Mangrove di Riau Tersandera Penebangan Liar dan Alih Fungsi Lahan
Upaya konservasi diperlukan untuk mencegah abrasi dan intrusi air laut di pesisir Sumatera.
BENGKALIS, KOMPAS — Upaya pelestarian mangrove di Provinsi Riau tersandera praktik penebangan liar dan alih fungsi lahan. Kondisi ini membuat sejumlah daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir timur Sumatera, rawan mengalami abrasi dan intrusi air laut. Sejumlah upaya disiapkan untuk mengantisipasi fenomena ini.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Riau Muhammad Job, Selasa (9/7/2024) mengatakan, saat ini luas hutan mangrove di Riau mencapai 225.376 hektar. Dengan luasan ini, Riau bertengger sebagai provinsi dengan mangrove terluas di Sumatera. Dari luasan itu, 3.765 hektar di antaranya merupakan mangrove jarang, 2.537 hektar mangrove sedang, dan 219.074 hektar mangrove lebat.
Hamparan mangrove itu tersebar di tujuh kabupaten di Riau, yakni Kabupaten Bengkalis, Indragiri Hilir, Kepulauan Meranti, Kota Dumai, Pelalawan, Rokan Hilir, dan Siak. ”Kebanyakan mangrove di Riau memang terletak di pesisir timur Sumatera,” katanya.
Akan tetapi, hutan mangrove di Riau terancam mengalami degradasi lahan. Penyebabnya adalah munculnya beragam aktivitas ilegal, seperti penebangan liar dan alih fungsi lahan.
Di beberapa daerah seperti di Kabupaten Bengkalis masih ada warga yang menebang pohon bakau untuk dijadikan bahan baku arang dan bahan dasar fondasi rumah panggung. Di sisi lain, praktik alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak udang atau lahan kelapa sawit juga masih terjadi di beberapa titik.
Situasi ini membuat potensi kerusakan alam seperti abrasi dan intrusi air laut terus terjadi. Jika situasi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin ekosistem gambut yang berada dekat kawasan mangrove menjadi terancam.
Baca juga: Mangrove Kini Tak Lagi Dianggap Mengganggu
Job menjelaskan, secara keseluruhan, area terabrasi di Riau mencapai 618 hektar, lahan terbuka mencapai 5.795 hektar, dan tambak mencapai 827 hektar. Kawasan inilah yang berpotensi menjadi habitat mangrove dan perlu dikonservasi sesegera mungkin.
Hanya, dalam pelaksanaannya, pemerintah terbentur sejumlah kendala, seperti kurangnya dana untuk biaya konservasi dan rehabilitasi. Selain itu, risiko gagal dalam penanaman mangrove terbilang sangat tinggi. Sebab, kondisi alam di lokasi penanaman sulit diprediksi. "Bisa saja pohon bakau yang baru ditanam rusak karena diterjang gelombang tinggi," katanya.
Selain itu, masih ada warga yang merusak mangrove karena terdesak kebutuhan ekonomi kendati saat ini jumlahnya terus berkurang. Agar upaya konservasi bisa optimal, kolaborasi sangat dibutuhkan. Tak hanya pemerintah, keterlibatan swasta, lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat, dan akademisi sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini.
Sebagai tonggak awal, kata Job, sejak dua tahun lalu Pemerintah Provinsi Riau sudah membentuk Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD). Kelompok ini bertugas membuat perencanaan dalam upaya rehabilitasi dan konservasi ekosistem mangrove. Tim ini juga bertugas memperkuat kelembagaan tim kerja, mulai dari tingkat desa hingga provinsi.
Tugas tim yang paling utama adalah mengonservasi kawasan yang sudah menjadi sasaran. Setelah rencana kerja KKMD selesai disusun, tim segera bekerja untuk memverifikasi lahan mangrove. Hasil verifikasi ini penting sebagai pedoman menjalankan fungsi. ”Verifikasi lahan mangrove di Riau ditargetkan selesai pada akhir Juli 2024,” katanya.
Dengan cara ini, konservasi serta rehabilitasi mangrove diharapkan bisa berjalan lebih sistematis dan terfokus.
Baca juga: Mangrove Kaltara Banyak Dieksploitasi, Penanaman Ditarget 31.374 Hektar sampai 2027
Dampak kerusakan
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Bengkalis Hamdan menyatakan, konservasi dan rehabilitasi lahan mangrove sangat mendesak mengingat dampak kerusakannya sudah sangat dirasakan. ”Yang paling terlihat adalah abrasi, terutama di tepi hutan mangrove yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka,” katanya.
