. Polutannya berasal dari residu penambangan ilegal hingga penggunaan bahan kimia pada perkebunan sawit.
Dari penelitian Kitso di TNS pada tahun 2020, kandungan pirit air gambut masih normal. Nilainya 3,5-5.
Sementara itu, di Kapuas, di beberapa lokasi, kandungan piritnya hanya 2,5. Pirit rendah menandakan air itu sudah terkontaminasi.
”Di Kapuas itu, airnya warnanya bening, tapi ternyata sudah terkontaminasi. Saat kami teliti itu ada yang coba minum langsung sakit perut, kami juga coba campurkan dengan kopi, ternyata enggak bisa menyatu. Kalau air gambut asli dengan kopi tetap nyatu seperti air biasa meski warna dasarnya sudah hitam,” kata Kitso.
Kitso sangat menyayangkan perubahan itu. Alasannya, air gambut merupakan habitat berbagai spesies dan jadi pendukung sempurna hutan hujan tropis di Kalteng.
Di TNS, populasi orangutan (Pongo pygmaeus) tahun 2007 sebanyak 5.400 individu. Pada tahun 2015, jumlahnya bertambah 426 individu. Di tempat itu, setidaknya ada 166 flora, 35 mamalia, dan 150 burung.
Selain itu, hidup pula berbagai jenis reptil dan ikan seperti toman (Channa micropeltes), baung (Mystus nemurus), kapar (Belontia hasselti), karandang (Channa pleuroptalmus), dan ratusan jenis ikan lainnya.
”Air gambut begitu penting karena jika gambut kering, maka akan mudah terbakar, tidak hanya kehidupan di hutan yang terganggu, tetapi juga kehidupan manusia,” kata Kitso.
Kebakaran
Apa yang dikatakan Kitso tidak meleset. Kalteng adalah jawara kebakaran hutan dan lahan sejak 1997. Kebakaran hebat pertama di lahan gambut yang dibuka terjadi era Soeharto.
Pada 2015, kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi, lagi-lagi di lahan gambut. Sampai saat ini, kebakaran lahan gambut pun seperti tidak berhenti.
Kitso mengungkapkan, dahulu orang Dayak tidak pernah mengelola lahan gambut dalam, khususnya untuk pertanian. Lahan gambut dalam dengan kandungan air gambut yang begitu besar hanya jadi tempat memancing atau membuat kolam.
Sayangnya, sejak proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar, gambut dibelah, airnya yang hitam keluar dari kanal-kanal yang membelah. Kebakaran hutan dan lahan pun tak terhindarkan sejak saat itu. Tak hanya hutan yang kering, rawa yang seharusnya banyak air pun ikut terbakar (Kompas, 22 September 1997).
Apa yang terjadi 27 tahun lalu itu kini terjadi lagi. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Provinsi Kalteng hingga Senin (29/7/2024), kebakaran melanda Kabupaten Barito Selatan, Gunung Mas, Kotawaringin Timur, dan Kabupaten Pulang Pisau.
Dalam 24 jam terakhir, setidaknya terdapat 11 kebakaran. Total luas lahan terbakar 9,6 hektar atau setara 11 lapangan sepak bola.
Kepala Pelaksana BPBPK Kalteng Ahmad Toyib menambahkan, mendeteksi setidaknya 37 titik panas. Titik panas itu muncul dengan tingkat kepercayaan yang beragam.
Selama 2024, lanjut Toyib, sudah terjadi 155 kejadian kebakaran dengan total 357,52 hektar lahan yang terbakar. Petugas juga menemukan setidaknya 897 titik panas sejak awal Januari sampai 28 Juli 2024.
Kabupaten Sukamara menjadi wilayah dengan daerah terbakar paling luas dengan total 161,34 hektar lahan. Semuanya terjadi pada Juli 2024.
Baca juga: Harum Liberika dari Tanah Gambut
Di tengah perubahan alih fungsi, perlindungan air gambut juga sebenarnya sudah dilakukan. Pada 2017, misalnya, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) yang kini menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Pemerintah membangun belasan ribu sumur bor di Kalteng untuk membuat lahan gambut tetap basah. Mereka juga membuat ribuan sekat kanal untuk menahan laju kekeringan lahan gambut agar air gambut tidak keluar.
Sekat kanal berfungsi mengontrol air di kanal-kanal agar tidak langsung keluar ke topografi yang lebih rendah. Dari data BRGM, sejak 2021 sampai 2023, sudah ada 10 sumur bor dan 256 unit sekat kanal di Kalteng. Sedangkan dari 2017 sampai 2023, sudah dibuat 10.664 sumur bor dan 3.184 sekat kanal.
Dengan infrastruktur itu, gambut dijaga tetap basah. Fungsinya seperti spons, menyimpan air dan mengalirkannya ke mana-mana. Selama kualitas air gambut masih terjaga, potensi hilangnya keanekaragaman hayati, hajat hidup orang banyak, hingga kebakaran hutan bisa dicegah untuk masa depan lebih baik.
Baca juga: Selama Juli, Ratusan Hektar Lahan Gambut di Kalteng Terbakar