”Kita Orang Susah, Bukan Bodoh!”, Lawan Korupsi lewat Film
Film lokal menawarkan sudut pandang unik terhadap pemberantasan korupsi.
”Kita orang susah, bukan bodoh!” kata seorang perempuan kepada suaminya di sebuah ruang besuk tahanan.
Suami itu diam. Dia hanya bisa tertunduk dan terisak.
Istrinya itu kecewa. Alasannya, suami, seorang office boy di sebuah perusahaan, terlibat praktik suap dan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebelum ditangkap, pemilik perusahaan menawarkan kepada suami itu menjadi perantara. Tugasnya, mengantarkan uang suap kepada pejabat pemerintah setempat. Upahnya Rp 10 juta.
Jumlah itu mungkin sepele untuk bos perusahaan. Namun, jumlah berkali lipat upah bulanan suami yang malang itu. Apalagi, lelaki itu tengah terjepit tunggakan kontrakan dan biaya pengobatan anak yang sakit keras.
Ketidakjujuran suaminya itu membuat keluarga mereka pupus harapan. Si istri mengatakan, kendati bos suaminya itu dipenjara puluhan tahun, mereka masih bisa bertahan dengan kemampuan ekonomi mumpuni.
Namun, tidak dengan keluarga mereka: buruh kecil, hidup mengontrak, dan tidak punya lagi penghasilan. Pencari nafkah keluarga mereka terancam penjara delapan tahun. Sudah susah, jadi korban praktik korupsi pula.
Itu adalah cuplikan film pendek fiksi berjudul Air Mata Penyesalan karya Sinema Media Kreatif, Bekasi, Jawa Barat. Film tersebut ditayangkan di sebuah bioskop Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (26/7/2024). Sekitar 400 penonton dari siswa SMA dan warga menyaksikannya.
Dzulkarnain (17), siswa Madrasah Aliyah Negeri Balikpapan, pindah kursi ke depan setelah film itu tayang. Ia belum beranjak dari bioskop dan mengikuti diskusi film sampai habis.
”Film tadi ‘kena’ banget. Praktik korupsi bikin susah dan ngorbanin orang kecil,” katanya.
Budaya layar, seperti film, dinilai bisa memberi hiburan sekaligus menjadi ruang berpikir tanpa harus menggurui
Sifat jujur, kata Dzulkarnain, semestinya bisa dipegang teguh kendati terimpit kesulitan. Film itu, kata dia, menggambarkan realita yang banyak ia tidak tahu. Namun, ia bisa mengambil spiritnya. ”Sesulit apa pun, semestinya kejujuran dikedepankan. Susah, tapi kayaknya bisa dilakukan,” katanya.
Menonton film bersama itu digelar Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tajuk ”Anti-Corruption Film Festival (ACFFEST) 2024”. Balikpapan menjadi kota penutup gelaran festival kesepuluh ini.
Selain film itu, ada film pendek fiksi asal Kalimantan Barat yang tak kalah menarik dengan menggunakan fenomena dan bahasa lokal. Berjudul Titip Sendal, film itu mengajak penonton berpikir tentang korupsi melalui praktik titip-menitip sandal.
Praktik titip sandal itu digambarkan melalui antrean suntik vaksin. Hal tersebut ternyata membuat kekacauan dan keributan sampai akhirnya jembatan kayu yang mereka pijak ambles.
Ekosistem sineas lokal
Film tersebut adalah finalis perhelatan ACFFEST di tahun-tahun sebelumnya. Ide cerita dan proposal produksi film yang masuk ke panitia diseleksi dan didanai pembuatan filmnya.
ACFFEST 2024 masih membuka pendaftaran kompetisi. Beberapa di antaranya ialah kategori ACFFEST Regional Wilayah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, kategori sinemAksi, serta kompetisi Film Pendek Fiksi dan Animasi. Informasi itu bisa diakses melalui situs resmi ACFFEST.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arief mengatakan, ACFFEST bertujuan mengingatkan dan mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi. Budaya layar, seperti film, dinilai bisa memberi hiburan sekaligus menjadi ruang berpikir tanpa harus menggurui.
”Maka itu, KPK memilih film sebagai penyebar pesan antikorupsi secara ringan, menggugah emosi penonton supaya nangkep pesannya,” kata Amir.
Selama 10 tahun berjalan, ACFFEST melahirkan 47 karya ide cerita serta 118 film pendek fiksi yang berhasil tayang di berbagai platform, seperti Youtube, Maxstream, Cinemaworld, Pesawat Garuda Indonesia, Kereta Api Indonesia, Genflix, hingga Bioskop Online.
Dengan adanya perhelatan ini, Amir berharap, sineas lokal, khususnya di Kota Balikpapan, terpacu berpartisipasi menuangkan ide kreatifnya dalam bentuk film sarat dengan 9 nilai antikorupsi. Nilai itu meliputi jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil.
Sokongan dana produksi film diharapkan bisa membangun ekosistem perfilman nasional yang semakin kuat dengan hadirnya sineas lokal yang mendominasi. Produser film Now, Before, and Then, sekaligus juri ACFFEST 2023 Gita Fara mengatakan, Indonesia punya banyak kisah lokal yang bisa diangkat menjadi film.
Kekhasan nilai dan keseharian lokal di berbagai daerah bisa diobservasi dan dikembangkan menjadi ide cerita. ”Tidak usah jauh-jauh, cukup lihat kiri-kanan seperti film Titip Sendal, kita sudah bisa membuat ide cerita,” kata Gita.
Baca juga: Film untuk Pendidikan Antikorupsi
Seusai kegiatan, Dzulkarnain menambahkan pendapatnya kepada Kompas.id. Ia tersadar satu hal: korupsi sulit dihindari karena banyak orang terlibat di dalamnya sehingga yang tak ingin korupsi turut serta. Namun, ia yakin semangat antikorupsi itu bisa ditularkan ke semakin banyak orang.
Korupsi membuat sedu sedan suami-istri yang malang itu tiada guna. Korupsi rentan membuat kemiskinan bakal lebih lama menjadi teman jahanam bagi keduanya.
Itu bisa jadi kontras dengan bos rakus dan penguasa yang tamak. Bukan rahasia, biar dipenjara, tidak sedikit dari mereka yang tetap leluasa berpesta pora.
Baca juga: Menangkal Korupsi Lewat Sinema