Supriyono, Guru Lapangan Para Petani Kopi
Supriyono bergerak dengan membuat komunitas Kopista Indonesia dan mengajari petani budidaya kopi.
Bukan pekerjaan mudah mengubah pola pikir petani kopi. Selama ini, masih banyak petani yang membiarkan kebunnya tak terawat sehingga hasil panen kopi merosot. Sembilan tahun terakhir, Supriyono (48) bergiat mengajak petani untuk merawat kebun kopi.
Hidup dan tumbuh sebagai anak petani di Lampung Barat, Supriyono tahu betul bagaimana petani kopi memperlakukan kebunnya. Selama puluhan tahun, sebagian besar petani masih menggunakan cara-cara lama dalam budidaya kopi.
Mayoritas petani tidak merawat kebunnya dengan serius. Mereka membiarkan saja kebun kopinya tanpa diberi pupuk dan dibersihkan. Petani biasanya hanya sesekali menengok kebun menjelang masa panen raya.
Padahal, perubahan iklim yang kian terasa beberapa tahun terakhir membuat petani semakin sulit membaca alam. Produksi kopi robusta petani di Lampung, misalnya, pernah merosot tajam dari semula di atas satu ton per hektar menjadi hanya 300-400 kilogram saja per hektar akibat musim yang kian tak menentu.
Baca juga: Imam Rosadi, Bibit Kopi Unggul dari Kebun Sendiri
Jika terus dibiarkan seperti itu, petani kopi tentu sulit menggapai sejahtera. Jangankan ditabung, uang hasil panen kopi pun tak cukup untuk biaya hidup hingga musim panen berikutnya.
Supriyono yang diberi tanggung jawab mengurus kebun kopi milik orangtuanya merasa senasib dengan ribuan petani kopi di Lampung. Pria lulusan Teknik Mesin dari Universitas Muhammadiyah Surakarta itu pun akhirnya mempelajari budidaya kopi dan memilih menjadi petani.
”Para petani berharap pohon kopi berbuah lebat, tapi tidak paham bagaimana cara merawat tanaman kopinya dengan baik. Sebagai anak petani, saya merasa senasib dengan mereka,” kata Supriyono saat ditemui di Bandar Lampung, Selasa (9/7/2024).
Demi mempelajari cara budidaya kopi dengan baik, Supriyono mengikuti berbagai pelatihan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Ia juga sempat menimba ilmu tentang budidaya kopi dari Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar.
Setelah belajar tentang budidaya kopi, Supriyono memahami bahwa perawatan kebun yang baik menjadi kunci utama untukbisa mendongkrak produksi kopi. Perawatan tanaman kopi, mulai dari pemupukan, pemangkasan, dan peremajaan tanaman kopi harus benar-benar diperhatikan.
Dalam satu tahun, pemupukan tanaman kopi setidaknya harus dilakukan tiga kali, yakni saat fase sebelum berbunga, fase setelah berbunga, dan fase pengisian buah. Tiga fase itu sangat penting diperhatikan karena akan menentukan banyak sedikitnya jumlah buah chery kopi yang akan dihasilkan.
Supriyono juga menghitung agar setiap hektar kebun kopinya bisa menghasilkan minimal 2 ton biji kopi atau green bean. Untuk bisa mencapai target produksi itu, ia merancang agar setiap tanaman kopi setidaknya mempunyai 18 ranting produktif.
Para petani berharap pohon kopi berbuah lebat, tapi tidak paham bagaimana cara merawat tanaman kopinya dengan baik. Sebagai anak petani, saya merasa senasib dengan mereka.
Tak hanya itu, Supriyono juga bereksperimen menambah populasi tanaman kopi di kebunnya. Jika petani kopi umumnya menanam 2.000–2.500 batang tanaman kopi di lahan seluas satu hektar, Supriyono mencoba sistem pagar dengan meningkatkan populasi tanaman kopi menjadi sekitar 4.000 batang per hektar.
Ternyata, dengan pola tanam intensitas tinggi tersebut, satu hektar lahan kopi bisa menghasilkan 3-4 ton biji kopi atau green bean. Kesuksesan Supriyono dalam budidaya kopi itu pun akhirnya terdengar oleh petani-petani lainnya.
