Gairah Kopi Jangan Sampai Euforia Sesaat
Warisan kopi dari para orangtua di Sumsel perlu dikembangkan agar lebih berkualitas. Jangan terlena harga kopi tinggi.
PALEMBANG, KOMPAS — Di balik booming harga kopi yang menembus rekor tertinggi, Sumatera Selatan masih bergantung pada warisan kopi dari orangtua. Jika terlena, kesejahteraan petani dapat terancam.
Saat ini, baru sebagian kecil petani yang telah mampu meningkatkan produktivitas kopi hingga 2-3 ton per hektar. Mereka adalah petani generasi muda yang melek teknologi serta terbuka oleh praktik budidaya kopi berkelanjutan.
Berdasarkan pantauan Kompas di daerah penghasil kopi di hulu Sumsel, rata-rata produktivitas kebun kopi sangat rendah. Masih di kisaran 1 ton per hektar.
Itu karena pola budidaya kopi bersifat warisan dari orangtua. Nyaris tidak ada perubahan berarti dalam budidaya. Akibatnya, produktivitas pun tak kunjung membaik.
Tingginya harga kopi pada panen raya kali ini dikhawatirkan menjadi euforia sesaat. Petani datang ke kebun karena harganya sedang tinggi. Namun, bagaimana jika harganya anjlok? Akankah petani meninggalkan kebun kopinya? Kondisi itu perlu menuai perhatian serius di sektor hulu.
Secara kuantitas, Sumsel mendominasi statistik kopi Indonesia. Berdasarkan data ”Statistik Kopi Indonesia 2022” yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), 30 November 2023, Sumsel adalah produsen kopi terbesar di Indonesia dengan produksi 208.076 ton atau 26,85 persen dari total produksi kopi nasional 774.960 ton. Sumsel pun pemilik kebun kopi terluas di Indonesia dengan 267.250 hektar.
Baca juga: Sumsel Punya Kopi, Lampung Punya Nama
Kendati demikian, secara kuantitas, kopi Sumsel kurang menonjol. Produktivitas kopinya hanya berada di urutan keempat nasional, yakni rata-rata 0,908 ton per hektar.
Sumsel tertinggal jauh dari Sumatera Utara yang produktivitasnya mencapai 1,265 ton per hektar alias tertinggi nasional. Angka itu pun tertinggal jauh di bawah negara tetangga sekaligus produsen kopi terbesar kedua di dunia, yaitu Vietnam, dengan 2-3 ton per hektar.
Sangat disayangkan karena produktivitas adalah salah satu faktor yang memengaruhi kesejahteraan petani. Kalau produktivitas tinggi, peluang petani untuk mendapatkan tambahan pendapatan akan semakin besar. ”Ada dua faktor yang memengaruhi kesejahteraan petani, yakni kuantitas dan kualitas hasil panen. Namun, walaupun berkualitas tinggi, kesejahteraan petani sulit terangkat kalau kuantitas panen rendah,” kata Zain Ismed, Ketua Dewan Kopi Indonesia Sumsel.
Baca juga: Merayakan Kopi Sumsel dari Pinggir Sungai
Kalau tingkat produktivitas tidak berubah, rekor tertinggi harga kopi hanya dinikmati sesaat oleh petani. Ke depan, saat harga kembali normal, perekonomian petani akan kembali seperti sediakala yang umumnya dinaungi banyak utang ataupun terperangkap sistem ijon yang diberlakukan tengkulak.
”Rekor tertinggi harga kopi saat ini dipicu oleh menurunnya produksi Brasil sebagai produsen kopi terbesar di dunia dan juga Vietnam karena kebun-kebun di sana mengalami kerusakan oleh faktor perubahan iklim. Paling kurang, mereka butuh waktu tiga tahun untuk memulihkan produksi tersebut. Kalau mereka sudah pulih, kemungkinan harga kopi di Sumsel ataupun Indonesia akan kembali normal,” tuturnya.
Baca juga: Harga Melonjak, Kebun Kopi di Sumsel Rentan Pencurian
Menurut Zain, penyebab utama produktivitas kopi di Sumsel masih rendah, yakni banyak pohon tua atau yang sudah berusia di atas 25-30 tahun, pola budidaya yang belum optimal, dan ketersediaan pupuk ataupun pestisida yang belum memadai. Berdasarkan data Bidang Produksi Dinas Perkebunan Sumsel per Juni 2024, ada sekitar 60.000 hektar pohon kopi tua di Sumsel atau kurang lebih 22,5 persen dari total kebun kopi yang ada.
”Tidak tahu pasti berapa jumlah pohon kopi tua yang ada di Sumsel. Yang pasti, untuk pohon-pohon yang sudah berusia di atas 25-30 tahun, produktivitasnya akan jauh menurun sehingga perlu segera diremajakan (diganti dengan pohon muda),” ujarnya.
