Memancing hingga Menyambangi Warung Kopi Tertua di Tepian Sungai Kapuas
Di Kapuas, sebagian warga menemukan kebahagiaan dengan memancing hingga menyambangi warung kopi tertua di Pontianak.
Sungai Kapuas di Kalimantan Barat bukan hanya sungai terpanjang di Indonesia, melainkan juga etalase sebagian warga menemukan kebahagiaan dengan sederhana. Berbagai aktivitas warga dilakukan di tepi Sungai Kapuas, mulai dari sekadar berjalan, memancing, hingga bersepeda. Tak kalah menarik, warga bisa menyambangi warung kopi tertua.
Cahaya matahari di garis khatulistiwa memantul di sela-sela gelombang Sungai Kapuas, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Minggu (14/7/2024). Gemuruh mesin dari perahu motor hingga kapal memecah keheningan pagi. Desingan suara mesin pesawat terbang di langit Pontianak berancang-ancang mendarat di Bandara Supadio.
Suara musik dari pengeras suara bergema di kawasan waterfront tepian Kapuas Pontianak. Puluhan warga berbaris, lalu menggerakkan tubuh ke kiri dan ke kanan hingga keringat membasahi tubuh. Kawasan waterfront Pontianak adalah salah satu ruang publik yang kerap dipadati warga pada akhir pekan.
Di salah satu dermaga, Marzuki (55), salah satu pemilik perahu motor, menawarkan jasa berwisata di sekitar Sungai Kapuas dengan perahunya. Setiap penumpang cukup membayar Rp 10.000, lalu Marzuki pun siap membawa mereka menyusuri Kapuas.
Marzuki salah satu warga setempat yang hidup dari Kapuas. Sejak 1980-an, penghasilannya ditopang dari perahu wisata. Dalam sehari, ia mendapatkan rata-rata Rp 150.000. Namun, pada Minggu itu, belum ada yang memakai jasanya.
”Biasanya malam Minggu ramai. Bisa sampai 30 orang meminta dibawa berkeliling sekitar Sungai Kapuas,” ucapnya.
Dari usaha itu, ia sudah membeli tanah dan rumah serta menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang sarjana. Hal itu telah terbukti menopang hidupnya sehingga ia bahagia dengan pekerjaannya. Marzuki hanyalah salah satu dari puluhan warga yang menggantungkan hidup dari wisata sungai.
Tempat rekreasi
Di tepian Sungai Kapuas, warga bisa melakukan aktivitas, mulai dari sekadar berjalan-jalan menghirup udara pagi yang segar, bersepeda, hingga memancing ikan. Minggu pagi itu, Surya (72), warga Kelurahan Akcaya, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak, memancing di tepi Sungai Kapuas. Mata Surya tertuju pada pancingnya. Ia menunggu ikan di Kapuas menangkap mata pancing.
Matahari di garis khatulistiwa mulai terik. Surya memasang pelindung kepala yang ada di jaketnya. Pancing mulai bergerak. Surya segera mengangkat pancingnya. Terik matahari seakan tidak terasa tatkala ia menyaksikan ikan terjebak di ujung mata pancingnya.
”Ini namanya ikan juare,” ujar Surya, pensiunan salah satu BUMN.
Ikan itu pipih, sisiknya berkilau. Ikan akan lebih banyak didapat sehabis Kapuas meluap. ”Saya suka mancing sejak muda. Dulu sampai ke laut. Sekarang di tepian Kapuas karena usia sudah tua. Kalau dapat ikan, itu pun sudah bahagia bagi saya,” tuturnya.
Di usianya yang senja, fisik Surya masih tampak bugar. Dia pun berpesan, jangan lupa melakukan hobi. ”Melihat umpan dimakan ikan, saya sudah senang rasanya. Selain itu, kalau makan, jangan nambah,” ujar pria yang sehari-hari menjaga cucu di rumah itu.
Beberapa saat kemudian, Wardoyo (70), warga Kelurahan Sungai Bangkong, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, menghampiri Surya. Pagi itu, Wardoyo berolahraga sepeda dari rumahnya menempuh jarak 4 kilometer menuju waterfront.
Wardoyo menekuni olahraga sepeda lima tahun terakhir berdasarkan anjuran dokter untuk terapi lututnya. Dengan bersepeda dua kali seminggu, ia merasa lebih bugar. Tubuhnya memang tampak bugar. Di rumah, ia juga melukis.
Ia pernah beberapa kali mengikuti pameran lukisan, salah satunya di Museum Kalbar. Sungai Kapuas tidak hanya tempat berolahraga, tetapi juga salah satu inspirasinya dalam melukis. Melukis salah satu ”daya hidup” baginya. Sebelum pensiun, ia pernah mengajar kesenian di salah satu sekolah di Kabupaten Sintang, selain di bagian tata usaha.
