Menjadi Kebun Kopi Robusta Terluas, Adakah Arabika di Sumsel?
Meski cocok ditanam di hamparan kaki Gunung Dempo, kopi arabika kurang populer ditanam di Sumsel. Apa sebabnya?
Memiliki kebun kopi terluas di Indonesia, Sumatera Selatan menanaminya dengan hampir seluruhnya jenis robusta. Kenapa kopi robusta lebih mendominasi di hamparan Bukit Barisan Sumatera itu? Adakah kopi arabika juga ditanam di sana?
Sumsel tercatat sebagai produsen kopi terbesar di Indonesia dengan produksi 198.015 ton. Volume ini menguasai 26 persen produksi kopi nasional pada 2023 (BPS, Mei 2024). Sumsel juga merupakan kebun kopi terluas di Indonesia dengan luas 267.187 hektar. Dari hamparan seluas ini, 98 persennya ditanami kopi berjenis robusta.
Padahal, perkebunan kopi yang menyebar di Bukit Barisan Sumatera itu berada pada ketinggian beragam, mulai dari 800 hingga di atas 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Selain untuk robusta, cocok untuk tanaman arabika yang memiliki nilai jual tinggi di pasar dunia. Kenyataannya, hanya 2 persen areal yang ditanami arabika.
Ketua Dewan Kopi Indonesia Sumsel Zain Ismed mengatakan, kebun kopi menyebar pada 13 dari 17 kabupaten/kota di hulu Sumsel. Arabika hanya ditanam di sejumlah kecil area di Muaraenim, Pagar Alam, dan Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan.
Ia menyebut faktor utama yang mendorong luasnya robusta di Sumsel adalah kondisi lingkungan yang kurang mendukung. Saat ini, lahan kopi yang tersedia umumnya di ketinggian 600-1.000 mdpl.
Adapun lahan ideal untuk arabika di ketinggian di atas 1.000 mdpl umumnya masih berupa hutan lindung. Kalau mendapatkan izin kelola, hutan-hutan itu pun belum tentu bisa diakses.
”Di sisi lain, kalau menanam di area hutan, kita juga bisa terkendala dengan Peraturan Deforestasi Uni Eropa atau larangan perdagangan produk yang menyebabkan kerusakan hutan. Eropa adalah pasar utama arabika,” ujarnya, Kamis (25/7/2024).
Baca juga: Petani Kopi Akhirnya Memanen Buah Kesabaran
Untuk lahan di atas 1.000 yang berstatus nonhutan, lanjut Zain, sebagian besar sudah ditanami robusta. Petani menanggung risiko yang tinggi jika harus mengganti jenis tanaman. Sebab, ada waktu jeda tanpa penghasilan karena harus menunggu tanaman memasuki usia panen hingga tiga tahun. ”Selama itu, otomatis petani akan kehilangan sumber pendapatan tahunannya,” katanya.
Nyaman dengan robusta
Zain menyampaikan, petani juga telanjur nyaman dengan budidaya robusta yang relatif tidak manja. Tanaman cukup tahan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga petani tidak harus repot merawat kebun setiap hari. Petani hanya perlu rutin ke kebun kopi saat mendekati masa kopi berbunga, antara lain untuk membersihkan pohon dari gulma atau ranting-ranting yang tidak produktif agar buahnya lebat.
Berbeda dengan kopi arabika yang butuh perhatian intensif, serta relatif rentan terserang hama dan penyakit. Kalau tidak mendapatkan perhatian lebih, produksi buahnya tidak akan optimal. Hal itu disinyalir bisa menghambat aktivitas petani yang mayoritas tidak hanya bertani kopi, tetapi tanaman lainnya juga.
”Di sini, kebanyakan petani punya pekerjaan lain atau sampingan, seperti mengolah kebun tanaman hortikultura yang bisa memberikan penghasilan harian. Tidak sedikit juga petani yang memang punya pekerjaan rutin sebagai pegawai pemerintahan, karyawan swasta, atau pekerja informal,” tutur Zain.
Baca juga: Mengapa Harga Kopi Robusta Melambung?
Para petani pun mendapatkan tantangan akibat pemanasan global. Dampaknya semakin dirasakan di wilayah pegunungan Sumsel. Hal itulah yang dirasakan betul oleh Frans Wicaksono (58), prosesor kopi di kawasan Rimba Candi, Pagar Alam, yang kebunnya berada di ketinggian 1.300 mdpl.
