”Ngopi Kudai”, Secangkir Kopi Lambang Kehangatan Orang Besemah
Tinggal di kaki Gunung Dempo nan sejuk, kehidupan sosial masyarakat suku Besemah penuh dengan kehangatan.
Singgahlah ke Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Di musim panen raya kopi ini, masyarakat suku Besemah yang di kaki Gunung Dempo siap menyajikan kehangatan ngopi kudai dan keindahan alam.
Jarum penunjuk suhu mesin melejit ke garis merah saat kendaraan melewati tanjakan curam di Desa Sumber Baru, Kecamatan Dempo Tengah, Pagar Alam, Kamis (4/7/2024) pukul 15.30 WIB, Tak lama, asap mengepul dari celah kap mesin mobil.
Karena khawatir mesin terbakar, kami bertiga bergegas keluar. Rupanya bagian atas penutup radiator robek memanjang sehingga air radiator berhamburan dan tidak bisa menstabilkan suhu mesin. Perjalanan harus terhenti sejenak hingga kerusakan itu teratasi.
Di tengah kebingungan kami, Aspani (60) datang menghampiri. Ia merupakan penggarap tanaman di dekat tempat kami berdiri kebingungan. Ia coba memeriksa masalah pada mesin mobil. Tak lama, seorang pengendara sepeda motor, Silawan (60), turut berhenti dan menghampiri. Silawan bahkan langsung menawari dirinya untuk mengantar kami mencari teknisi bengkel radiator di pusat kota yang berjarak 30 kilometer.
Salah satu dari kami pun berangkat bersama Silawan. Selagi menunggu, kami yang tinggal berdua diajak Aspani untuk beristirahat di rumahnya. Di teras rumah panggung tersebut, sang istri menyuguhkan kopi panas. Minuman itu terasa menyegarkan. Perlahan, perasaan kalut mulai memudar.
Suasana petang yang dingin oleh embusan angin pegunungan itu pun jadi terasa hangat. ”Ngopi kudai (Minum kopi dahulu). Nanti, kalau tukang bengkelnya sudah datang, kalian sudah segar lagi,” ujar Aspani sambil mengisap tembakaunya.
Singkat cerita, radiator berhasil dibenahi. Sebelum kami pamit pulang, Aspani dan istri rupanya menyiapkan nasi hangat pulen dengan ikan goreng dan sayur tumis. ”Kele balig (Nanti pulang), hari sudah malam, makan dahulu nanti masuk angin,” kata Aspani.
Menepis stereotip
Pengalaman itu menepis stereotip mengenai orang Besemah yang tinggal di pegunungan Sumsel, Selama ini, masyarakat setempat sering dikonotasikan dengan aksi pembegalan, bajing loncat (pencurian atau penjarahan muatan truk), dan berwatak kasar oleh orang dari luar Sumsel.
Ngopi kudai (Minum kopi dahulu). Nanti, kalau tukang bengkelnya sudah datang, kalian sudah segar lagi.
Faktanya, kehidupan sosial masyarakat penuh kehangatan, termasuk dalam menyambut orang asing. Asalkan tamu atau orang asing datang dengan menaruh sopan, orang Besemah pasti akan memuliakan mereka.
Salah satu caranya dengan ajakan ngopi kudai. Wajarlah, dua kata itu bertalu-talu terdengar tak lama usai menyapa orang-orang Besemah yang sedang beraktivitas di depan rumah mereka. ”Kalau disapa, orang-orang di sini akan menyapa balik dan pasti ngajakngopi kudai walau yang diajak itu tidak dikenal,” tutur Novian yang menemani Kompas dalam liputan kopi di Pagar Alam. Ia mengaku sering bersepeda menjelajah pelosok-pelosok Pagar Alam.
Baca juga: Sumsel Punya Kopi, Lampung Punya Nama
Ajakan ngopi kudai bukan sekadar basa-basi, melainkan tulus. Bahkan, kalau ada yang menolak tawaran mereka, orang-orang di sana bisa berkecil hati. Mereka akan bertanya-tanya, apakah ada yang salah dengan sikap mereka.
Kalau tawaran ngopi kudai diterima, orang Besemah akan menyambut tamunya bagai saudara yang lama tak dijumpai. Mereka akan menawarkan sajian terbaik di rumah. Salah satunya sajiannya adalah kopi yang identik sebagai komoditas utama dari ”Bumi Besemah” alias daerah asal suku Besemah, meliputi Pagar Alam, Kabupaten Lahat, Empat Lawang, Muara Enim, dan Ogan Komering Ulu Selatan sejak era pemerintah kolonial Belanda.
Kalau tawaran ngopi kudai diterima, orang Besemah akan menyambut tamunya bagai saudara yang lama tak dijumpai.
