Bagaimana sebenarnya judi menarik korban, memanipulasi pikirannya, lalu mengeruk hartanya?
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·4 menit baca
Permainan kemungkinan atau peluang dengan iming-iming hasil besar sudah berakar ribuan tahun dalam peradaban manusia. Mulai dari judi dadu, kartu, lotre, sampai adu jago hewan atau sekadar bertaruh tim bola yang akan menang. Bentuknya bisa bermacam-macam.
Celakanya, dalam era digital ini judi terus beradaptasi, bahkan berkembang dalam jaringan alias online. Judi online bahkan menjadi monster yang lebih menakutkan ketimbang judi konvensional karena bisa menjangkau siapa saja, kapan saja, dan di mana saja hanya melalui ponsel dan sinyal internet.
Meski ekosistemnya berubah, inti perjudianonline ataupun konvensional tetaplah sama, yakni menawarkan ilusi mendapatkan uang secara cepat dan mudah. Godaan inilah yang paling pertama dan utama dipakai untuk memikat korban.
Saat korban terjerat, judi memagut buaian hingga menimbulkan sensasi kesenangan sesaat kala hormon dopamine mengguyur tubuh. Hormon itu diproduksi otak ketika kita merasa gembira karena berhasil mencapai sesuatu. Itulah yang membuatnya menjadi candu.
Karena alasan itu pula, permainan judi online akan hampir selalu memberikan kemenangan bagi pemain baru. Ini demi membuat mereka merasakan ”nikmatnya” judi sehingga ketagihan. Taktik licik ini persis seperti yang dilakukan para pengedar narkoba pada era 1990-an.
Kenapa bandar bisa memberikan kemenangan? Ingat, aplikasi atau situs itu adalah milik para bandar, atau setidaknya di bawah kendali mereka. Jadi, tentu saja bandar bisa dengan mudah mengatur urusan menang-kalah tersebut.
Para penjudi juga mengalami yang disebut gambler’s fallacy atau sesat pikir penjudi.
Pengajar psikologi Universitas Gadjah Mada, Bagus Riyono, mengatakan, perilaku para penjudi dapat dijelaskan oleh teori reinforcement (penguatan) yang dikemukakan psikolog BF Skinner. Menurut teori itu, perilaku orang didorong oleh insentif atau penguatan sebagai konsekuensi dari perilaku tertentu.
Saat orang berjudi, dia berharap kemenangan dan kesenangan yang diperoleh dari hormon dopamine tadi. Hal itu pun dilakukan berulang untuk mendapat efek yang sama terus-menerus.
”Ketika itu sudah menjadi pola, perilakunya menjadi otomatis. Dia tak berpikir lagi soal untung-ruginya karena sudah jadi kebiasaan. Inilah yang dieksploitasi oleh bandar judi,” kata Bagus.
Para penjudi juga mengalami yang disebut gambler’s fallacy atau sesat pikir penjudi. Pemikiran itulah yang memupuk keyakinan penjudi bahwa mereka memiliki peluang menang lebih besar meskipun sebenarnya peluangnya sama atau bahkan jauh lebih kecil.
Bagi orang miskin, semakin kalah, semakin dia terpacu untuk main terus mengejar kemenangan karena harus menutupi kekalahan sebelumnya.
Contohnya, dalam permainan lempar koin, peluang keluarnya sisi gambar atau angka adalah 50:50. Saat lemparan pertama yang keluar gambar, penjudi dengan gambler’s fallacy akan berpikir peluang keluarnya angka pada lemparan kedua akan lebih besar.
Namun, saat lemparan kedua kembali menunjukkan gambar, para penjudi malah tambah yakin kalau lemparan berikutnya akan keluar angka. ”Padahal, dalam setiap lemparan koin itu, peluangnya selalu sama 50:50,” kata Bagus.
Dia menambahkan, semua faktor tersebut ditambah kemudahan judi online membuatnya makin berbahaya karena dampaknya bisa sangat luas. Ini termasuk bisa diakses anak-anak dan orang yang kemampuan ekonominya pas-pasan.
”Bagi orang miskin, semakin kalah, semakin dia terpacu untuk main terus mengejar kemenangan karena harus menutupi kekalahan sebelumnya,” ucapnya.
Robert T Wood dan Robert J Williams dalam publikasi ilmiah berjudul ”Internet Gambling: Past, Present, and Future” (2007) menyebut, perjudian internet bisa muncul karena tiga perkembangan penting pada 1990-an. Wood dan Williams merupakan pengajar di University of Lethbridge, Kanada.
Pertama, pembukaan zona perdagangan bebas oleh Antigua-Barbuda, negara kecil di Karibia, pada 1994. Hal ini memungkinkan bandar-bandar judi Amerika Serikat yang berbasis di Antigua untuk menerima taruhan lewat telepon karena terbebas dari aturan larangan perjudian AS.
Kedua, pengembangan perangkat lunak perjudian oleh Microgaming tahun 1994-1995. Terakhir, pengembangan protokol komunikasi terenkripsi oleh CryptoLogic tahun 1995 yang memungkinkan transaksi keuangan bisa dilakukan dengan aman secara daring.
Wood dan Williams mengungkapkan, hal yang paling jelas dari keunggulan judi online ketimbang judi konvensional adalah kenyamanannya. Orang bisa berjudi kapan saja sepanjang hari dari rumah.
Namun, di sisi lain, hal ini pula yang membuat judi online lebih problematik ketimbang judi konvensional. Kenyamanan dan kemudahan akses itu memicu lebih tingginya frekuensi bermain para penjudi dibandingkan dengan judi konvensional yang tatap muka.
Frekuensi bermain yang lebih banyak dan panjang itu menyebabkan kemungkinan kekalahan menjadi lebih besar. Lebih parah lagi, kekalahan di judi online kurang memukul para penjudi karena nilai psikologis uang elektronik yang lebih kecil ketimbang uang tunai meskipun tentu nilai riilnya sama saja.
Menurut Bagus, pemerintah perlu serius memberantas judi online di Indonesia. Adapun para penjudi harus diberi bimbingan dan pendampingan agar bisa berhenti dari kebiasaan tersebut.
”Secara psikologis seharusnya bisa direhabilitasi. Salah satunya melalui model seperti support group (kelompok dukungan) di AS untuk mengatasi masalah kecanduan alkohol atau narkoba,” tuturnya.
Presiden Joko Widodo pun telah menandatangani Keputusan Presiden tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring pada 14 Juni 2024. Tujuannya untuk mempercepat upaya pemberantasan judi online dari hulu hingga ke hilir. Kita tunggu bersama hasilnya.