Baca juga: Menikmati Musi dengan Secangkir Kopi
Sekitar 10 tahun lalu saat Frans pertama kali hijrah dari Jakarta ke Rimba Candi, pria kelahiran Bogor, Jawa Barat, itu merasakan suhu di Rimba Candi masih sejuk. Itu membuat dirinya dan kebanyakan orang di sana tidak berani mandi di bawah pukul 12.00 WIB karena takut menggigil. Namun, sekarang, suhu terasa lebih hangat sehingga mandi pagi saja tidak masalah.
Ke depan, menanam arabika akan semakin sulit karena lahan yang lebih tinggi sangat terbatas.
Hal itu memengaruhi pertumbuhan arabika yang ditanam sebagian kecil petani di Rimba Candi. Menurut Frans, arabika di sana mulai terserang hama dan penyakit, seperti karat daun. Serangan itu menurunkan produktivitas, bahkan hingga menyebabkan kematian tanaman.
”Kalau sudah begini, otomatis butuh lahan yang lebih tinggi lagi untuk menanam arabika di sini. Artinya, ke depan, menanam arabika akan semakin sulit karena lahan yang lebih tinggi sangat terbatas,” ujar Frans yang memiliki kebun kopi seluas 15 hektar.
Memori kolektif
Serangan hama dan penyakit itu pula yang menyebabkan masyarakat Sumsel kehilangan memori kolektif mengenai arabika. Sejatinya, arabika bukan tanaman baru di Sumsel. Di era pemerintahan kolonial Belanda, terutama akhir abad XIX dan awal abad XX, Sumsel dikenal sebagai salah satu penghasil arabika utama di Sumatera. Semua kopi yang ditanam di wilayah itu berjenis arabika.
Hal itu ditulis oleh peneliti Belanda, Jeroen Peeters, dalam bukunya, Kaum Tuo-Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 yang terbit di Jakarta pada 1997. Peeters mengatakan, pada 1823, penulis Belanda, JC Reynst, menemukan kebun kopi kecil di hulu Musi dan di Lembah Ampat Lawang (sekarang Kabupaten Empat Lawang).
Baca juga: Kopi Robusta Kuning, Harta Karun dari Rimba Candi Pagar Alam
Akan tetapi, waktu itu, produksi belum mencapai setengah ton setahun. Hingga paruh pertama abad XIX, belum ada rangsangan produksi untuk pasar eksternal, antara lain karena tidak adanya jalan pengangkutan yang baik dari Bukit Barisan ke dataran rendah Palembang. Sesudah pendudukan militer di pegunungan selesai pada 1866, usaha pertama dilakukan untuk membuka hubungan darat antara Palembang dan Bengkulu dengan memperbaiki jalan setapak melalui Bukit Barisan.
Dampak dari pembangunan jalan militer itu pertama kali terlihat di Ampat Lawang. Di lembah bukit tersebut, seorang pensiunan sersan mayor pasukan pendudukan di uluan Palembang (hulu Sumsel) bernama Anslijn mulai membeli kopi dari masyarakat setempat. Akibatnya, dibuatlah kebun baru yang lebih besar. Berkat petunjuk Anslijn, pohon-pohon dirawat dan dipelihara lebih baik sehingga untuk pertama kali taraf produksi dapat ditingkatkan.
Kesuksesan itu menyebabkan pada 1866 beberapa saudagar China dari Bengkulu memilih menetap di Ampat Lawang untuk mengurus pengangkutan produk selanjutnya ke tempat lain. Terobosan struktural terjadi saat dipakai gerobak sapi untuk mengangkut kopi dari lereng terjal Bukit Barisan ke Bengkulu sehingga biaya pengangkutan yang tinggi dapat ditekan dan keterasingan ditembus.
Baca juga: Kopi Menanti Peremajaan
Dari pelabuhan Bengkulu yang kecil, kopi dari uluan Palembang dikapalkan ke Padang dan memperoleh harga sedikit di atas varietas arabika lokal kelas dua. Sejak itu, banyak pedagang yang berdatangan untuk mengambil kopi dari uluan Palembang dan memicu harga terus meningkat.
