Sektor Hilir Terdampak Lonjakan Harga Biji Kopi
Ekosistem perkopian memerlukan instrumen yang bisa mengendalikan dampak dari gejolak perubahan harga.
PALEMBANG, KOMPAS — Lonjakan harga kopi robusta yang menyentuh rekor tertinggi bak pisau bermata dua. Di satu sisi, kondisi itu menjadikan petani ”hujan emas”. Di sisi lain, kondisi itu berdampak kerentanan usaha kedai kopi di perkotaan.
Ketua Dewan Kopi Indonesia Sumsel Zain Ismed mengatakan, lonjakan harga kopi itu berdampak kepada para pengusaha pengolahan kopi di Sumsel. Sebanyak 250 kedai kopi di seluruh Sumsel terdampak oleh tingginya harga bahan baku kopi. Banyak pengusaha kedai kopi dilema, apakah harus menaikkan harga jual produk dengan risiko konsumen berkurang. Namun, kalau tidak menaikkan harga jual produk, usaha bisa bangkrut karena menombok. Sebagian besar pengelola kedai terpaksa ikut menaikkan harga jual produk.
”Keputusan itu tidak dimungkiri memengaruhi geliat usaha warung kopi di Sumsel. Banyak pemilik warung kopi yang cerita bahwa kenaikan harga jual produk membuat konsumen mereka berkurang meskipun tidak signifikan,” ujar Zain.
Baca juga: Mengapa Harga Kopi Robusta Melambung
Menurut Zain, geliat harga kopi saat ini menyingkap kondisi ekosistem perkopian belum ideal. Selama ini belum ada instrumen yang bisa menguntungkan semua pihak yang berada dalam ekosistem tersebut, terutama untuk petani dan pelaku usaha.
Maka itu, pemerintah didorong untuk segera membuat instrumen. Bisa dalam bentuk koperasi kopi atau resi gudang. Hal itu memungkinkan kopi petani dihargai lebih baik saat harga pasaran anjlok. Sebaliknya, harga bahan baku untuk warung kopi bisa lebih stabil ketika harga pasar melonjak.
Baca juga: Sumsel Punya Kopi, Lampung Punya Nama
Akan tetapi, sejauh ini, koperasi kopi belum ada di Sumsel dan resi gudang hanya ada di Kota Pagaralam. ”Sistem itu seolah mewujudkan subsidi silang antara petani dan pengusaha atau warung kopi,” ujar, Yang dimaksudnya, saat harga kopi anjlok, petani disubsidi pengusaha dengan harga yang lebih baik. Sebaliknya, ketika harga kopi melonjak, petani yang menyubsidi pengusaha agar mendapatkan harga yang bersahabat. Akhirnya, mereka bisa berkembang bersama-sama.
Zain menuturkan, kalau di daerah yang industri kopinya sudah lebih maju, seperti di Aceh, Sumatera Utara, dan Jawa Barat, relasi antara petani dan pengusaha sudah sangat kuat. Itu terjalin secara alami atau mandiri ataupun ada intervensi pemerintah, baik melalui koperasi maupun resi gudang.
Saat terjadi dinamika harga, kedua belah pihak di daerah-daerah itu cenderung adem ayem alias tidak mengalami gejolak berarti. Karena itu, daerah harus mengambil hikmah positif dan negatif dari tingginya harga kopi saat ini. ”Yang utama adalah benahi ekosistem perkopian, terutama yang berkaitan dengan relasi antara petani dan pengusaha. Ini tahapan yang harus dilalui Sumsel kalau ingin dunia perkopiannya naik kelas hingga bisa mendunia,” tutur Zain.
Kebutuhan mendesak
Pemilik Warung Pempek dan Kopi (Peko) di Pagaralam, Iwan Ridwan (43), merasakan dampak meledaknya harga kopi saat ini. Mau tidak mau, Iwan harus menaikkan harga jual produknya untuk menjaga keberlangsungan bisnisnya.
