Tantangan Besar Mengubah Citra Kopi Sumsel
Kalau dikelola dengan baik, cita rasa kopi Sumsel sejatinya tidak kalah dengan kopi daerah lain yang sudah tersohor.
PALEMBANG, KOMPAS – Meski memiliki lahan kopi terluas di Indonesia, kopi Sumatera Selatan masih kalah tenar dibanding kopi-kopi lain di Indonesia. Hal itu disebabkan kualitas hasil panen yang belum terjamin, dipicu kebiasaan panen petik buah asalan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), secara kuantitas Sumsel sangat mendominasi statistik perkopian Indonesia. Hingga 2023, Sumsel tercatat sebagai produsen kopi terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 198.015 ton atau sekitar 26 persen dari total produksi kopi nasional. Sumsel pun menjadi daerah pemilik lahan kopi terluas di Indonesia yang mencapai 267.187 hektar. Adapun kopi Sumsel mayoritas berjenis robusta.
Namun, secara kualitas, kopi Sumsel masih dipandang sebelah mata. Nama kopi Sumsel kurang terdengar. Berbeda dengan kopi dari daerah lain, seperti tetangganya di Sumatera, yakni Lampung yang tersohor sebagai penghasil kopi robusta terbaik di Indonesia.
Fakta lain, belum ada industri kopi besar di Sumsel. Pusat pergudangan atau pabrik kopi besar di Sumatera, terutama di Sumatera bagian selatan justru berada di Lampung. Padahal, secara infrastruktur, Palembang tumbuh sebagai kota terbesar kedua di Sumatera dan memiliki pelabuhan yang bisa melayani ekspor-impor, yakni Pelabuhan Boom Baru Palembang dan Pelabuhan Tanjung Api-Api, Kabupaten Banyuasin.
Baca juga: Sampai Kapan Harga Kopi Robusta Bertahan Tinggi?
Penggiat kopi Iwan Ridwan (43) ditemui di Warung Pempek dan Kopi (Peko) miliknya di Kota Pagaralam, Sumsel, Jumat (5/7/2024), mengatakan, nama kopi Sumsel kurang populer dibandingkan kopi-kopi lain di Sumatera maupun Indonesia karena kualitas hasil panen yang belum terjamin. Bahkan, pemilik warung kopi kadang kerepotan untuk mendapatkan pasokan biji kering berkualitas.
”Kalau hasil panen dari kebun sendiri tidak mencukupi, saya keliling mencari biji kering dari petani-petani lain. Tetapi, saya harus betul-betul selektif dalam memilih karena tidak semua petani konsisten menjaga kualitas panennya walau sudah diingatkan,” ucap Iwan yang memiliki kebun kopi warisan orangtua seluas setengah hektar di Simpang Padang Karet, Pagaralam.
Sistem ijon
Salah satu pemicunya adalah banyak petani kopi Sumsel yang terjebak sistem ijon dengan para tauke atau tengkulak. Sistem ijon terjadi saat petani mengambil utang dengan tauke untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya jauh sebelum musim panen. Utang itu semacam tanda tangan kontrak petani untuk memberikan atau menjual hasil panennya kepada tauke bersangkutan.
Hal itu menyebabkan petani tidak memiliki kesempatan untuk meningatkan pendapatannya, antara lain dengan mendongkrak kualitas melalui panen selektif petik buah merah atau matang. Bagaimana pun bentuk atau kualitas hasil panen, entah selektif petik buah merah atau buah asalan (bercampur buah merah, kuning, dan hijau), harga yang ditetapkan tauke cenderung sama saja.
Baca juga: Sumsel Punya Kopi, Lampung Punya Nama
Akhirnya, timbul kebiasaan untuk tidak repot-repot panen selektif buah merah. Lagi pula, panen buah merah butuh waktu yang lebih panjang, yakni mengharuskan petani pulang-pergi ke kebun berhari-hari hingga berminggu-minggu karena buah tidak merah secara serentak. Itu akan menambah ongkos waktu, tenaga, serta biaya.
