Seni dan pengetahuan melimpah di Omah Petroek. Keduanya dapat dinikmati dalam semilir angin lereng Merapi.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·3 menit baca
Omah Petroek di lereng selatan Gunung Merapi adalah tempat menepi yang tepat dari derasnya laju hidup perkotaan. Sambil menepi, Omah Petroek mengajak pengunjungnya menikmati kombinasi dua khazanah berbeda tapi satu napas: seni dan pengetahuan.
Omah Petroek adalah rumah budaya yang terletak di Karang Klethak, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Di ujung jalan buntu dusun yang berbatasan dengan Sungai Boyong itu, suasana memang tak bisa salah: sejuk, hijau, tenang.
Suasana itu pula yang menyelimuti saat Omah Petroek menggelar pameran seni rupa bertajuk Adem Ayem, yang dihelat pada 25-27 Juli 2024. Pameran yang bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman itu menampilkan karya seni rupa, terutama lukisan, dari 26 seniman di Kabupaten Sleman.
Di antara pelukis yang berpartisipasi adalah Nasirun, Budi Ubrux, Laksmi Shitaresmi, I Wayan Cahya, dan Melodia. Ada pula karya mural yang ditampilkan Herlambang Ronggo dan Sulis Giyanto, instalasi patung kayu karya Budi Ubrux, serta instalasi patung batu karya Ismanto.
Akan tetapi, tidak seperti pameran seni rupa pada umumnya yang diadakan di galeri tertutup, Adem Ayem bertempat di pendopo terbuka di Sekolahane Pak Petroek. Pameran ini benar-benar memaksimalkan pesona perdesaan lereng Merapi untuk menyajikan karya-karya seni itu.
Sindhunata, pendiri Omah Petroek, dalam pengantar pameran, menyebut pameran ini untuk menggugah kreativitas para perupa yang bermukim di Sleman. Para seniman di daerah itu memiliki keistimewaan karena begitu dekat dengan keindahan Merapi yang tak pernah kering sebagai sumber inspirasi.
”Sekolahane Pak Petroek ini menjadi tempat sederhana untuk para perupa, bagian dari upaya untuk menggiatkan kesenian di Kabupaten Sleman,” kata Sindhunata saat pembukaan pameran, Kamis (25/7/2024).
Sebagai pameran seni, Adem Ayem juga memiliki keistimewaan lain karena menyajikan karya yang relatif lebih bisa dijangkau oleh masyarakat luas. Intinya, penikmat seni dapat meminang karya-karya itu tanpa harus merogoh saku terlalu dalam.
Seusai melihat-lihat lukisan, pengunjung juga bisa menikmati perpustakaan kecil yang berada di bangunan pendopo yang sama. Namun, bukan sekadar perpustakaan, di sana juga tersedia layanan data bernama Pusat Informasi Kompas (PIK) yang bisa diakses secara gratis.
Melalui layanan tersebut, pengunjung bisa membuka arsip digital pemberitaan harian Kompas sejak pertama kali terbit pada 28 Juni 1965 hingga kini. Ini melengkapi fasilitas serupa yang juga terdapat di Kantor Harian Kompas Biro Yogyakarta di bilangan Kotabaru, Kota Yogyakarta.
Manajer Omah Petroek Agustinus Antok mengatakan, layanan PIK di Omah Petroek kerap dikunjungi mahasiswa untuk mencari bahan penelitian atau tugas kuliah. Bukan hanya teks, PIK juga menyimpan kekayaan foto dan infografik harian Kompas. Di pelataran kompleks itu pun terdapat toko buku yang menambah akses literasi di Omah Petroek.
Suasana ini yang bikin pengunjung betah karena susah ditemukan di kota.
Biasanya, setelah mendapat bahan yang diperlukan, pengunjung mahasiswa langsung menggarap tugas sambil ngopi-ngopi di warung Kopi Petroek, persis di sebelah Sekolahane Pak Petroek. Menyeruput kopi dalam suasana adem dan rindang tentu membantu meredam penat saat berhadapan dengan pekerjaan di laptop.
”Suasana ini yang bikin pengunjung betah karena susah ditemukan di kota,” ujar Antok.
Marzuki Mohamad alias ”Kill the DJ”, pentolan Jogja Hip Hop Foundation, yang mengunjungi pameran Adem Ayem mengapresiasi pameran tersebut. Di balik kesederhanaan pameran, dia menangkap pesan penting tentang seni yang harus terjangkau untuk masyarakat luas.
Keberadaan pusat data di Sekolahane Pak Petroek itu juga menjadi hal penting yang menurut dia perlu terus diperkenalkan kepada publik agar bisa dimanfaatkan oleh makin banyak orang. ”Bagi mahasiswa, tentu ini menjadi hal yang menarik,” ujarnya.
Layanan perpustakaan dan PIK di Sekolahane Pak Petroek ini sesungguhnya hanya bagian kecil dari ”kolam” pengetahuan yang bisa diselami di Omah Petroek. Sejumlah daya tarik lain dapat disambangi di kompleks seluas sekitar 2 hektar ini.
Salah satunya adalah Museum Anak Bajang. Nama tersebut diambil dari tokoh dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata yang juga merupakan wartawan senior. Museum itu menampilkan karya seni, buku, majalah, dan barang-barang lain yang bernilai sejarah.
Masih di kompleks yang sama, terdapat pula Taman Yakopan yang didedikasikan untuk mengenang Jakob Oetama, tokoh pers nasional sekaligus pendiri harian Kompas bersama PK Ojong. Di situ tersimpan sejumlah memorabilia dan karya seni tentang sosok ataupun perjalanan jurnalistik Jakob Oetama dan harian Kompas.