Peneliti Belanda, Jeroen Peeters, dalam bukunya, Kaum Tuo-Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, yang terbit di Indonesia pada 1997 menyebut kopi bukan tanaman baru bagi masyarakat di wilayah pegunungan di uluan Palembang (hulu Sumsel), terutama di sekitar Pagar Alam dan Empat Lawang. Setidaknya, pada 1823, orang Eropa telah menemukan kebun kopi di sana.
Saat itu, kopi telah menjadi komoditas perdagangan yang menggerakkan perekonomian di uluan Palembang. Dahulu, kopi yang ditanam berjenis arabika sebelum berganti menjadi robusta yang saat ini mendominasi di Sumsel. Hal itu besar kemungkinan karena harga arabika terus turun pada awal abad XX. Bersamaan dengan itu, banyak penyakit yang menyerang sehingga kebun-kebun rusak.
Sesudah tahun 1900, minat rakyat untuk budidaya arabika justru berkurang. Harga rendah arabika pada dasawarsa pertama abad ke-20, bersamaan dengan penyakit yang menyertainya, menyebabkan produksi turun dengan cepat.
Hingga kini, hampir semua orang Besemah punya kebun kopi. ”Makanya, kalau tidak menawari kopi, orang di sini bisa disangka pengeghit (pelit) karena hampir semuanya menghasilkan kopi sendiri,” terang Novian.
Suku yang unik
Sejak era kolonial, orang Eropa telah menunjukkan ketertarikannya kepada orang Besemah. Meski relatif berada jauh di pedalaman Sumsel, sekitar 300 kilometer atau lebih kurang 9 jam perjalanan darat ke arah barat daya dari Palembang, cukup banyak peneliti Eropa yang berdatang untuk meneliti serta mendokumentasikan kebudyaan, sejarah, dan alam Besemah. Lagi pula, banyak peninggalan arkeologi dari zaman batu besar (megalitikum) di sana.
Berdasarkan buku Sejarah Besemah, dari Zaman Megalitikum, Lampik Mpat Mardike Duwe, Sindang Mardike, ke Kota Perjuangan yang diterbitkan Pemkot Pagar Alam pada 2009, orang Eropa mendeskripsikan orang Besemah sebagai masyarakat yang masih sangat alamiah (natuurvolk). Mereka juga unik dan ajaib (merkwaardigste stammen).
Baca juga: Harga Kopi Robusta Sumsel Pecah Rekor, Saatnya Benahi Tata Kelola
Orang Besemah adalah masyarakat pegunungan yang punya watak berbeda dengan masyarakat dataran rendah, khususnya iliran Palembang. ”Orang Besemah merupakan suku pegunungan yang cinta damai tetapi juga suka perang (vrijheidlievende en oorlogzuchtige bergbewoners),” terang AM Hens dalam buku Het Grondbezit in Zuid Sumatra pada 1909.
Budayawan Sumsel, Vebri Al Lintani, menuturkan, orang Besemah adalah masyarakat pegunungan yang unik. Berbeda dengan karakter masyarakat pegunungan di tempat lain yang cenderung tertutup, orang Besemah justru sebaliknya. Mereka sangat terbuka, luwes dalam bergaul, dan mudah menerima pendatang.
Baca juga: Produksinya Terbesar di Indonesia, Kopi Sumsel Didorong Mendunia
Hal itu karena wilayah yang dihuni orang Besemah tidak terisolasi, tetapi memiliki akses luas dengan dunia luar. Sebab, wilayah-wilayah itu dilintasi sungai-sungai cukup besar yang masuk dalam jaringan Batanghari Sembilan, kebudayaan sungai yang terbangun oleh aliran sembilan sungai utama di Sumsel.
Paling tidak, ada Sungai Lematang yang melintasi Pagar Alam, Lahat, dan Muara Enim. Sungai Ogan yang melintasi Ogan Komering Ulu Selatan dan Sungai Musi yang turut mengalir di Empat Lawang. Sungai-sungai itu menjadi simpul transportasi air yang menghubungkan daerah uluan dan iliran Palembang sejak era Kedatuan Sriwijaya (abad VII-XI). ”Keberadaan sungai-sungai itu ibarat jalan bebas hambatan atau tol di zaman sekarang,” kata Vebri.
Selain itu, kata Vebri, masyarakat Sumsel pada dasarnya masyarakat pedagang yang terbentuk sejak era Sriwijaya yang merupakan kerajaan maritim dengan perekonomian berbasis niaga. Hal itu mengharuskan mereka untuk bisa terbuka dan ramah dengan siapa pun guna menarik minat konsumen. ”Sebaliknya, mereka juga mesti tegas dan berani untuk membela diri di tengah persaingan dagang yang keras,” tuturnya.
Hidup jauh dari kebisingan kaum urban di hilir Sumsel justru membuat kehidupan sosial orang Besemah penuh kehangatan. Mereka akan menyingkirkan kecurigaan demi memuliakan tamu sekalipun tak pernah dikenali. Mereka percaya, secangkir kopi akan menetralkan semuanya. Payu, ngopi kudai....