Baca juga: Harga Melonjak, Kebun Kopi di Sumsel Rentan Pencurian
Iwan sempat dua kali menaikkan harga jual produknya 20-30 persen dalam sebulan terakhir. Namun, keputusan itu menanggung risiko turunnya tingkat penjualan bubuk kopi tersebut hingga 50 kg dari biasanya 100-150 kg per bulan. Itu terjadi karena hilangnya pembeli atau reseller yang biasa mengisi warung kopi untuk segmentasi konsumen menengah ke bawah.
Hal serupa juga disampaikan Amin Wibowo (39), pelaku usaha kopi bubuk dan kopi roasting di Kelurahan Sekincau, Kecamatan Sekincau, Lampung Barat. Amin yang memulai usaha sekitar dua tahun terakhir itu tidak kuasa lagi menahan gejolak kenaikan harga bahan baku greenbean.
Tahun lalu, ia masih bisa membeli bahan baku biji kopi sampai ratusan kilogram. Namun, karena harga kopi sudah menyentuh Rp 70.000 di Lampung Barat, kini Amin hanya bisa membeli 10-20 kilogram bahan baku untuk stok.
”Kalau mau beli 1 kuintal biji kopi sekarang ini paling tidak harus siapkan uang Rp 7 juta. Sementara jual kopi bubuk juga lebih susah karena harganya naik. Kalau disimpan lama-lama berisiko karena kita enggak tahu ke depannya harganya makin naik atau turun,” katanya.
Di Sekincau, harga jual kopi bubuk (asalan) Rp 140.000-Rp 150.000 per kg. Sementara itu, harga jual kopi bubuk robusta grade premium mencapai Rp 250.000 per kg. Adapun kopi bubuk petik merah bisa harganya menyentuh Rp 300.000 per kg.
Kenaikan harga kopi membuat Amin kehilangan konsumen, terutama yang berasal dari luar kota, seperti Jabodetabek dan Bali. Kini, ia hanya menyuplai kopi bubuk untuk kebutuhan warung kopi di Lampung Barat.
Padahal, saat memulai usaha, ia sudah mengeluarkan modal sekitar Rp 50 juta untuk membeli mesin roasting kopi, mesin untuk mendinginkan kopi, dan mesin penggiling kopi. Kini, ia pun menawarkan jasa roasting kopi demi mempertahankan usaha.
Menurut dia, usaha jasa roasting kopi cukup membantunya mempertahankan bisnis. Saat musim panen kopi sekarang ini, banyak petani kopi yang enggan memanggang kopi menggunakan kayu atau kompor di rumah. Para petani yang kelimpahan rezeki karena kenaikan harga kopi pun memilih menggunakan jasa Amin.
Kenaikan harga bahan baku ini sangat berdampak pada bisnis kopi di hilir seperti kami.
Ketua Koperasi Produsen Kopi Abdul Charis, di Kecamatan Sekincau, Lampung Barat, mengatakan, para permintaan kopi bubuk merosot drastis setahun terakhir. Melambungnya harga kopi menjadi alasan utama.
Menurut dia, konsumen yang biasa memesan kopi bubuk petik merah atau fine robusta beralih mencari kopi dengan grade yang lebih rendah, sementara pembeli kelas menengah ke bawah beralih membeli kopi campuran beras atau jagung. Masalah lainnya adalah sejumlah kedai kopi yang semula menyerap kopi bubuk dari penyuplai juga gulung tikar.
”Kenaikan harga bahan baku ini sangat berdampak pada bisnis kopi di hilir seperti kami. Sekarang, kami lebih banyak langsung menjual greenbean atau menawarkan jasa roasting kopi yang perputaran uangnya lebih cepat,” katanya.
Untuk itu, Iwan berpendapat, Sumsel harus segera menerapkan instrumen yang bisa melindungi petani dan pengusaha guna mengantisipasi risiko dari dinamika perubahan harga. Itu bisa memberikan kepastian pasar bagi petani saat sulit mencari pembeli dan menawarkan harga lebih baik ketika harga pasaran anjlok.
