Hilirisasi di Tingkat Petani, Solusi Atasi Fluktuasi Harga Kopi
Selagi belum punya nilai tawar, petani kopi Sumsel akan terus terjerat mekanisme pasar yang sering tidak menguntungkan.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
Karena hanya mengandalkan penjualan komoditas dalam wujud bahan mentah, petani kopi di Sumatera Selatan tak bisa menghindari penurunan harga kopi akibat mekanisme pasar. Para petani kopi di Tanah Air perlu didorong untuk beralih ke produk bernilai tambah atau melakukan hilirisasi agar kesejahteraan mereka lebih baik di tengah dinamika harga yang bisa berubah tiba-tiba.
Fenomena penurunan harga kopi jenis robusta itu sedang dialami oleh petani kopi di Sumsel. Setelah merasakan nikmatnya lonjakan harga yang sempat menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah, antara lain biji kopi dari panen buah petik asalan Rp 70.000-Rp 75.000 per kilogram sejak akhir Juni hingga awal Juli 2024, petani terpukul karena harga yang disambut gembira itu hanya bertahan lebih kurang sebulan.
Namun, berdasarkan pantauan Kompas per Selasa (30/7/2024), harga kopi asalan berangsur turun Rp 5.000-Rp 15.000 per kg dalam sepekan terakhir. Kini, rata-rata harga kopi asalan merosot menjadi Rp 55.000-Rp 65.000 per kg. Petani kopi di Empat Lawang menjadi yang paling terpukul karena harga kopi asalan turun menjadi Rp 55.000-Rp 60.000 per kg. Adapun di daerah lain, seperti di Pagar Alam dan Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, harga yang dipatok masih relatif lebih baik, yakni Rp 60.000-Rp 65.000 per kg.
Melihat fenomena itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumsel Sumarjono Saragih, saat dihubungi, Senin (29/7/2024), berpendapat, petani yang menjual komoditas mau tidak mau harus menjadi pihak penerima harga atau tidak dapat menentukan harga (price taker). Itu karena harga komoditas tergantung oleh mekanisme pasar.
”Sejauh ini, lembaga pengendali harga komoditas juga masih terbatas untuk komoditas tertentu, terutama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk gabah atau beras. Itu karena gabah atau beras erat dengan politik pangan,” ujar Sumarjono.
Untuk mengurangi dampak volatilitas harga kopi, Sumarjono menilai, petani harus didorong menjadi pihak yang menentukan atau membuat harga (price maker). Walau tetap menjadi penjual komoditas, setidaknya petani kopi bisa memiliki merek dagang sendiri melalui produk olahan yang bisa memberikan nilai tambah.
Produk bernilai tambah itu bisa dalam bentuk kopi berkualitas tinggi yang siap konsumsi, meliputi biji kopi yang sudah disangrai atau bubuk kopi. ”Dengan ragam aspeknya, bisnis kopi yang berkelanjutan akan membuat petani tetap mendapatkan harga premium dari komoditasnya di tengah dinamika harga yang terjadi,” katanya.
Sumarjono mengatakan, keberlanjutan adalah mantra utama dalam perdagangan global. Namun, petani tidak bisa berupaya sendiri. ”Untuk itu, butuh dukungan pemerintah yang menjadi (aktor) sentral untuk mengorkestrasi semua aktor yang terlibat dalam rantai pasok kopi, mulai dari tahap budidaya hingga produk itu sampai ke konsumen,” tuturnya.
Benahi produktivitas dan kualitas
Ketua Dewan Kopi Indonesia Sumsel Zain Ismed punya pandangan berbeda. Menurut dia, petani kopi di Sumsel lebih baik fokus dahulu membenahi produktivitas dan kualitas hasil panen yang masih dinaungi oleh banyak pekerjaan rumah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Mei 2024, Sumsel tercatat sebagai produsen kopi terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 198.015 ton atau 26 persen dari total produksi nasional pada 2023. Sumsel juga berstatus pemilik kebun kopi terluas di Indonesia, yakni dengan kebun mencapai 267.187 hektar.
Namun, produktivitas kopi Sumsel masih rendah, yakni 908 kg atau sekitar 1 ton per hektar yang berada di urutan keempat nasional. Produktivitas kopi Sumsel berada jauh di bawah Sumatera Utara dengan 1.265 kg atau 1,39 ton per hektar yang menempati urutan teratas nasional. Padahal, kalau pola budidaya dibenahi, potensi produktivitas kopi Sumsel bisa mencapai 2-3 ton per hektar.