Musim panen saat ini, harga kopi tembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. Biji kopi robusta dari panen petik buah asalan Rp 70.000-75.000 per kilogram (kg) dan biji kopi robusta dari panen petik buah merah Rp 100.000-120.000 per kg.
Hasil panen bakal bisa membantu petani memperbaiki perekonomian ataupun kehidupan lebih baik. Momen ini seolah mengulang saat harga kopi melejit ke rekor tertinggi di masanya pada 1998. ”Harga kopi robusta saat ini meningkat hingga tiga kali lipat dibandingkan musim panen tahun lalu. Hal ini sangat disyukuri petani,” ujarnya.
Makanya, pemerintah harus segera mengambil momentum melonjaknya harga kopi saat ini untuk meyakinkan petani mengenai pentingnya peremajaan dan menerapkan pola budidaya yang lebih baik.
Zain menyampaikan, pemerintah harus memastikan ketersediaan pupuk untuk petani kopi. Paling tidak, selama ini, petani kopi belum mendapatkan akses atau prioritas yang sama dengan petani padi untuk mendapatkan pupuk subsidi.
”Semua kebun kopi di Sumsel adalah kebun rakyat, yang tidak terlalu mengikuti perkembangan dinamika global, khususnya mengenai produktivitas. Makanya, pemerintah harus segera mengambil momentum melonjaknya harga kopi saat ini untuk meyakinkan petani mengenai pentingnya peremajaan dan menerapkan pola budidaya yang lebih baik,” tuturnya.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Sumsel Affandi Udji mengatakan, meski secara statistik sangat mendominasi, kopi Sumsel belum memberikan banyak kontribusi untuk perekonomian daerah. Terbukti, Sumsel belum bisa menyerap potensi pendapatan asli daerah (PAD) dari perdagangan kopi ke pasar domestik dan mancanegara.
Bahkan, dari data Dinas Perdagangan Sumsel dan BPS, nilai ekspor kopi dari Sumsel masih nol. ”Seperti momen melonjaknya harga kopi saat ini, petani dan pemerintah daerah di Sumsel sejatinya tidak benar-benar menikmatinya. Itu karena petani banyak terjebak sistem ijon dengan tengkulak dari daerah lain. Pemerintah daerah pun tidak menikmatinya karena kopi dari Sumsel justru diekspor oleh daerah lain,” ujarnya.
Baca juga: Harga Kopi Robusta Sumsel Pecah Rekor, Saatnya Benahi Tata Kelola
Untuk itu, Affandi menilai, masalah kopi Sumsel bukan hanya soal produktivitas yang masih rendah, melainkan lebih luas lagi dari hulu hingga hilir ekosistem perkopian. Perbaikan pun dibutuhkan dalam rantai pemasaran ataupun kepastian pasar. Hal itu memungkinkan kualitas kopi yang dihasilkan petani bisa lebih dihargai sehingga kesejahteraan mereka bisa ikut terangkat.
Ujung-ujungnya, kopi Sumsel bisa menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. ”Untuk membawa kopi Sumsel naik kelas, bahkan bisa mendunia, itu tidak bisa hanya dilihat dari salah satu sektor saja. Perbaikan mesti dilakukan di segala bidang terkait, dari hulu hingga hilir ekosistem perkopian,” tutur Affandi.
Terkait produktivitas, Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Sumsel Havizman menuturkan, pemerintah sudah berupaya melakukan peremajaan ataupun rehabilitas terhadap pohon-pohon tua. Melalui bantuan APBN, mereka melakukan peremajaan masing-masing 100 hektar kebun di Pagaralam, Lahat, dan Empat Lawang pada tahun lalu, serta 200 hektar di Pagaralam, 150 hektar di Lahat, dan 100 hektar di Empat Lawang pada tahun ini. Lewat kebijakan Gubernur Sumsel, mereka berturut-turut melakukan rehabilitasi terhadap 1 juta pohon di Pagaralam pada 2021 dan 2022.
Namun, karena keterbatasan anggaran dan masih minimnya tempat pembibitan benih varietas unggul untuk peremajaan ataupun rehabilitasi, upaya mengurangi jumlah kebun tua di Sumsel diakui belum signifikan. Seiring dengan itu, luasan kebun tua terus bertambah setiap tahunnya. ”Oleh karena itu, kami berharap petani juga bisa lebih mandiri dalam mengatasi persoalan tersebut,” katanya.
Baca juga: Produksinya Terbesar di Indonesia, Kopi Sumsel Didorong Mendunia
Tempat pengeringan itu diharapakan bisa mengubah perilaku petani dari melakukan pengeringan di tanah atau aspal menjadi ke tempat khusus dengan ketinggian tertentu di atas tanah. Pengeringan di tanah atau aspal berisiko membuat kopi terpapar oleh kotoran ternak ataupun ban dan polusi dari kendaraan bermotor.