Ratu Belanda paling senang minum kopi dari perkebunan di Simpang Padang Karet Pagaralam.
Sebaliknya, panen asalan bisa selesai lebih cepat dalam beberapa hari atau seminggu saja untuk setiap hektar kebun. ”Karena rata-rata tingkat ekonomi tidak terlalu baik, petani memilih cara panen asalan karena lebih cepat menghasilkan uang,” ujar Iwan.
Cita rasa
Kalau kualitas dijaga sejak masa budidaya, panen, hingga pascapanen, cita rasa kopi Sumsel, terutama asal Pagaralam dianggap tidak kalah dengan kopi lain yang sudah populer. Terbukti, menurut Iwan, kopi Pagaralam diyakini pernah menjadi kopi favorit Ratu Belanda saat Indonesia dikuasai pemerintah kolonial. ”Ratu Belanda paling senang minum kopi dari perkebunan di Simpang Padang Karet Pagaralam,” terang Iwan.
Klaim Iwan beralasan. Berdasarkan buku ”Kaum Tuo-Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821-1942” karya Jeroen Peeters yang diterbikan di Indonesia pada 1997, kesuksesan budidaya kopi di uluan Palembang (pedalaman Sumsel) telah menarik perhatian banyak pihak. Pada awal 1890an, para petualang Eropa bertolak ke tanah pegunungan di uluan Palembang untuk membangun kebun kopi sendiri di lereng Gunung Dempo (di Pagaralam) dan lembah Sindang (di Kabupaten Lahat).
Bukti lainnya, Iwan menuturkan, kopi Pagaralam beberapa kali memenangkan kontes kopi tingkat nasional maupun internasional. Setidaknya, berita Kompas pada 19 November 2020 mengabarkan, kopi Pagaralam memperoleh Medali Gourmet untuk kategori puissant amer (rasa pahit yang kuat) dari Badan Penilaian Produk Pertanian Paris, Perancis (AVPA) pada akhir tahun 2020.
Kementerian Pertanian pada April 2019, menyatakan, empat varietas kopi robusta asal Pagaralam, yakni Besemah 1, 2, 3, dan 4 masuk kategori unggulan. Selain memiliki produktivitas tinggi lebih dari 2 ton per hektar dan adaptif di dataran tinggi lebih dari 700 meter dari permukaan laut maupun iklim basah, empat varietas itu punya cita rasa tinggi yang khas dengan skor di atas 80 atau fine robusta.
Baca juga: Harga Melonjak, Kebun Kopi di Sumsel Rentan Pencurian
Pada 2021, Kementerian Pertanian melepas klon kopi robusta asal Ranau, Ogan Komering Ulu Selatan atau Kobura 1, 2, dan 3. Mengacu sistem penilaian pada protokol SCAA, Kobura 1 mendapatkan skor 84 atau tergolong very good, Kobura 2 mendapatkan skor 88 atau excellent, dan Kobura 3 mendapatkan skor 86 atau excellent.
Artinya, kopi Sumsel memiliki kekuatan rasa yang tidak kalah kalau dikelola dengan baik. Tinggal pola pikir petani harus diubah agar mengutamakan dan konsisten menjaga kualitas. Di sisi lain, pemerintah harus mendukung perubahan pola pikir tersebut, khususnya dengan memberikan jaminan pasar untuk hasil panen buah merah.
”Sekitar tahun 2017/2018, pemerintah pernah menjanjikan akan menghadirkan pembeli yang siap menghargai biji kering hasil panen buah merah Rp 25.000 per kilogram (kg) saat harga biji asalan masih di bawah Rp 20.000 per kg. Ternyata, ketika musim panen, pembelinya tidak ada,” kata Iwan.
Untuk menonjolkan kualitas kopi, prosesor kopi di Rimba Candi, Pagaralam, Frans Wicaksono (58) mengatakan, petani di Sumsel harus keluar dari zona nyaman mereka. Sejauh ini, pola pertanian kopi di Sumsel menyadur teknologi budidaya maupun pengolahan pascapanen yang diwariskan secara turun-temurun.
