Petani Kopi Akhirnya Memanen Buah Kesabaran
Jatuh-bangun para petani yang konsisten mempertahankan kebun kopi terbayarkan oleh menggeliatnya harga kopi.
Setelah bertahun-tahun hidup dalam jerat ijon, petani kopi akhirnya menuai buah kesabaran. Jatuh-bangun terbayarkan oleh harga kopi yang tembus rekor tertinggi sepanjang sejarah pada panen raya ini. Kini, hasil panen tidak sebatas untuk bayar utang, melainkan antarpetani mewujudkan mimpi tak terpikirkan.
Aura semangat memancar di kawasan penghasil kopi di hulu Sumatera Selatan. Salah satunya di Kota Pagaralam, petani menyambut panen antusias. Seusai memetik, buah kopi cepat-cepat dibawa dan dikeringkan di pelataran rumah. Buah-buah kopi itu dijaga bak menjaga anak yang baru lahir.
Hampir semua petani saling menebar senyum dan saling menyapa. Sukacita yang terpancar itu tak lepas dari harga kopi yang sedang melambung tinggi. Biji beras kopi robusta dari petik buah asalan kini dihargai Rp 70.000-75.000 per kilogram (kg) dan biji kering robusta petik buah merah Rp 100.000-120.000 per kg. Harga ini naik tiga kali lipat dibandingkan dengan saat panen tahun lalu.
Petani kopi yang sabar merawat kebun akhirnya menuai hasil yang sepadan. Mujid Tahidin (46), petani di Rimba Candi, Dempo Tengah, Pagaralam, tak memungkiri kerap galau untuk mengganti kebun kopi dengan komoditas lain. Itu karena hasil kopi nyaris tidak pernah sesuai harapan. Kegalauan itu pun selalu berusaha ditepisnya demi mempertahankan tradisi leluhur. ”Kadang, ada pikiran untuk mengganti kebun kopi dengan sayuran yang bisa memberikan hasil cepat. Tapi, karena ini kebun warisan orangtua, tetap kami pertahankan,” ujar Mujid yang ditemui, Kamis (4/7/2024).
Baca juga: ”Booming” Kopi dan Ledakan Perputaran Uang
Faktor lain yang membuat para petani tetap berusaha mempertahankan kebun kopinya karena masih terngiang memori kolektif kejayaan kopi pada tahun 1998. Saat itu, karena nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membubung tinggi, harga kopi pun sontak meningkat drastis, antara lain biji kering robusta petik asalan Rp 18.000-20.000 yang menjadi rekor tertinggi di masanya.
Pilihan itu ternyata tepat. Akhirnya, harga kopi akhirnya menembus rekor tertinggi sebagaimana 26 tahun lalu. Dalam sekejap, fenomena itu mengobati segala dukacita yang petani rasakan selama harga kopi kurang menguntungkan mereka.
Di saat harga kopi tidak berpihak, para petani kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup ataupun keluarganya. Sebagai gambaran, Semua kebun kopi di Sumsel adalah milik rakyat. Setiap petani rata-rata hanya memiliki kebun seluas 2-3 hektar dengan produktivitas rata-rata sekitar 1 ton buah segar per hektar.
Baca juga: Mengapa Harga Kopi Robusta Melambung 3 Kali Lipat
Kalau sudah dikeringkan, hasil panen buah segar itu bisa menyusut sekitar 30 persen. Artinya, hasil panen itu menjadi lebih kurang 1,4-2,1 ton biji kering per tahun. Adapun panen terjadi setiap pertengahan tahun antara Mei dan Agustus.
Saat harga biji kering asalan masih di kisaran Rp 30.000 per kg, seperti tahun lalu, pendapatan kotor dari panen itu hanya rata-rata 4 juta per bulan. Kalau dipotong biaya produksi, seperti beli pupuk atau pestisida, bayar upah jasa memetik buah saat panen, sewa alat pemecah kulit buah kopi, hingga sewa alat pemanggang kopi, pendapatan bersih cuma 50 persen alias rata-rata Rp 2 juta.
