Kopi Arabika Sumatera, Tersohor di Kafe, Terpuruk di Kebun
Banyak petani membabat tanaman kopi karena hasilnya rendah. Harga tinggi belum dapat dinikmati petani.
Kopi arabika Sumatera di ambang kritis. Harganya meroket di pasar, tetapi petani terpuruk di kebun lantaran hasil panen terus anjlok. Hulu kopi menghadapi persoalan sama yang tidak kunjung diatasi dari tahun ke tahun.
Saat ini, produksi kopi arabika di Sumatera hanya 600 kilogram per hektar per tahun. Jauh dari potensi 2,5 ton. Lesunya pertanian kopi arabika Sumatera tampak di berbagai sentra penghasil kopi arabika di dataran tinggi di sekeliling Danau Toba, mulai dari Kabupaten Toba, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Samosir, Simalungun, hingga Karo. Harga beras kopi (greenbean) yang berkisar Rp 110.000–Rp 120.000 per kilogram tak membuat petani bergairah.
Sebagian besar kebun kopi di daerah itu tampak tidak diurus. Kebun-kebun kopi didominasi tanaman tua, batangnya meranggas, daunnya menguning, dan lahannya dipenuhi gulma. Menjelang panen raya, hasil buah kopi sangat sedikit.
Petani kopi di Kecamatan Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Lambok Siburian (46), bahkan sudah berbulan-bulan tidak mengurus kebun kopinya yang kini tinggal 1,5 hektar. Mengenakan masker dan mantel hujan, dia sibuk menyemprotkan racun hama di ladang cabai merah yang bersebelahan dengan kebun kopi itu.
”Dulu di ladang ini juga saya tanam kopi, tapi sudah saya babat karena hasilnya sangat rendah dan terus berkurang. Harga kopi memang sedang tinggi, tetapi tetap tak cukup untuk biaya dapur dan sekolah anak karena produksinya sedikit,” kata Lambok.
Begitulah nasib para petani penghasil kopi spesialti yang sangat dihargai di pasar dunia. Nama kopi Lintong diambil dari nama Kecamatan Lintong Nihuta, satu dari enam kecamatan penghasil kopi spesialti itu di Humbang Hasundutan. Namun, nasib petaninya tidak setenar nama dan cita rasa kopinya yang mendunia. Hal serupa dialami kopi Mandheling, kopi spesialti dari Kabupaten Mandailing Natal dan sekitarnya.
Kalau dari kopi saja tidak cukup untuk dapur dan biaya sekolah anak.
Lambok kini hanya punya empat rantai (1 rantai: 20 x 20 m) kebun kopi setelah sebagian besar tanamannya dibabat. Saat panen raya, hasilnya sekitar 80 kilogram kopi (gabah kering) per bulan. Dengan harga Rp 50.000 per kilogram, Lambok memperoleh Rp 4 juta per bulan selama panen raya yang berlangsung dua kali dalam setahun.
”Satu kali panen raya hanya berlangsung 2-3 bulan. Kalau dari kopi saja tidak cukup untuk dapur dan biaya sekolah anak,” kata Lambok.
Baca juga: Perlu Lindungi Kopi Lintong
Tanaman kopi terserang hama dan penyakit tanaman, khususnya hama penggerek buah dan karat daun. Kopi yang diserang hama ini produksinya menurun dan dihargai lebih murah.
Hal serupa dialami Lamsihar Lumban Gaol (54), petani kopi di Kecamatan Pollung, kecamatan lain penghasil kopi Lintong. Lamsihar bahkan membabat habis hampir semua tanaman kopinya. ”Harga bagus pun tidak ada artinya kalau produksinya sangat rendah,” kata Lamsihar.
Tahun lalu, Lamsihar masih menyisakan empat rantai kebun kopinya, tetapi hasilnya tak sampai 30 kilogram saat panen raya. ”Tanamannya meranggas, daunnya kuning. Saya beralih ke tanaman hortikultura,” kata Lamsihar.
Peneliti kopi Profesor Surip Mawardi menyebutkan, pertanian kopi arabika di Sumut sangat terpuruk karena banyaknya kebun kopi yang terbengkalai. ”Industri kopi ramai di hilir, sunyi di hulu. Orang banyak investasi membangun kafe, sekolah barista, hingga rumah sangrai kopi, tetapi di saat yang sama tak ada yang memperhatikan pertanian kopi,” kata Surip saat ditemui di kebun kopinya di Tapanuli Utara.