Hamdan mengatakan, dulu di Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, ada sebuah obyek wisata andalan warga, yakni Pantai Sendekip. Pantai ini dibuka pada 2017. Namun, akibat abrasi, pantai ini lenyap karena air laut sudah masuk ke darat. Sejumlah sarana yang disiapkan, seperti tempat bermain dan tempat bersantai, lenyap tersapu ombak.
Tingginya risiko abrasi ini dinilai tidak lepas dari penebangan liar yang masif sejak 10 tahun lalu. Tingginya aktivitas penebangan tak lepas dari permintaan pasar akan arang. ”Kayu bakau jadi bahan arang paling berkualitas. Itulah sebabnya banyak pemesannya, salah satunya dari Malaysia,” ujarnya.
Tidak heran, waktu itu, di Sungai Kembung terdapat 12 panglong arang yang menampung hasil tebangan. Kayu pohon bakau itu kemudian dikirim langsung ke Malaysia dalam bentuk bahan mentah atau sudah dibakar menjadi arang. Dari penjualan kayu bakau, warga mendapatkan uang sekitar Rp 400 per batang kayu. Saat sampai ke Malaysia, harga arang sekitar 5 ringgit (Rp 17.500).
Tingginya pasar membuat industri panglong kayu sempat tumbuh subur, terutama di tahun 2000-an. Masifnya penebangan pohon bakau membuat ekosistem mangrove pun rusak. Selain itu, hasil tangkapan ikan dan hasil laut berkurang signifikan.
Masifnya penebangan pohon bakau membuat ekosistem mangrove pun rusak.
Setelah ada penertiban sejak sekitar lima tahun lalu, termasuk pendampingan, penebangan pohon bakau berangsur turun. ”Banyak warga yang dulunya menebang, kini mulai beralih menjadi nelayan,” katanya.
Dari peralihan pekerjaan itu, warga mendapat hasil tangkapan yang melebihi hasil dari menebang. Ketika hutan mangrove direstorasi, hasil tangkapan nelayan naik sekitar 50 persen.
Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Teluk Pambang, Bengkalis Indra Sukmawan mengatakan, sejak terbentuk pada 2023, anggota LPHD Teluk Pambang, rutin berpatroli mengelilingi hutan mangrove seluas hampir 1.000 hektar. Ada sekitar enam anggota LPHD menyisir tepian hutan mangrove menggunakan perahu bermesin. Dalam satu minggu, mereka bisa berpatroli hingga 5 kali.
Dari patroli itu, tim sudah menangkap dua perambah. Terbaru, yakni enam bulan lalu, seorang perambah tertangkap membawa kayu bakau ke sampannya untuk bahan baku arang. Sanksinya, perambah itu diwajibkan mengganti satu batang yang ditebang dengan 50 bibit pohon bakau. Aturan ini ternyata efektif membuat perambah jera.
Ke depan, jika hutan mangrove kembali lebat, kawasan ini, menurut rencana, akan dikelola jadi tempat wisata. ”Setelah mangrove di kawasan ini pulih, ikan di sekitar hutan mangrove kembali meningkat. Jumlah pemancing yang berkunjung ke desa kian bertambah,” kata Indra.
Koordinator Kemitraan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Provinsi Riau, Fadil Nandila mengatakan, di wilayah Kabupaten Bengkalis, ada dua desa yang YKAN dampingi. Selain Desa Teluk Pambang, ada Desa Kembung Luar. Kedua desa ini memiliki luas hutan mangrove sekitar 1.900 hektar.
Oleh karena itu, pendampingan harus dilakukan menyeluruh. Tak sekadar membantu menanam mangrove, tetapi juga membantu dalam hal membuat regulasi, mulai dari tingkat desa hingga provinsi.
Dengan pendampingan ini, warga hingga pemerintah daerah diharapkan dapat membuat kebijakan yang bermuara pada pelestarian gambut. Selain itu, sejumlah metode konservasi dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat. Misalnya dengan memperbaiki hidrologi mangrove agar ekosistemnya dapat pulih secara alami.
Di sisi lain, kata Fadil, warga dilibatkan agar secara sadar menjaga mangrove. Oleh karena itu, pulihnya ekosistem mangrove diharapkan memberikan manfaat ekonomi ke warga setempat.
Ke depan, jika langkah konservasi dan rehabilitasi di dua desa ini berhasil, cara serupa akan ditularkan ke sejumlah wilayah di Riau. ”Dengan begitu, kerusakan mangrove tidak lagi meluas,” ujarnya.