Baca juga: Harga Kopi Robusta Sumsel Pecah Rekor, Saatnya Benahi Tata Kelola
Nilai itu di bawah upah minimum kota (UMK) Pagaralam dan upah minimum provinsi (UMP) Sumsel yang sebesar Rp 3.404.177 pada tahun lalu. Tak pelak, banyak petani terperangkap sistem ijon dengan para tauke atau tengkulak. Sebelum panen, hasil kebun petani sudah diambil para tauke. Itu terjadi karena petani sering kali berutang kepada tauke untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membayar sekolah anak.
Utang dibayarkan dengan memberikan ataupun wajib menjual hasil panen kepada tauke bersangkutan seusai dengan harga yang ditetapkan tauke tersebut. Maka itu, kehidupan petani cenderung jalan di tempat dari tahun ke tahun. ”Selama ini, hidup kami hanya untuk gali lubang tutup lubang (berutang untuk membayar utang lainnya),” kata Mujid yang masih punya tanggungan membayar kuliah dua dari tiga anaknya.
Membuka lembaran baru
Seiring melejitnya harga kopi, para petani mendapatkan asa besar untuk membuka lembaran hidup baru yang lebih baik. Mujid mengatakan, dalam musim panen kali ini, dia sudah dua kali melakukan panen. Hasil panen itu digunakan untuk melunasi semua utang dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga musim panen berikutnya, serta biaya sekolah anak.
Bahkan, masih ada sisa untuk ditabung yang, menurut rencana, menjadi modal untuk Mujid dan istrinya berangkat haji. ”Kemarin-kemarin, karena hasil panen tidak pernah ada lebihnya, kami tidak pernah mau bermimpi yang muluk-muluk, seperti pergi haji,” tutur Mujid.
Kemarin-kemarin, karena hasil panen tidak pernah ada lebihnya, kami tidak pernah mau bermimpi yang muluk-muluk, seperti pergi haji.
Petani penggarap kebun orang lain seluas lebih kurang 1,5 hektar yang tersebar di Dempo Ryokan dan Tanjung Aro yang sama-sama di Pagaralam Utara, Pagaralam, Andi Purnawansyah (46), mulai merasakan dampak positif dari booming harga kopi. Karena berstatus petani penggarap, dia dan pemilik kebun harus berbagi hasil panen 50:50. Saat harga biji kering asalan masih di kisaran Rp 30.000 per kg, pendapatan Andi hanya Rp 1,3 juta per bulan.
Untuk menghindari utang, sejak 2008, Andi menjalani kerja sampingan untuk dapat tambahan pendapatan dengan menarik ojek. Akibatnya, dia pontang-panting bekerja. Seusai merawat kebun di pagi hari, dia langsung lanjut menarik ojek dari siang hingga petang, bahkan terkadang hingga malam hari.
Namun, sejak harga kopi melonjak, Andi bisa bernapas lega sehingga memutuskan berhenti menarik ojek. Itu karena hasil panen sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga setahun ke depan. Apalagi, biaya anak sekolah sudah berkurang karena salah satu dari dua anaknya sudah lulus SMA dan mulai bekerja.
Adapun hasil panen kali ini meningkat nyaris tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu, yakni paling kurang menjadi Rp 36,7 juta per tahun atau Rp 3 juta per bulan kalau harga biji kering asalan Rp 70.000 per kg. Itu sudah lebih dari penghasilan yang didapatkannya saat masih menyambi petani dan tukang ojek.
”Dengan hasil panen tahun ini, saya bisa sedikit bersantai dan bisa menyisihkan sebagian hasil panen untuk menabung biaya nikah anak pertama saya. Kalau masih ada sisa, sedikit-sedikit untuk menyelesaikan pembangunan rumah yang saya cicil lima tahun terakhir,” ujar Andi.
