Perempuan Suku Asli di Bengkalis Berupaya Mandiri dan Menolak Terisolasi
Wanita Suku Asli di Kabupaten Bengkalis, Riau, menolak terisolasi. Beragam keahlian dipelajari guna hidup lebih mandiri.
Wanita Suku Asli yang tinggal di Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Riau, dikaruniai beragam kemampuan, mulai dari memilah hasil laut, mencari kerang di hutan mangrove, hingga membuat atap dari rumbia. Cara ini mereka lakukan untuk membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Apen (36) bersama empat ibu lainnya yang merupakan bagian dari Suku Asli tengah serius memilah hasil tangkapan yang baru saja diperoleh dari kelompok nelayan yang baru pulang melaut, Rabu (10/7/2024). Tanpa komando, mereka tampak mahir memilah udang dan beragam jenis ikan.
Di Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Riau, adalah pemandangan yang lumrah ketika perempuan memilah hasil laut yang dibawa oleh kaum laki-laki. ”Kalau laki-laki melaut, kami memilah dan menjualnya,” kata Apen.
Desa Teluk Pambang memang dianugerahi kekayaan alam. Berada di kawasan pesisir, desa ini berbatasan dengan Sungai Kembung dan Selat Malaka. Beberapa nelayan mencari ikan di sungai yang merupakan area muara. Ada juga yang mengarungi tingginya gelombang Selat Malaka untuk mencari nafkah.
Baca juga: Suku Asli di Bengkalis Diajak untuk Menjaga Mangrove
Beberapa hasil ikan yang dipilah kala itu seperti ikan layur, belanak, lomak, ikan timah, dan kakap. Untuk setiap ikan dan udang yang diperoleh, Apen menjualnya beragam, mulai dari Rp 10.000 sampai Rp 35.000 per kilogram tergantung dari jenis ikan yang didapat.
Harga ikan tergolong sangat murah karena diperoleh langsung dari nelayan. Misalnya, udang yang di Pekanbaru mencapai Rp 100.000 per kg, tetapi dengan membeli di Teluk Pambang harganya hanya Rp 35.000 per kg.
Apen mengatakan, rata-rata dia bisa memilah sekitar 100 kg hasil laut dan sungai yang dibawa oleh para laki-laki di desa tersebut. ”Saya jual dari pagi dan habis di sore hari, terkadang kurang dari itu sudah ludes,” katanya.
Baca juga: Pelestarian Mangrove dengan Metode Rumpun Berjarak Diterapkan di Riau
Berbeda halnya dengan Apen, Mira (30), yang juga keturunan Suku Asli, memiliki keahlian dalam mencari kerang yang tersebar di luasnya hutan mangrove. Di Desa Teluk Pambang, ada sekitar 1.000 hektar hutan mangrove, kekayaan inilah yang memberi dampak ekonomi bagi warga sekitar.
Biasanya Mira akan mencari kerang di saat air laut surut. Di tengah lumpur, mereka dengan teliti mencari berbagai jenis kerang-kerangan, seperti buah tanah, kepah, kerang bulu, lokan, dan sepetang. Mereka juga kerap mengumpulkan kepiting dan siput yang biasa bertengger di batang pohon khas hutan mangrove.
Mira menuturkan, jika beruntung, dalam satu hari ia bisa mendapatkan sekitar 10 kg jenis kerang-kerangan. Adapun harga yang diperoleh Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per kg. Nantinya, kerang tersebut dijual langsung di depan rumah atau sesekali dijual secara daring.
Bagi Mira, mencari kerang adalah cara yang paling efektif untuk membantu perekonomian keluarga. ”Kalau hanya mengandalkan pendapatan dari hasil melaut atau berkebun, tentu tidak akan cukup. Karena itu, kami mencari kerang,” katanya.
Karena itu, menurut Mira, sangat penting bagi warga untuk tetap menjaga kelestarian hutan mangrove agar biota yang ada di sekitarnya tetap melimpah.
Perajin rumbia
Sementara di Desa Kembung Luar yang berjarak hanya 5 kilometer dari Desa Teluk Pambang, ada beberapa wanita Suku Asli yang pandai membuat atap dari daun rumbia. Setiap pagi setelah mengantarkan anaknya bersekolah, wanita-wanita Suku Asli selalu berkumpul di salah satu pendopo untuk bersama-sama merajut daun rumbia menjadi atap.
Atap rumbia ini kerap digunakan sebagai pelindung rumah panggung yang berdiri di kawasan pesisir. Sangkut (60), warga Suku Asli, sudah 40 tahun menganyam atap daun rumbia. Jari jemarinya tampak lincah merajut daun rumbia setengah tua.
Dalam setiap rajutan berukuran 1 meter dihargai beragam, yakni sekitar Rp 2.000 untuk atap rumbia dengan satu lapis. Sementara untuk atap rumbia dua lapis dihargai Rp 3.500 per lembar. Dalam satu hari, Sangkut bisa menganyam 20-30 lembar atap rumbia.
Oci (38), pengusaha atap rumbia mengatakan, mendapatkan bahan baku daun rumbia dari tetangganya yang memiliki perkebunan rumbia.
Dalam memproduksi atap rumbia, Oci lebih memilih perempuan sebagai perajin karena mereka dianggap lebih telaten. ”Mereka juga memiliki lebih banyak waktu luang,” katanya.
Oci juga merasa bersyukur karena ibu-ibu yang menjadi perajin rumbia juga bisa memperoleh penghasilan sendiri. Dengan demikian, mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya.