Baca juga: Harga Kopi Robusta Sumsel Pecah Rekor, Saatnya Benahi Tata Kelola
Salah satu kebiasaan warisan yang menghambat perkembangan kopi Sumsel, yakni menjemur kopi di aspal atau jalan dan membiarkan kopi diinjak oleh ban kendaraan bermotor. Kebiasaan itu berisiko membuat kopi terkontaminasi kotoran ternak yang lalu-lalang dan polusi kendaraan bermotor.
Apalagi kopi memiliki kemampuan menyerap aroma di sekelilingnya sehingga kopi yang dijemur di aspal berpeluang memunculkan aroma dan rasa yang tidak sedap. ”Kalau tidak ada perubahan, kebiasaan itu akan terus menghambat perkembangan kopi Sumsel,” ungkap Frans yang bermukim di Rimba Candi untuk mengelola kebun kopi warisan ayahnya sejak 2015.
Karena menerapkan teknologi budidaya dan pengolahan pascapanen sesuai standar ekspor, Frans mampu memasarkan kopinya ke Uni Emirat Arab. Salah satu pola yang diterapkan Frans, yakni membangun ruang pengeringan yang bisa menjaga suhu terus stabil dan terhindar dari perubahan cuaca tiba-tiba, serta menggunakan alas pengeringan setinggi 1-1,5 meter dari permukaan tanah.
”Sekarang, tidak ada alasan untuk tidak bisa meningkatkan kualitas panen karena ilmunya bisa dipelajari dengan mudah dan gratis di ponsel pintar. Melalui internet, kita juga tidak perlu takut dengan akses pasar. Kita bisa promosi sendiri produk kita lewat media sosial. Kalau kualitas terbukti, bukan kita yang mencari pembeli melainkan pembeli yang mendatangi kita,” tegas Frans.
Harus bersinergi
Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Sumsel Affandi Udji menuturkan, hambatan pengembangan kopi Sumsel cukup kompleks. Permasalahannya bukan hanya di hulu melainkan pula di hilir. Itu mulai dari sistem ijon masih merajalela, produktivitas kebun masih rendah, petani masih terbiasa panen asalan, rantai pemasaran masih dikuasai tauke yang berafiliasi dengan gudang atau pabrik dari provinsi lain, hingga belum ada industri kopi besar di Sumsel.
Untuk mengatasinya, itu tidak bisa hanya berharap kemandirian dari pelaku ekosistem perkopian, terutama petani. Hal itu butuh dukungan atau keterlibatan dari segala pemangku kepentingan terkait, khususnya pemerintah. ”Semua pihak terkait harus bersinergi dan menunjukkan komitmen mereka kalau ingin membawa kopi Sumsel naik kelas hingga bisa mendunia,” ujarnya.
Baca juga: Produksinya Terbesar di Indonesia, Kopi Sumsel Didorong Mendunia
Penjabat Gubernur Sumsel Elen Setiadi dalam pemecahan rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia bertema ”Minum Kopi Serentak Terbanyak di Pinggir Sungai” di Benteng Kuto Besak, Palembang, Sabtu (13/7/2024), mengingatkan, segala kegiatan yang bertujuan untuk mendongkrak nama kopi Sumsel jangan hanya menjadi seremoni belaka. Semua pemangku kepentingan terkait, terlebih jajaran pemerintahan harus menindaklanjutin secara konsisten.
”Pemecahan rekor ini berguna untuk mengangkat nama kopi Sumsel. Tetapi, kegiatan ini jangan hanya menjadi seremoni. Jadikan ini sebagai momentum untuk memajukan kopi Sumsel. Sebagai produsen kopi terbesar dan pemilik lahan kopi terluas di Indonesia, kita harus membawa kopi Sumsel mendunia, menjadi pilihan utama penikmat kopi dunia,” pesan Elen.