Supriyono yang tinggal di Kelurahan Sekincau, Kecamatan Sekincau, juga mengembangkan budidaya kopi arabika. Hal ini karena daerah tempat tinggalnya berada pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Letak geografis wilayah itu mendukung untuk pengembangan kebun kopi arabika yang jumlahnya masih sedikit di Lampung.
Membuat komunitas
Setelah sukses mempraktikkan ilmu dan memberikan contoh nyata kepada petani lainnya, ia pun bergerak dengan membuat komunitas Kopista Indonesia pada 2015. Saat ini, sudah ada sekitar 250 petani kopi di Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, dan beberapa daerah di Bengkulu yang tergabung dalam komunitas tersebut.
Lewat komunitas tersebut, Supriyono berbagai ilmu secara sukarela para petani tentang budidaya kopi. Ia mengubah pola pikir para petani kopi untuk berani menargetkan hasil panen minimal 2 ton per hektar.
Target itu bukan tanpa penghitungan. Dengan produksi minimal 2 ton dan harga green bean kopi minimal Rp 30.000 per kg, petani setidaknya memiliki pendapatan Rp 60 juta per hektar per tahun dari hasil panen kopi. Apabila dikurangi biaya operasional perawatan kebun sekitar 40 persen dari hasil panen, petani masih bisa mendapatkan pendapatan bersih sekitar Rp 36 juta.
”Dengan produksi minimal 2 ton per hektar, nilai ekonomis budidaya kopi baru dapat dirasakan petani. Setidaknya petani mendapatkan uang dari jasa merawat kebun sekitar Rp 3 juta per bulan atau sudah di atas rata-rata upah minimum buruh di Lampung saat ini,” katanya.
Baca juga: Surip Mawardi, Pengabdian di Jalan Sepi Hulu Pertanian Kopi
Supriyono pun menjadi guru lapangan bagi para petani kopi. Hampir setiap pekan, ia berkeliling ke kebun-kebun petani demi memberikan ilmu tentang budidaya kopi. Ia mengajari dengan cara praktik langsung bagaimana cara manajemen kebun kopi dengan yang baik. Semua itu ia lakukan tanpa bayaran sepeser pun.
Saat ini, sebagian besar anggota komunitas Kopista Indonesia pun telah berhasil mencapai target minimal produksi 2 ton per hektar. Bahkan, tidak sedikit pula petani yang mendapat hasil panen hingga 3-4 ton per hektar.
Ia juga membuka jejaring antara petani dan beberapa perusahaan eksportir kopi. Petani dibina untuk melakukan pengolahan pascapanen dengan baik agar harga jual green bean bisa lebih lebih tinggi.
Di saat harga kopi robusta melonjak mencapai Rp 70.000 per kg seperti sekarang ini, para petani kopi yang rajin merawat kebunnya pun kelimpahan rejeki. Jerih payah Supriyono mengajari para petani pun terbayar saat melihat petani-petani binaannya tersenyum bahagia.
”Kalau kiai berdakwah lewat ceramah. Kalau saya kan enggak bisa ceramah. Jadi, ya, berbuat baik dengan cara menyebarkan ilmu kopi pada petani. Senyum dari para petani sudah cukup menjadi penghilang lelah,” kata Supriyono.
Dengan produksi minimal 2 ton per hektar, nilai ekonomis budidaya kopi baru dapat dirasakan petani. Setidaknya petani mendapatkan uang dari jasa merawat kebun sekitar Rp 3 juta per bulan atau sudah di atas rata-rata upah minimum buruh di Lampung saat ini.
Menurut dia, pemerintah perlu memperhatikan nasib petani kopi jika ingin mendongkrak produksi kopi nasional. Pemerintah dapat memulai semua itu dengan membuat kebun demplot di beberapa lokasi yang bisa menjadi laboratorium lapangan bagi para petani.
Ia paham betul, petani butuh pendampingan dan praktik langsung di kebun. Dengan sukses budidaya kopi, mereka tentu akan bangga menjadi petani kopi.
Supriyono
Lahir: 6 Desember 1975
Alamat: Kelurahan Sekincau, Kecamatan Sekincau, Lampung Barat
Pendidikan terakhir: S-1 Teknik Mesim di UMS
Pekerjaan:
-Petani Kopi dan Tutor Budidaya Kopi
-Pendiri Komunitas Kopista Indonesia