Di sisi lain, secara kualitas, kopi Sumsel masih dipandang sebelah mata. Salah satu faktornya, yakni kebiasaan petani memanen buah asalan atau tidak semua buah merah atau matang. Itu karena mereka ingin proses panen cepat selesai sehingga bisa lebih cepat untuk menjual hasil panen atau mendapatkan uang.
Pengelolaan pasca-panennya juga jauh dari standar, antara lain proses penjemuran di bawah terik matahari langsung dan beralaskan aspal atau tanah, serta sering kali kopi yang dijemur dibiarkan dilindas ban kendaraan bermotor yang melintas. Akibatnya, cita rasa yang dihasilkan tidak optimal. Tak heran, kopi Sumsel kalah pamor dibandingkan kopi-kopi dari daerah lain, terutama dari tetangganya di Sumatera, seperti kopi Lampung.
Kalau sektor hulu itu sudah lebih baik, kesejahteraan petani disinyalir akan ikut membaik. ”Kalau produktivitas meningkat, otomatis petani bisa menjual hasil panen yang lebih banyak sehingga pendapatan bisa lebih besar. Demikian kalau kualitas meningkat, hasil panen mereka akan dihargai lebih tinggi oleh pasar sehingga pendapatan menjadi lebih besar,” ujar Zain.
Zain menuturkan, produktivitas dan kualitas panen adalah faktor fundamental dalam sektor hulu perkopian. Kalau secara fundamen sudah kuat, petani pasti akan lebih mudah untuk beralih atau merambah sektor hilir atau melakukan hilirisasi. ”Saat ini, reputasi kopi Sumsel masih tertinggal. Untuk meningkatkannya, kita tidak bisa sekadar mengejar citra atau pencitraan, tetapi harus dimulai dari membenahi produktivitas dan kualitas panen petani,” ujarnya.
Butuh akses pasar global
Pemroses kopi asal Rimba Candi, Pagar Alam, Frans Wicaksono (58), menyampaikan, petani kopi di Sumsel butuh terobosan yang bisa membuat mereka lepas dari jerat sistem ijon yang membelenggu secara turun-temurun. Salah satu solusi yang diharapkan adalah dengan pendirian badan usaha milik daerah yang bisa membuka akses pasar lebih luas, khususnya untuk ekspor secara langsung.
Kalau akses ke pasar global terbuka, hal itu akan menimbulkan persaingan harga antara yang ditawarkan oleh pasar luar negeri dan harga yang dipatok para tengkulak atau tauke di dalam negeri. Dengan begitu, petani memiliki asa untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik sehingga turut memacu mereka untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas panen.
”Saya rasa petani memiliki pengalaman dan pengetahuan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas panen. Namun, mereka tidak ada pemantik untuk melakukannya. Kalau ada kepastian pasar yang menawarkan harga lebih tinggi, mereka pasti bersemangat untuk memperbaiki pola budidaya, panen, dan pascapanen,” kata Frans yang memiliki kebun kopi seluas 15 hektar.
Kalau ada kepastian pasar yang menawarkan harga lebih tinggi, mereka pasti bersemangat untuk memperbaiki pola budidaya, panen, dan pascapanen.
Kendati demikian, karena masih bergantung pada mekanisme pasar, petani kopi di Sumsel hanya bisa pasrah saat harga kopi robusta turun dalam sepekan terakhir. Kini, sebagian dari mereka cemas. Ada petani yang buru-buru menjual stok kopinya karena khawatir harga terus merosot. Ada yang lesu karena buah panen terakhirnya belum siap dipetik atau karena kopi yang baru dipanen belum sepenuhnya kering, sedangkan harga sudah telanjur anjlok.
”Seminggu terakhir, harga kopi terjun bebas. Banyak petani yang kena prank (tipu) dengan isu harga akan terus naik hingga di atas Rp 80.000 per kg. Nyatanya, harga justru turun. Kami tidak tahu pasti penyebabnya. Ada dugaan karena stok barang di gudang besar di Bakauheni, Lampung, sedang penuh. Ada juga kemungkinan karena permainan tengkulak,” ujar petani kopi asal Sindang Danau, OKU Selatan, Setia Budi (38).
Selagi belum punya modal nilai tawar yang kuat, petani kopi di Sumsel akan terus menjadi bahan permainan pasar. Bisa jadi, gairah dari lonjakan harga yang sempat mereka rasakan baru-baru ini hanya menjadi euforia sesaat dan belum tentu terulang lagi dalam waktu dekat.