Petani Bergerak lewat Komunitas, Hasil Takkan Ingkar Janji
Petani bergerak lewat komunitas untuk mendongkrak produktivitas kopi minimal 2 ton per hektar. Hasilnya kini dinikmati.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
Petani kopi di Lampung Barat bergabung dan saling membangun kapasitas diri lewat komunitas Kopista Indonesia. Perjuangan bersama berbuah meningkatnya produktivitas kopi di kebun. Saat panen raya tiba, harga kopi melambung. Hasil memang takkan ingkar janji.
Lewat komunitas Kopista, petani kopi asal Kelurahan Sekincau, Kecamatan Sekincau, Lampung Barat, berbagi ilmu tentang budidaya kopi yang baik kepada petani. Komunitas berdiri tahun 2015 dan sudah mendampingi 250 petani kopi di Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, dan Bengkulu.
Supriyono (48), pendiri Kopista Indonesia, mengatakan, berdirinya komunitas lahir dari keprihatinan atas rendahnya produktivitas kebun. Itu terjadi karena mayoritas petani masih melakukan pola-pola lama dalam budidaya kopi. Kebun kopi kurang dirawat. Tanaman tak mendapatkan asupan pupuk. Hanya sesekali saja petani menengok kebun, yakni menjelang masa panen raya.
Keprihatinan itulah yang mendorong komunitas bergerak. Petani perlu mendapatkan edukasi dan pemberdayaan. Jika kebun diurus serius, produktivitasnya dapat terdongkrak. Dari perhitungan Supriyono, produktivitas kopi minimal harus mencapai 2 ton per hektar agar petani bisa menikmati nilai ekonomi dari komoditas tersebut.
Kini, ekosistem belajar dihidupkan. Para petani belajar bersama memperbaiki pola budidaya demi mendongkrak produktivitas kopi dua kali lipat.
”Dengan produksi minimal 2 ton per hektar, nilai ekonomis budidaya kopi baru dapat dirasakan petani,” katanya, Kamis (25/7/2024).
Dengan produksi minimal 2 ton per hektar, nilai ekonomis budidaya kopi baru dapat dirasakan petani.
Target itu bukan tanpa perhitungan. Dengan produksi minimal 2 ton dan harga biji beras kopi minimal Rp 30.000 per kg, petani setidaknya mencapai Rp 60 juta per tahun dari hasil panen kopi. Apabila dikurangi biaya operasional perawatan kebun sekitar 40 persen dari hasil panen, petani masih bisa mendapatkan pendapatan bersih sekitar Rp 36 juta.
Setidaknya petani mendapatkan uang dari jasa merawat kebun sekitar Rp 3 juta per bulan atau sudah di atas rata-rata upah minimum buruh di Lampung saat ini,” kata Supriyono.
Pemupukan tanaman kopi, lanjutnya, setidaknya harus dilakukan tiga kali, yakni saat fase sebelum berbunga, fase setelah berbunga, dan fase pengisian buah. Tiga fase itu sangat penting diperhatikan karena akan menentukan banyak sedikitnya jumlah buah chery kopi yang akan dihasilkan.
Petani juga harus menyiapkan strategi agar setiap hektar kebun kopinya bisa menghasilkan minimal 2 ton biji beras kopi (greenbean). Untuk bisa mencapai target produksi itu, setiap tanaman kopi harus dirancang setidaknya mempunyai 18 ranting produktif.
Saat ini, sebagian besar anggota komunitas Kopista Indonesia yang mengubah pola budidaya pun telah berhasil mencapai target minimal produksi 2 ton per hektar. Bahkan, tidak sedikit pula petani yang mendapat hasil panen hingga 3-4 ton per hektar.
Sistem pagar
Selain mengubah pola budidaya, katanya, petani juga harus meningkatkan populasi tanaman kopi di kebunnya. Ia telah menanam kopi arabika di lahan seluas 1 hektar dengan sistem pagar. Dengan sistem pagar, jumlah populasi tanaman kopi ditingkatkan menjadi sekitar 4.000 batang per hektar. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tanaman kopi di kebun-kebun yang hanya berkisar 2.000-2.500 batang.
Meningkatnya populasi tanaman itu juga tentu menimbulkan konsekuensi, yaitu meningkatnya jumlah pupuk yang dibutuhkan. Karena itu, petani kopi harus menyiapkan biaya operasional yang memadai jika ingin hasilnya optimal. Dari sistem pagar tersebut, Supryono bisa mendapatkan hasil panen 3-4 ton kopi arabika per hektar per tahun.
Saprudin (67), petani kopi robusta asal Pekon Kembahang, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat, juga merasakan peningkatan produksi setelah menerapkan pola budidaya kopi dengan baik. Selain memberi pupuk, ia juga rutin melakukan teknik sambung pucuk untuk merangsang tumbuhnya ranting-ranting muda pada pohon kopinya. Dengan upaya itu, petani yang kebunnya dikunjungi Presiden Joko Widodo pada Jumat (12/7/2024) itu juga bisa mendapatkan 3-4 ton kopi per hektar.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Perkebunan Lampung Barat Sumarlin mengatakan, saat ini memang bermunculan petani-petani muda yang merawat kebun kopinya agar lebih produktif. Mereka bergerak lewat komunitas dan mengajak petani-petani lain di sekitarnya.
Menurut dia, Pemkab Lampung Barat menyambut baik upaya ini dengan mengajak para petani muda itu untuk menjadi pengajar di sekolah kopi. Pemerintah membuka kelas pelatihan tentang kopi, mulai dari cara budidaya, pemupukan, hingga hilirisasi. Ia berharap upaya ini dapat membantu mendongkrak produktivitas kopi di Lampung Barat.
Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Lampung Yuliastuti mengatakan, pihaknya juga menggulirkan program Kartu Petani Berjaya untuk mempermudah akses permodalan kepada petani. Program ini memungkinkan petani mendapat kredit usaha rakyat dari perbankan tanpa agunan. Program ini juga memberikan kepastian ketersediaan pupuk subsidi ataupun nonsubsidi, bibit, hingga pembinaan.
Menurut dia, sudah cukup banyak kelompok tani di Lampung memanfaatkan akses permodalan keperluan budidaya kopi ataupun hilirisasi kopi. Selain itu, pemda juga memberikan bantuan berupa bibit unggul, alat untuk menjemur kopi, hingga pembinaan ke kelompok tani.
Selain itu, pemerintah juga membuat demplot kebun kopi robusta untuk uji coba sistem pagar. Pertumbuhan tanaman kopi itu masih terus diamati selama beberapa tahun ke depan untuk mengetahui keberhasilannya.