Surip mengatakan, rata-rata produktivitas kebun kopi petani di Sumut hanya 600 kilogram beras kopi per hektar per tahun. ”Padahal, potensinya bisa mencapai 2,5 ton,” kata Surip yang merupakan peneliti purnakarya dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia itu.
Pertanian kopi di Sumut mengalami sejumlah persoalan dalam berbagai aspek karena kurangnya edukasi dan bimbingan teknis dalam menerapkan budidaya pertanian yang baik (good agriculture practice/GAP). Persoalan yang sangat umum dihadapi petani adalah tanaman yang sudah menua, minimnya penggunaan varietas unggul, jarak tanam, tidak adanya tanaman penaung, gulma tak terkendali, hingga serangan hama dan penyakit tanaman yang cukup tinggi.
Sebagian besar kopi di Sumut masih menggunakan kopi arabika varietas sembarang. Padahal, saat ini sudah ada kopi arabika varietas unggul, yakni Andungsari 1 dan yang terbaru Komasti (Komposit Andungsari 3) yang mempunyai produksi lebih tinggi.
Petani juga tidak mengatur jarak tanam dengan baik sehingga populasi hanya 2.000 tanaman per hektar. Inovasi terbaru, sistem pagar ganda segitiga (PGS) membuat populasi bisa mencapai 5.820 tanaman per hektar dan masih bisa tumpang sari dengan tanaman hortikultura.
Menanam kopi tanpa penaung itu menyalahi kodrat. Kompensasinya, pupuk harus tinggi dan pengendalian hama lebih intensif,
Hal lain yang sangat penting untuk diterapkan adalah penggunaan tanaman penaung. Di Sumut, hampir semua petani tidak menggunakan tanaman penaung. Padahal, di habitat asalnya di hutan Etiopia, kopi adalah tanaman perdu yang tumbuh di bawah naungan pohon lain. ”Menanam kopi tanpa penaung itu menyalahi kodrat. Kompensasinya, pupuk harus tinggi dan pengendalian hama lebih intensif,” kata Surip.
Pengendalian hama penggerek buah juga sangat perlu dilakukan dengan rutin memanen kopi berbuah merah. Petani umumnya tidak memanen kopi jika hasilnya masih sedikit. Buah yang tidak dipanen atau yang terjatuh ke tanah menjadi tempat berkembang biak hama penggerek buah.
Jika dikendalikan, biji kopi yang diserang penggerek buah bisa ditekan hingga kurang dari satu persen. Namun, kopi petani di Sumut diserang sampai 50 persen. Hama ini akan membuat biji kopi berlubang sehingga disebut juga sebagai hama tusuk jarum.
Sebagai edukasi terhadap petani, Surip membuka kebun kopi arabika Sumatera di kawasan Silangit, Tapanuli Utara. Dengan penerapan GAP, produktivitas kebun kopinya 2,3 ton beras kopi per hektar per tahun. ”Petani itu tidak bisa diedukasi dengan pelatihan-pelatihan di hotel. Harus dilihat contoh dan hasilnya,” kata Surip.
Menurut Surip, pertama sekali petani harus percaya bahwa kopi bisa membawa kesejahteraan bagi mereka. Dengan produksi 2 ton per hektar saja dan harga beras kopi Rp 100.000 per kilogram, petani bisa mendapat Rp 200 juta per tahun dari kebun satu hektar.
Produktivitas itu sangat mungkin didapat petani dengan penerapan GAP. Surip menyebut, kopi arabika Sumatera adalah kopi termahal di dunia dalam perdagangan skala besar. Kopi ini disukai karena mempunyai cita rasa yang kuat, tebal, keasaman medium, floral, dan aftertaste yang manis. ”Saya tujuh tahun bekerja di sektor perdagangan kopi dunia. Saya tahu persis kopi arabika Sumatera adalah kopi termahal di dunia,” kata Surip.
Pertanian kopi seharusnya bisa menjadi salah satu penopang ekonomi daerah karena nilainya yang sangat besar. Namun, dari tahun ke tahun persoalan tidak kunjung diatasi.
Baca juga: Produksinya Terbesar di Indonesia, Kopi Sumsel Didorong Mendunia
Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumatera Utara Saidul Alam mengatakan, penurunan produksi kopi ini sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Para eksportir pun tidak bisa lagi membuat kontrak penjualan jangka panjang karena hasil panen kadang jauh di bawah perkiraan. ”Eksportir mengantisipasi penurunan ini dengan melakukan penjualan ekspor secara kondisional tergantung ketersediaan pasokan,” kata Saidul.