Gadis Difabel di Kendari Diperkosa Berulang, Pelaku Belum Ditangkap
Seorang gadis difabel diperkosa berulang di Kendari. Pelaku yang mengancam membunuh korban belum ditangkap.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seorang gadis penyandang keterbelakangan mental diperkosa berulang oleh seorang pria di Kendari, Sulawesi Tenggara. Korban diancam akan dibunuh jika melaporkan perbuatan pelaku. Menjelang dua pekan melapor, pelaku belum juga ditangkap.
Irham (30), perwakilan keluarga korban, menceritakan, korban yang memiliki keterbatasan mental itu diperkosa oleh seorang pria bernama Tata (46) yang juga masih kerabat tetangganya. Peristiwa diketahui terjadi dua kali dalam sebulan terakhir ini.
”Kami tahunya ketika Pak RW datang tanyakan hal ini karena istri pelaku curiga keduanya ada hubungan. Di situ korban mengaku diperkosa dan ternyata diancam dibunuh jika melaporkan,” kata Irham di Polsek Poasia, Kendari, Sabtu (27/7/2024).
Menurut Irham, kejadian ini bermula pada Juni lalu saat pelaku membantu mengerjakan rumah saudaranya yang berdampingan dengan rumah korban. Saat itu, pelaku sering melihat korban yang hanya tinggal di rumah. Korban di usianya 21 tahun ini hanya bersekolah sampai sekolah dasar.
Di sebuah waktu, setelah berkenalan, pelaku mengajak korban untuk jalan berdua. Setelah makan, pelaku membawa korban di sebuah daerah yang sepi. Di situ, korban diperkosa. Pelaku juga mengancam akan membunuh jika melaporkan kejadian ini.
Beberapa waktu setelahnya, pelaku kembali mencabuli korban. Pelaku bahkan menarik korban ke toilet masjid dan memerkosanya. Korban tidak berani melapor karena ancaman pelaku.
Namun, tambah Irham, istri pelaku curiga suaminya dan korban memiliki hubungan khusus. ”Kami tidak tahu ia pernah lihat atau bagaimana, tapi istrinya curiga. Makanya, melapor ke lurah setempat sampai Pak RW datang mengklarifikasi hal tersebut,” ujarnya.
Setelah mendapatkan penjelasan korban, keluarga lalu ke Polsek Poasia pada Kamis (18/7/2024) untuk melapor. ”Namun, sampai sekarang belum ditangkap. Pelaku sempat terlihat di rumah keluarganya dan kami datangi. Tapi pelaku kabur,” katanya.
Ahmad (44), keluarga korban lainnya, menambahkan, keluarga berharap polisi bisa segera menemukan dan menangkap pelaku. Sebab, hal ini telah membuat korban menderita dan keluarga menanggung malu.
Kami tahunya ketika Pak RW datang tanyakan hal ini karena istri pelaku curiga keduanya ada hubungan.
Tidak hanya itu, berbagai informasi beredar, jika pelaku telah berulang kali melakukan aksi ke orang lain. ”Kami berharap segera ditangkap, dan pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya,” ujar Ahmad.
..
Kepala Polsek Poasia Ajun Komisaris Jumiran menjelaskan, kejadian pemerkosaan tersebut memang dilaporkan sejak lebih dari sepekan lalu. Setelah laporan diterima, pihaknya lalu berusaha mengumpulkan informasi dan mencari keberadaan terlapor. Terlapor adalah Tata (46), yang beralamat di Laonti, Konawe Selatan. Namun, terlapor sering di rumah saudaranya yang bertetangga dengan korban.
Meski begitu, ia menambahkan, keberadaan pelaku selalu sulit ditemukan meski informasi beredar. ”Kami mengimbau agar pelaku segera menyerahkan diri. Dan siapa saja yang mengetahui keberadaan untuk melaporkan dan tidak menyembunyikan,” kata Jumiran.
Informasi yang dihimpun, ia melanjutkan, pelaku juga pernah memerkosa. Akan tetapi, saat itu pelaku dihukum secara adat dan tidak dilanjutkan pada proses hukum.
Sebelumnya, Yustina Fendrita, pendamping korban kekerasan seksual di Sultra, menuturkan, sebagian besar kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Mereka, antara lain, ialah keluarga dekat, guru, dan tetangga. Namun, tidak tertutup kemungkinan orang yang baru dikenal juga bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, terutama terhadap anak.
Hal ini terjadi, kata Yustina, akibat lemahnya pengawasan bersama dan lemahnya posisi perempuan dan anak di masyarakat. Pola pikir yang menempatkan perempuan di posisi lemah membuat kasus kekerasan butuh waktu lama terungkap. Belum lagi, banyak kasus kekerasan seksual terhadap yang tidak tertangani maksimal, mulai dari proses pelaporan hingga persidangan.
Oleh sebab itu, menurut Yustina, aparat kepolisian harus memberikan hukuman maksimal terhadap para pelaku tindak kejahatan seksual. Tidak hanya itu, pencegahan dari semua pihak juga harus dilakukan dengan penyadaran atau pemberian pemahaman secara berkesinambungan. Hal itu untuk melindungi para perempuan, khususnya anak, yang begitu sering menjadi korban kekerasan seksual.