Wardoyo tidak pernah kuliah seni, tetapi ”jatuh cinta” dengan melukis. Ia belajar karya-karya seniman ternama dari kliping koran. Ia menggemari sejumlah maestro pelukis, salah satunya Affandi. Ia kagum dengan goresan khas teknik ”plotot” dalam lukisan Affandi. Wajahnya penuh antusias tatkala membahas seni lukis.
Masalah korupsi di Tanah Air membuatnya gelisah. Ia kini sedang membuat lukisan tentang kritiknya terhadap korupsi. ”Sedang saya kerjakan di rumah, tetapi belum selesai,” ujar Wardoyo.
Warung kopi tertua
Selain menjadi tempat wisata, tepian Kapuas juga identik dengan warung kopi. Keberadaan warung kopi dari tepian Kapuas hingga berbagai sudut kota tidak lepas dari sejarah Kapuas. Tak hanya Surya dan Wardoyo yang bugar di usia senja, warung kopi di sekitar Kapuas juga masih ”bugar” di usia senja.
Bahkan, warung kopi Djaja di Jalan Tanjungpura disebut-sebut sebagai warung kopi tertua di Pontianak, berdiri sejak 1935. Dalam suatu kesempatan, Suhar (30), generasi kelima pengelolanya, bercerita, generasi pertama bekerja di pelayaran pelabuhan tempo dulu, lalu mendirikan warung kopi di sekitar Kapuas. Kata ”sejak 1935” menjadi branding keluarga mereka untuk membuktikan kemampuan mereka teruji dalam berbisnis.
Baca juga: Warung Kopi di Pontianak, ”Meneguk” Ragam Masalah Warganya
Tak hanya Surya dan Wardoyo yang bugar di usia senja, warung kopi di sekitar Kapuas juga masih ”bugar” di usia senja.
Hingga kini, masih ada ratusan pelanggan setia, mulai dari pedagang di Pasar Tengah hingga buruh pelabuhan, memesan beragam varian kopi yang diseduh secara tradisional. Cukup merogoh kocek Rp 10.000-Rp 14.000. Pengunjung beragam usia, dari remaja hingga mereka yang berusia senja. Meneguk kopi kian sempurna dengan pisang goreng dan keladi goreng.
Sejak awal berdiri hingga kini, luas warung kopi itu tidak berubah, 3,5 meter x 27 meter. Sejumlah meja terbuat dari marmer ditata dengan apik sehingga membuat pengunjung nyaman ngopi bareng teman atau keluarga. Kemudian ada cermin di bagian dinding sebagai peninggalan generasi pertama.
Sekitar awal abad ke-20 di Pontianak memang terdapat wilayah yang menjadi pusat-pusat ekonomi berupa pertokoan yang mayoritas dikelola warga Tionghoa. Gambaran itu juga bisa dilihat pada peta-peta 1930-an hingga 1940-an.
Kawasan tersebut dinamakan Voorstraat, kini bernama Jalan Tanjungpura. Pusat-pusat pertokoan tersebut terletak di pinggiran Sungai Kapuas hingga ke pelabuhan. Hingga kini kawasan tersebut masih ada. Dari situlah dimulai budaya ngopi.
Jalur sungai sangat strategis kala itu karena jalur darat terbatas pada awal abad ke-20. Semua serba melalui sungai atau parit yang lebar di Pontianak. Akhirnya orang sering berinteraksi di Pasar Tengah di tepian Kapuas untuk mendiskusikan segala hal sebagai titik temu. Kapuas menjadi jalur utama antardaerah hingga ke hulu ataupun luar negeri, yakni Singapura.
Baca juga: Merawat Sungai Kapuas lewat Pariwisata
Selain menikmati kopi, wisatawan yang datang ke Sungai Kapuas juga bisa mencicipi kuliner khas Pontianak di Kampung Wisata Caping di Kelurahan Bansir Laut, Kecamatan Pontianak Tenggara, Kota Pontianak. Beragam ikan, misalnya baung dan semah dari Sungai Kapuas, bisa dinikmati dalam bentuk sayur asam pedas di paket wisata Kampung Wisata Caping.
Untuk menikmati masakan sayur asam pedas, pengunjung merogoh kocek Rp 300.000 per paket untuk lima hingga enam orang. Menurut Bany Than Heri (39), Ketua Akademi Ide Kalimantan pendamping Kampung Caping, di tempat wisata itu juga ada wisata bersampan sembari menjala ikan didampingi operator pengayuh sampan dan penjala ikan. Ikannya bisa dibawa pulang oleh wisatawan. Di Kampung Wisata Caping, setidaknya ada 10 jenis ikan yang didapat warga saat memancing atau menjala, antara lain kelabau dan patin.