Diduga Ada Upaya Pengaburan Fakta, TKP Penemuan Mayat Afif Maulana Rusak
Ada dugaan upaya pengaburan fakta atas rusaknya TKP penemuan mayat Afif Maulana (13) yang diduga disiksa polisi.
PADANG, KOMPAS — Tempat kejadian perkara atau TKP penemuan mayat Afif Maulana (13) yang diduga disiksa polisi rusak atau mengalami perubahan bentuk. Lembaga Bantuan Hukum Padang menduga ada upaya pengaburan fakta, sedangkan Kepala Polda Sumatera Barat menyebut hal itu bukan fakta dan tidak penting.
”Kami melihat kondisi TKP sudah sangat berubah. Saat penemuan mayat (9 Juni), kedalaman dasar sungai hanya 50 cm. Ketika kami kunjungi lagi TKP lima hari lalu (30 Juni), kedalamannya sudah lebih dari 1 meter. Ada bekas penggalian dan jejak ekskavator,” kata advokat Publik LBH Padang, Decthree Ranti Putri, Jumat (5/7/2024).
Selain kondisi TKP yang rusak atau berubah, Ranti juga menyoroti terlambatnya polisi memasang garis polisi di TKP penemuan mayat Afif. Garis polisi baru dipasang sepekan lalu, tepatnya Jumat (28/6/2024), atau 18 hari setelah kasus dugaan kematian tidak wajar Afif dilaporkan ke Polresta Padang.
Baca juga: Bocah 13 Tahun di Padang Meninggal, Diduga akibat Disiksa Polisi
Mayat Afif Maulana ditemukan mengambang di Sungai Kuranji di bawah jembatan di Jalan Bypass Kilometer 9, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Minggu (9/6/2024) pukul 11.55 WIB, dengan luka-luka lebam. Orangtua Afif kemudian melaporkan dugaan kematian tidak wajar anak mereka ke Polresta Padang pada Senin (10/6/2024).
Pantauan Kompas di TKP penemuan mayat Afif, Sabtu (29/6/2024) lalu, garis polisi mengelilingi TKP yang menyerupai kolam itu dan ditemukan bekas roda rantai alat berat. Menurut warga yang tidak bersedia disebutkan namanya, garis itu baru dipasang sehari sebelumnya dan dasar kolam memang jauh lebih dalam dibanding saat penemuan mayat.
Ranti melanjutkan, saat berkunjung ke lokasi pada 28 Juni lalu, sebelum garis polisi dipasang, pihaknya menyaksikan alat berat sedang mengeruk lokasi TKP. Di lokasi tersebut memang sedang ada pengerjaan penguatan tiang jembatan. Namun, ia menyayangkan kenapa yang digali justru lokasi TKP.
”Tindakan pengerukan itu sudah merusak TKP. Apakah terkait pengaburan fakta, harus dikonfirmasi dulu bagaimana korelasinya. Dugaan kami memang ada arah ke sana (pengaburan fakta). Kami melihat juga tanggapan polda terkait bagaimana kematian Afif, kan, selalu berubah-ubah,” ujar Ranti.
Baca juga: Kronologi Kasus Afif Maulana, Bocah di Padang yang Diduga Disiksa Polisi
Menurut Ranti, proses penegakan hukum adalah proses mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Kerusakan atau perubahan TKP yang hanya berjarak sekitar 100-200 meter dari Polsek Kuranji itu menunjukkan polisi tidak profesional dalam penanganan kasus kematian Afif Maulana.
”Ini kasus yang mesti diseriusi, tetapi ketika terjadinya laporan pertama, kepolisian malah mencari cara dan mencari dalih dan segala macamnya, bahkan menyampaikan opini-opini yang tidak mengarah kepada substansi dugaan penyiksaan yang berujung kematian,” katanya.
Ranti menambahkan, ketika ada laporan, idealnya polisi langsung datang ke TKP dan memasang garis polisi agar TKP tidak rusak. Faktanya, dalam kasus Afif, TKP dibiarkan begitu saja dan membuka peluang pengaburan fakta. Ia pun menduga kuat ada upaya pengaburan fakta meskipun harus dibuktikan kebenarannya.
”Kejanggalan-kejanggalan ini melengkapi serangkaian kejanggalan lainnya, termasuk hilangnya rekaman CCTV di Polsek Kuranji,” ujar Ranti.
Baca juga: Kuasa Hukum Afif Maulana Laporkan Kapolda Sumatera Barat ke Divpropam Polri
LBH Padang pun melaporkan dugaan pelanggaran etik Kepala Polda Sumbar, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Padang, dan Kepala Unit Kejahatan dan Kekerasan Satreskrim Polresta Padang kepada Divisi Propam Polri, Rabu (3/7/2024) lalu, atas kejanggalan-kejanggalan dalam penyelidikan kasus Afif Maulana, termasuk rusaknya TKP.