Baca juga: Mangrove di Riau Tersandera Penebangan Liar dan Alih Fungsi Lahan
Ketua Suku Asli Desa Teluk Pambang, Sur, mengatakan, ada sekitar 8 keluarga Suku Asli yang ada di Desa Teluk Pambang. Namun, yang paling banyak berada di desa lain, seperti di Desa Kembung Pesisir, Desa Kembung Luar, Desa Pambang Baru, Desa Pambang Pesisir, dan beberapa desa lain di Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis. Jika dikumpulkan, mungkin jumlah Suku Asli bisa mencapai ratusan keluarga.
Sur mengatakan, Suku Asli ini memang merupakan salah satu suku mula-mula yang mendiami kawasan pesisir yang ada di Bengkalis. "Mungkin sudah lebih dari tujuh generasi, leluhur kami tinggal di pesisir Bengkalis," kata Sur.
Untuk menghidupi keluarga, Suku Asli mengandalkan kayu dari hutan mangrove untuk dijual dan melaut. ”Kami lakukan itu semua karena hidup di pesisir sangat susah,” kata ayah dari 10 anak ini.
Dulu, ujar Sur, Suku Asli kerap menebang pohon mangrove untuk dijadikan fondasi rumah atau dijual untuk dijadikan arang. ”Namun, sekarang semua aktivitas itu sudah dikurangi karena kami sadar akan pentingnya hutan mangrove bagi keberadaan warga di pesisir,” kata Sur.
Kepala Suku Asli di Teluk Pambang Sur
Sur bercerita, sekitar 30 tahun lalu, akses pendidikan di wilayah ini sangat terbatas. Wajar beberapa di antara warga yang tinggal di pesisir tidak bersekolah atau hanya tamatan sekolah dasar.
Namun, sejak tahun 2000-an, akses pendidikan sudah mulai terbuka. ”Anak saya saja sudah ada yang jadi anggota Marinir,” katanya dengan rasa bangga. Semua itu, ujar Sur, berkat dari keberadaan hutan mangrove dan hasil laut di sekitar Selat Malaka.
Terisolasi
Direktur Bahtera Melayu Defitri Akbar merupakan salah satu orang yang sudah mendatangi Suku Asli pada medio 1990-an. Kala itu, ujar Defitri, Suku Asli cukup tertutup dengan warga yang datang dari luar daerahnya.
”Mungkin Suku Asli di Bengkalis seperti suku Baduy dalam di Jawa Barat atau Suku Anak Dalam di Jambi,” katanya. Dengan kawasan yang terisolasi, saat itu, masih ada warga yang bertransaksi dengan sistem barter.
Namun, setelah dilakukan pendekatan secara berkelanjutan, ujar Defitri, warga Suku Asli sudah lebih terbuka terhadap warga luar. Dari sanalah pembangunan desa dimulai. ”Sekarang layanan kesehatan dan pendidikan sudah ada di beberapa titik. Jalan menuju pesisir pun sudah baik,” katanya.
Sejumlah wanita Suku Asli di Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis, Riau, berbicara di teras rumah panggungnya, Kamis (10/7/2024). Mereka adalah warga pesisir yang menjadikan mangrove sebagai sumber penghidupan.
Kini dengan menggandeng berbagai pihak yang terkait, termasuk Lembaga swadaya dari dalam dan luar negeri, warga Suku Asli diajak untuk terlibat dalam pelestarian mangrove. ”Harapannya dengan cara ini, mereka bisa hidup lebih sejahtera,” kata Defitri.
Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu Cabang Bengkalis Amrizal mengatakan, keberadaan Suku Asli di Bengkalis kemungkinan ada di masa Deutro Melayu atau Melayu Muda. Mereka merupakan bangsa Austronesia yang datang dari Yunan (China Selatan) dan masuk ke Indonesia sekitar 500 SM. ”Biasanya mereka tinggal di kawasan pesisir,” ujarnya.
Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka biasanya mencari ikan dengan melaut. Awalnya, mereka hidup hanya dengan komunitasnya saja. Namun, seiring perjalanan waktu, mereka terbuka. Apalagi Bengkalis berbatasan langsung dengan Selat Malaka yang menjadi jalur perdagangan internasional kala itu. ”Bengkalis menjadi salah satu tujuan singgah para pedagang karena lautnya yang tenang,” kata Amrizal.
Saat ini, keberadaan Suku Asli sudah tidak lagi terisolasi. Mereka terbuka akan kehadiran suku bangsa lain. ”Perilaku keterbukaan ini tidak lepas dari sifat yang diturunkan dari para leluhurnya,” kata Amrizal.
Fadil Nandila, Koordinator Kemitraan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Riau, mengatakan, di wilayah Kabupaten Bengkalis ada dua desa yang didampingi YKAN. Selain Desa Teluk Pambang, ada Desa Kembung Luar. Kedua desa ini memiliki luasan hutan mangrove sekitar 1.900 hektar.
Pendampingan dilakukan secara menyeluruh termasuk edukasi kepada warga Suku Asli untuk lebih berdikari terutama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. ”Dengan adanya pekerjaan alternatif, diharapkan tradisi menebang mangrove dapat dikurangi,” katanya.
Keberadaan wanita Suku Asli juga sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan program ini karena mereka secara tidak langsung dapat memengaruhi suaminya untuk tidak menebang. Jika langkah konservasi dan rehabilitasi di kedua desa ini berhasil, cara tersebut akan ditularkan ke sejumlah wilayah di Riau. ”Dengan begitu, kerusakan mangrove tidak lagi meluas,” ujarnya.
Keberadaan wanita Suku Asli yang tinggal di pesisir bagai pengungkit kehidupan. Mereka menolak terisolasi, sebaliknya terus bertumbuh seiring perkembangan zaman demi menciptakan generasi Suku Asli yang berprestasi.
Perilaku keterbukaan ini tidak lepas dari sifat yang diturunkan dari para leluhurnya.