Aji mumpung
Pemilik Warung Kopi Agam Pisan di Palembang, Iyan Muhazan (32), menyampaikan, tanpa instrumen yang mengendalikan harga, stok, dan kualitas bahan baku kopi, dikhawatirkan membuat pihak-pihak tertentu terbawa euforia. Saat harga kopi tinggi, misalnya, tidak menutup kemungkinan ada oknum petani yang aji mumpung untuk mengatrol harga kopi. Gawatnya, kualitas yang ditawarkan tidak sesuai dengan harga yang dipatok tersebut.
Kalau itu terjadi, yang rugi petani sendiri. Mereka bisa ditinggal pembeli. Apalagi, kopi impor mulai menyerbu pasar lokal yang menawarkan harga lebih murah dengan kualitas baik, seperti kopi arabika dari Brasil dan Kolombia.
Sebagai gambaran, saat ini, harga biji kopi arabika lokal bisa tembus Rp 180.000 per kg, sedangkan harga biji arabika impor dari Brasil atau Kolombia hanya Rp 100.000-110.000 per kg. Di atas kertas, merujuk sistem penilaian protokol SCAA, cita rasa kopi arabika dari Brasil atau Kolumbia mendapatkan nilai di atas 80 atau tergolong berkualitas tinggi. Tak sedikit warung kopi tergoda membeli kopi impor.
Baca juga: Harga Kopi Robusta Sumsel Pecah Rekor, Saatnya Benahi Tata Kelola
”Kalau euforianya tidak terkendali, itu bisa menjadi bumerang untuk petani. Kalau ada yang aji mumpung mengambil untung sebesar-besarnya, petani bisa ditinggal konsumen, terutama warung kopi yang tidak segan beralih ke bahan baku impor,” tutur Iyan.
Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Sumsel Havizman mengatakan, pemerintah tidak mungkin mengintervensi atau mengatur harga pasar. Pasalnya, itu bertentangan dengan undang-undang atau ketentuan yang berlaku. Itu bisa dianggap sebagai persaingan usaha yang tidak sehat sehingga bisa diprotes oleh pelaku usaha atau industri. ”Itu terjadi saat kita coba mengatur harga karet,” ujarnya.
Oleh karena itu, Havizman berharap petani menghidupkan resi gudang yang bisa menjadi instrumen pengendali pasar. Resi gudang bisa menjadi solusi yang menampung hasil panen petani saat permintaan rendah, serta bisa menjadi penyelamat yang menawarkan harga lebih tinggi ketika harga pasar anjlok.
Selanjutnya, pengelola resi gudang harus pintar dan jeli dalam membangun jejaring agar kopi yang mereka tampung dari petani laku di pasaran. ”Sepanjang kopi itu berkualitas, konsumen atau pasar pasti akan menghargai kualitas tersebut,” katanya.
Baca juga: Berkah Harga Kopi Melonjak, Petani Bisa Sekolahkan Anak hingga Memperluas Kebun
Selain itu, semua pihak yang terlibat dalam ekosistem perkopian harus bijaksana. Petani tidak bisa terus memaksa harga setinggi-tingginya. Petani harus bisa mengukur berapa besaran biaya produksi mereka dan berapa harga jual yang layak untuk diterima.
Harga yang ditetapkan itu harus bisa merespons kondisi pasar. Kalau harga sudah di luar batas repons pasar, bisa-bisa produk bersangkutan tidak laku. Dalam kondisi ekstrem, tidak menutup kemungkinan konsumen bisa kabur atau mencari produk substitusi, seperti teh atau cokelat. ”Sesuai hukum ekonomi, saat harga suatu komoditas tinggi, orang-orang akan menurunkan pembelian atau mencari komoditas pengganti,” tuturnya.