Bukan fakta dan tidak penting
Sementera itu, Kepala Polda Sumbar Inspektur Jenderal Suharyono mengatakan, kerusakan TKP dan pemasangan garis polisi yang terlambat hanya berita yang dimunculkan LBH Padang.
”LBH Padang sebagai pengadu merekayasa apa pun yang sebenarnya bukan fakta dan tidak penting itu seolah-olah menjadi hal yang krusial. Hal krusial itu, kan, pertama, apakah terjadi (Afif) meloncat dari jembatan ke sungai,” kata Suharyono.
Baca juga: Dilaporkan ke Divpropam Polri, Kapolda Sumbar: Saya Bukan Pelaku Kejahatan seperti FS dan TM
Suharyono meyakini Afif memang melompat dari jembatan meskipun tidak ada yang melihatnya langsung. Keyakinan itu berdasar dari kesaksian Aditya (17) yang sempat diajak Afif melompat ke sungai untuk kabur dari polisi yang bertugas mencegah aksi tawuran pada Minggu (9/6/2024) dini hari.
”Polisi, kan, tidak mengada-ada. Yang real, Afif memang mengajak meloncat. Yang terjadi, dia (Afif) meloncat karena memang polisi di situ dan Aditya tidak melihat Afif. Itu yang kami pegang teguh, keterangan Aditya dan 18 saksi lainnya, termasuk di polsek, yang tidak pernah melihat Afif Maulana,” kata Suharyono.
Polisi sembrono
Pengajar Hukum dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Andalas, Ilhamdi Putra, berpendapat bahwa polisi sembrono dalam menyelidiki kasus kematian Afif Maulana. Salah satu yang ia soroti adalah rusaknya TKP penemuan mayat Afif dan terlambatnya pemasangan garis polisi.
Ilhamdi menjelaskan, selama ini narasi yang dikemukakan polisi adalah Afif melompat dari jembatan dan meninggal di TKP penemuan mayat. Jika menggunakan sudut padang itu, lokasi jatuhnya Afif merupakan lokasi penting sebagai locus delicti atau TKP.
”Kalau polisi konsisten dengan narasi Afif melombat, seharusnya lokasi itu dijaga. Namun, dibiarkannya lokasi itu rusak, setelah dirusak baru ada garis polisi, itu memperlihatkan kecenderungan, pertama, polisi tidak yakin dengan narasinya sendiri atau, kedua, polisi ingin memanfaatkan TKP yang rusak itu,” katanya.
Baca juga: Diminta Kuasa Hukum Afif Maulana, Polisi Sebut Rekaman CCTV di Polsek Kuranji Terhapus Otomatis
Menurut Ilhamdi, kalau polisi yakin dengan narasi Afif melompat, mestinya dilakukan uji dengan boneka balistik. Boneka balistik dijatuhkan dari jembatan ke TKP yang kedalaman airnya 50 cm. Dari hasil uji itu, bisa diketahui apakah teori Afif melompat itu benar atau tidak.
”Uji tersebut belum pernah dilakukan polisi. Jadi, bisa saja (kerusakan TKP) itu akan dimanfaatkan polisi bahwa tidak akan mungkin mereka menguji karena TKP-nya sudah rusak,” ujarnya.
Normalnya, kata Ilhamdi, TKP penemuan mayat harus dijaga, apalagi jika kasusnya belum selesai. Ia melihat kerusakan TKP tersebut bentuk kesembronoan dan setengah hatinya polisi menyelidiki kasus ini.
”Kasus Afif Maulana sudah jelas menarik atensi publik. Polda Sumbar berada pada posisi tersudut, tetapi TKP tidak diamankan. Itu menguatkan dugaan orang,” ujarnya.
Ilhamdi juga menyoroti soal hilangnya rekaman CCTV di Polsek Kuranji, tempat 18 anak dan pemuda rombongan Afif mendapat tindak kekerasan oleh polisi pada hari yang sama dengan kematian Afif. Polisi mengklaim Afif tidak ikut ditangkap dan diperiksa di Polsek Kuranji. Rekaman CCTV saat kejadian itu diklaim terhapus otomatis karena masa penyimpanan hanya 11 hari.
”Ini arahnya ke obstruction of justice. Polisi kalau bertindak profesional, ketika ada temuan mayat, dia harusnya aktif mencari bukti, termasuk mengamankan CCTV, tidak perlu menunggu viral. Kalau yakin tidak ada Afif di polsek, tunjukkan bukti CCTV-nya,” katanya.