Penerbangan Tak Kunjung Terealisasi, Aktivitas di Wakatobi Mandek
Penerbangan ke Wakatobi, Sulawesi Tenggara, tidak kunjung terealisasi. Semua aspek terdampak, utamanya masyarakat.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Lima bulan terhenti, penerbangan ke Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, belum juga terealisasi. Alokasi anggaran yang telah disiapkan, dan pertemuan dengan maskapai, tidak kunjung membuahkan hasil. Aktivitas masyarakat hingga investasi menjadi tak maksimal di destinasi pariwisata prioritas nasional ini.
”Sampai hari ini, situasinya memang belum ada (maskapai) yang konfirmasi untuk kerja sama penerbangan ke Wakatobi. Padahal, kami telah melewati berbagai prosedur, dan salah satu yang bisa kami jelaskan adalah ketersediaan pesawat di maskapai sehingga prosesnya belum terealisasi,” kata Sekretaris Daerah Wakatobi Nadar, dihubungi dari Kendari, Senin (22/7/2024).
Komunikasi dengan maskapai, ia melanjutkan, telah dilakukan jauh hari semenjak penerbangan terhenti pada Februari lalu. Berbagai maskapai diajak berkomunikasi, bersurat, hingga pertemuan khusus, baik itu Wings Air, Citilink, Pelita Air, Sriwijaya, hingga Super Jet. Meski begitu, belum ada satu pun kesepakatan penerbangan yang terealisasi.
Sejumlah alasan telah dikemukakan oleh maskapai, dan paling utama adalah ketersediaan pesawat. Hal tersebut tidak bisa diintervensi meski pemda telah mengalokasikan anggaran untuk subsidi penerbangan.
Sejak awal, tambah Nadar, pihaknya juga telah dibantu oleh Kementerian Perhubungan, juga Kementerian Pariwisata, untuk mempercepat kerja sama penerbangan di wilayah destinasi wisata prioritas nasional ini. Kementerian Dalam Negeri juga telah memberi arahan terkait kelonggaran alokasi anggaran yang tidak harus menunggu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN) perubahan.
”Kami juga telah mendapatkan kepastian bantuan anggaran dari Pemprov Sultra sebesar Rp 2 miliar ketika penerbangan telah dipastikan. Di APBD juga telah kami siapkan lebih dari Rp 1 miliar. Namun, situasinya sekarang belum ada yang betul-betul pasti,” katanya, menambahkan.
Oleh karena itu, ia berharap agar semua pihak mau membantu untuk memperlancar terealisasinya penerbangan ke wilayah ini. Sebab, terhentinya penerbangan membuat banyak hal terdampak. Mulai dari sektor pariwisata, aktivitas pemerintahan, hingga terganggunya investasi.
Belum lagi buruknya cuaca di musim angin timur seperti saat ini. Transportasi laut yang menjadi satu-satunya akses datang dan keluar dari Wakatobi membuat sebagian besar orang kesulitan. Ombak besar yang terjadi juga membahayakan keselamatan.
Wilayah Wakatobi terus mengalami persoalan konektivitas. Sejak 2022 lalu, penerbangan mulai terseok akibat dihantam pandemi Covid-19. Wing Air, sebagai satu-satunya maskapai yang terbang ke wilayah ini, menghentikan aktivitas penerbangan.
Pada 2023 penerbangan sempat berjalan beberapa bulan hingga awal 2024. Setelah itu, tidak ada lagi maskapai yang terbang secara reguler ke Wakatobi.
Padahal, wilayah ini adalah satu dari 10 destinasi prioritas nasional. Destinasi ini termasuk dalam cagar biosfer dunia, dengan kekayaan bawah laut yang begitu besar. Kekayaan alam itu yang mengundang banyak wisatawan selama ini.
Arif (45), salah seorang warga Wakatobi, mengungkapkan, masyarakat kesulitan untuk datang dan keluar dari Wakatobi. Sebab, warga hanya mengandalkan transportasi laut yang menjadi akses satu-satunya di wilayah ini.
”Kami harus ke Baubau dulu, lalu lanjut dengan kapal cepat ke Kendari. Dari Kendari, baru ke bandara jika ingin naik pesawat, atau naik kapal langsung ke Kendari. Hanya saja, kalau musim ombak seperti sekarang, orang takut. Jadi, harus mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu yang lebih dari biasanya,” katanya.
Kalau istilahnya, kami pelaku usaha di sini betul-betul tiarap, seperti mati suri.
Sebelumnya, Iin (40), pengelola hotel di Wangi-wangi, Wakatobi, menuturkan, dampak penutupan penerbangan membuatnya terpaksa merumahkan semua karyawan. Sebab, selama beberapa waktu, ia baru mendapatkan dua wisatawan yang menginap selama tiga malam.
”Kalau istilahnya, kami pelaku usaha di sini betul-betul tiarap, seperti mati suri. Bagaimana tidak kalau wisatawan tidak ada sama sekali. Untuk sementara, kami baru buka kembali penginapan kalau memang ada tamu, dan hanya mengelola sendiri, tidak memakai karyawan,” kata Iin.