Meninggalkan Desa demi Menjemput Rezeki di Warung Kopi Pontianak
Anak muda Kalbar merantau ke kota karena sulit berkembang. Dilema di desa antara tidak ada tanah yang bisa diolah.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
Sebagian anak muda Kalimantan Barat gamang hidup di desa. Ujungnya, mereka pilih datang ke kota atau hijrah ke luar negeri mencari pengalaman bekerja. Desa masih sulit diandalkan untuk mandiri meski kesempatan mendapatkan pengalaman ideal di tanah orang tidak lantas selalu berbuah manis.
Indah (20), demikian sapaan salah satu pramusaji di salah satu warung kopi di Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dia anak baru di sana.
Pada Selasa (9/7/2024), masa kerjanya baru menginjak dua bulan. Selama itu juga dia meninggalkan Kabupaten Landak untuk merantau ke ibu kota Kalbar itu.
Baru tamat SMA Mei lalu, Indah tidak punya pilihan lain setelah urung melanjutkan kuliah. Dia dan keluarganya tidak punya cukup biaya.
Belum lama, ia sempat diterima bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di Pontianak. Namun, ia urung mengambil kesempatan itu. Alasannya, rekannya tidak diterima di tempat yang sama.
”Tidak enak kalau saya bekerja, sementara teman saya tidak,” ujarnya.
Beruntung, kesempatan baik lainnya segera datang tidak lama kemudian. Dia mendengar kedai kopi tempatnya bekerja sekarang membuka lowongan. Belakangan, kedai kopi memang tumbuh menjamur di Pontianak. Kali ini, ia dan rekan kerjanya sama-sama bekerja di warung kopi.
Di kedai kopi itu, dia hanya dibayar sekitar Rp 1 juta per bulan. Namun, Indah tidak keberatan. Alasannya, biaya makan serta penginapan ditanggung pemilik warung kopi. Indah menyebut masih bisa menabung untuk orang tua di kampung halamannya.
Indah sebenarnya berat meninggalkan rumah. Namun, kata dia, sulit mendapatkan pekerjaan dengan hasil lumayan di sana. Tanah dan kebun karet milik orangtuanya sudah dijual beberapa tahun lalu.
Investasi di bidang perkebunan itu sebenarnya ada tidak jauh dari tempat tinggalnya. Namun, tanpa pengalaman kerja, sulit mendapatkan kesempatan di sana. Demi mendapat pengalaman, pilihannya jatuh merantau ke kota.
”Beberapa teman juga sempat mengajak saya bekerja ke Kamboja, tetapi saja tidak mau. Ada berbagai kekhawatiran di dalam pikiran saya,” tuturnya.
Pergi ke Kamboja tengah jadi tren di tempat tinggalnya. Banyak rekan Indah pergi ke negara yang menjuluki dirinya sebagai ”Tanah Kedamaian dan Kemakmuran”. Namun, Indah mengaku tidak mengetahui apa pekerjaan rekan-rekannya. Bagaimana nasib mereka saat ini juga dia tak tahu.
Untuk memotivasi kreativitas desa, juga ada lomba desa. Harapannya desa terus berkembang dan membuka lapangan pekerjaan baru.
Kekhawatiran Indah memang beralasan. Dia mungkin tidak tahu pasti risikonya. Namun, jejak digital kekerasan warga Kalbar di negeri orang terentang panjang. Pada April 2023, sebanyak 11 warga Kalbar di Myanmar diduga mengalami kekerasan. Mereka bekerja di tempat judi online dan scammer. Mereka berhasil pulang ke Tanah Air setelah dibantu pemerintah.
Sebelumnya, pada 2022, 17 warga Kalbar diduga menjadi korban perdagangan orang di Laos. Awalnya, mereka dijanjikan agen bekerja di supermarket. Setiba di Laos, korban terbelit bisnis penipuan berkedok investasi serta mengalami kekerasan. Mereka juga berhasil dipulangkan ke Tanah Air.
Dilema Indah bisa jadi potret ironi warga desa lainnya di Kalbar. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Hendrikus Adam, dari sekitar 14 juta hektar luas administratif Kalbar, tanah milik masyarakat tinggal sekitar 1 juta hektar. Sekitar 13 juta hektar sudah dikuasai kepentingan berbagai investasi.
”Hal itu ironi, di tengah investasi hingga ke desa-desa yang sering dinarasikan membuka lapangan pekerjaan,” tutur Adam.
Perjuangan warga untuk memperjuangkan tanah masih terjadi di desa. Walhi bahkan baru-baru ini meluncurkan komik berisi kisah perjuangan masyarakat mempertahankan tanah mereka menghadapi korporasi. Konflik tenurial juga melemahkan modal sosial masyarakat.
Hal itu menciptakan ketimpangan sumber daya lahan untuk pertanian dan karet. Bahkan, ada izin hak guna usaha (HGU) korporasi masuk ke kampung-kampung. Belum lagi desa-desa kerap menerima dampak bencana.
Akan tetapi, masih punya tanah yang bisa digarap pun ternyata tidak cukup. Tidak semua anak muda mau bekerja di kebun. Bisa jadi karena rawan konflik atau tidak sesuai dengan minat anak muda zaman sekarang.
Canda (21), misalnya, memilih jurusan olahraga di salah satu universitas di Kalbar. Padahal, biaya kuliahnya dibiayai hasil panen sawit di lahan seluas 2 hektar punya orangtuanya. Dia juga memilih bekerja sampingan di kedai kopi meski hanya menjadi pramusaji.
Penjabat Gubernur Kalbar Harisson, Rabu (10/7/204), menuturkan, sudah saat desa dengan segala potensinya mendapatkan kembali daya tariknya. Dia yakin, masih banyak potensi khas yang bisa membuka lapangan pekerjaan. Dia mencontohkan wirausaha, ekonomi kreatif, dan pariwisata. Banyak daerah di Indonesia mampu menggali keunggulan itu.
Salah satu hal yang bisa dilakukan pemerintah, kata dia, adalah menjamin dana desa sampai ke tangan yang tepat. Dana itu bisa menjadi salah satu modal besar membangun desa, khususnya anak muda setempat. ”Untuk memotivasi kreativitas desa, juga ada lomba desa. Harapannya desa terus berkembang dan membuka lapangan pekerjaan baru,” ujar Harisson.
Di tengah perkembangan zaman yang kian pesat, keengganan anak muda tinggal di desa bukan hanya perkara Pulau Jawa. Selain minimnya kesempatan bekerja dan kesenjangan kepemilikan tanah, desa di Kalbar yang kerap tidak mampu menampung minat anak muda kian rawan ditinggalkan generasi penerusnya.