Ada yang menyesal
Petani kopi asal Rimba Candi, Painah (62), agak menyesal karena sempat mengabaikan kebun kopinya. Akibat harga kopi yang kurang menggiurkan, sebagian pohon kopinya di kebun seluas 2,5 hektar sempat dialihkan menjadi kebun sayuran, seperti brokoli, buncis, dan kubis setidaknya tiga tahun terakhir.
”Waktu itu, harga kopi tidak menjanjikan, sempat di bawah Rp 10.000 per kg, tetapi rata-rata hanya Rp 15.000-20.000 per kg dan hasilnya cuma setahun sekali. Jadinya, saya mengganti sebagian pohon kopi menjadi sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lagi pula, sayuran bisa dipanen seminggu sekali,” kata Painah.
Praktis, hanya sekitar 1,5 hektar pohon kopi yang dipertahankan Painah. Itu pun pohon-pohon yang sudah berusia tua dan cenderung terbengkalai sehingga produktivitasnya telah menurun drastis. Barulah saat ada tanda-tanda harga kopi merangkak naik mulai akhir tahun lalu, Painah kembali melirik kebun kopinya. Dia coba meremajakan pohon tua dengan teknik stek sambung pucuk.
Baca juga: Produksinya Terbesar di Indonesia, Kopi Sumsel Didorong Mendunia
Sayangnya, butuh waktu minimal setahun untuk merasakan hasil peremajaan tersebut sehingga Painah tidak bisa merasakan nikmatnya booming harga kopi kali ini. ”Saya menyesal pernah mengabaikan kebun kopi. Semoga harga kopi tinggi ini bisa bertahan lama sehingga saya masih bisa mencicipi naiknya harga itu saat kebun saya yang baru diremajakan sudah menghasilkan,” tutur Painah.
Prosesor kopi asal Rimba Candi, Frans Wicaksono (58), menilai, agar fenomena melonjaknya harga kopi saat ini memberikan manfaat panjang, para petani harus mengoptimalkannya dengan membuka lembaran hidup yang benar-benar baru. Caranya, mereka jangan menggunakan keuntungan panen saat ini hanya untuk kebutuhan konsumtif, seperti membeli kendaraan.
Lebih baik, para petani menggunakan hasil panen saat ini untuk membayar semua utang dan jangan lagi terjerumus utang dengan tauke guna memutus jerat sistem ijon. Kemudian, mereka melakukan peremajaan agar produktivitas lebih tinggi, serta belajar menerapkan sistem budidaya ataupun pascapanen modern agar kualitas panen lebih baik. ”Kalau kuantitas dan kualitas sudah stabil, petani bisa memiliki nilai tawar lebih kuat sehingga kesejahteraan mereka lebih terjamin,” ujar Frans.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Sumsel Affandi Udji menuturkan, selama masih terjebak sistem ijon, selama itu petani kopi tidak bisa betul-betul menikmati berkah dari hasil panen. Sementara itu, saat kopi dianggap tidak menguntungkan, Ketua Dewan Kopi Indonesia Sumsel Zain Ismed berpendapat, saat itulah kebun kopi di Sumsel rentan beralih fungsi ke komoditas lain.
Kalau kuantitas dan kualitas sudah stabil, petani bisa memiliki nilai tawar lebih kuat sehingga kesejahteraan mereka lebih terjamin.
Oleh karena itu, perlu ada penguatan kapasitas kepada para petani kopi agar hasil panen mereka memberikan jaminan kesejahteraan. Itu adalah tameng yang dibutuhkan petani dalam menghadapi dinamika harga kopi yang bisa bergerak bagai kereta luncur, sewaktu-waktu bisa melejit dan sewaktu-waktu pula bisa terbenam.
Baca juga: Harga Tinggi Kopi Cetak Rekor, Momentum Benahi Hulu