Karena tingginya harga arabika, perkebunan kopi terus diperluas. Hal itu turut memaksa pemilik kebun mendatangkan tenaga kerja asing yang kebanyakan dari Bengkulu untuk melakukan sebagian pekerjaan dengan perjanjian bagi hasil. Geliat kopi terjadi pada 1870-an saat ada perbaikan akses jalan besar-besaran sehingga untuk pertama kalinya diadakan angkutan kendaraan dari Ampat Lawang ke Mandi Aur dan Tebing Tinggi (dari lokasi perkebunan ke pusat niaga terdekat).
Sukses budidaya kopi di bagian utara Bukit Barisan diikuti ke arah selatan. Hingga 1870-an, Ampat Lawang masih menjadi pusat produksi arabika. Sesudah itu, budidaya dengan cepat melampaui titik puncaknya karena ada perluasan kebun ke bagian yang lebih tinggi dari Besemah Lebar (sekarang Pagar Alam dan Kabupaten Lahat) dan Semendo (sekarang Muaraenim). Pada 1880-an, Lahat dan Muaraenim pun menjadi pusat perdagangan kopi yang baru.
Ekspor arabika yang meningkat dari Bukit Barisan memberikan cukup indikasi tentang cocoknya tanah uluan Palembang bagi budidaya komoditas tersebut. Didorong oleh berita pers kolonial pada 1890-an, para petualang pertama Eropa bertolak ke tanah pegunungan dengan maksud membangun sendiri kebun di lereng Gunung Dempo (sekarang Pagar Alam) dan di lembah Sindang (di Lahat).
Namun, sesudah tahun 1900, minat rakyat untuk budidaya arabika justru berkurang. Itu karena harga arabika turun pada dasawarsa pertama abad XX. Bersamaan dengan itu, merebak penyakit yang menurunkan produktivitas tanaman dengan cepat.
Kalau pada 1890-an hasil panen masih 20.000 pikul setahun (sepikul sama dengan 60,479 kg), pada 1907 hasil panen turun menjadi 187 pikul. ”Akhirnya, rakyat berhenti membangun kebun baru sesudah tahun 1900,” tulis Peeters.
Kopi masam
Tak lama setelah berhenti menanam arabika, pemerhati sejarah Sumsel, Vebri Al Lintani, menuturkan, Belanda memperkenalkan robusta yang lebih tangguh terhadap serangan hama dan penyakit. Sejak itu, mulailah era baru perkebunan kopi di Sumsel yang didominasi oleh robusta.
Masyarakat Sumsel pun terbiasa dengan rasa robusta yang pahit. Bagi mereka, kopi itu harus berasa pahit supaya cocok saat dicampur gula dan susu. ”Tidak heran, ciri khas kopi kampung di Sumsel adalah kopi hitam kental yang rasanya pahit dan manis karena dicampur gula yang sering kali cukup banyak, atau berupa kopi susu,” kata Vebri.
Lambat laun, memori kolektif masyarakat Sumsel mengenai arabika sirna. Bahkan, saat bermunculan tanaman arabika baru di Sumsel, seperti di Segamit di Muaraenim, sebagian kecil di wilayah Pagaralam, dan sebagian kecil di OKU Selatan, itu tidak bisa serta-merta diterima oleh lidah masyarakat Sumsel.
Tidak heran, ciri khas kopi kampung di Sumsel adalah kopi hitam kental yang rasanya pahit dan manis karena dicampur gula yang sering kali cukup banyak atau berupa kopi susu.
Furqon Alfadhli (35), pemilik Warung Kopi Zaks by Kopi Ngobrol, menyampaikan, dirinya pernah menjual produk minuman kopi arabika di awal-awal membuka usaha di Pagaralam pada 2021. Karena arabika populer di luar Sumsel, Furqon sempat percaya diri kopi itu akan laku keras di Pagaralam.
Nyatanya, produk minuman arabika itu tidak laku karena konsumen menganggapnya sebagai kopi masam atau asam. ”Orang-orang di sini kenalnya kopi itu pahit, bukan masam. Kalau terasa masam, mereka menganggapnya sebagai kopi basi. Akhirnya, saya fokus menjual robusta yang biasa diminum orang-orang di sini,” tutur Furqon.
Baca juga: Bangun Ikhtiar Mendongkrak Produktivitas Kopi Nasional
Jadi, bukannya arabika tidak mampu ditanam di Sumsel, melainkan ada faktor sejarah dan budaya yang melatari kisahnya sehingga membuat arabika kurang populer di sana. Lidah masyarakatnya kini telanjur cinta dengan cita rasa robusta. Terasa sulit berpaling ke kopi lain.