Pelaku Mutilasi di Garut Sempat Cicipi Potongan Tubuh Korban
Polisi menyebut pelaku mutilasi di Garut, Jabar, sempat mencicipi daging korban. Pelaku diduga mengalami gangguan jiwa.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pelaku pembunuhan dan mutilasi seorang pria di Kampung Bantar Limus, Desa Sancang, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Minggu (30/6/2024), ternyata sempat mencicipi daging potongan tubuh korban. Polisi masih memeriksa kondisi kejiwaan pelaku karena dia diduga mengidap gangguan jiwa.
Kepala Seksi Humas Kepolisian Resor Garut Inspektur Satu Adi Susilo menyatakan, pemeriksaan kejiwaan tersangka bernama Erus (23) itu dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Sartika Asih, Kota Bandung, Jabar, sejak Selasa kemarin. Proses yang diperkirakan berlangsung sepekan itu dilakukan untuk memastikan kondisi pelaku yang disebut mengidap gangguan kejiwaan.
Adi pun memastikan pelaku tidak memakan tubuh korban seperti disebut dalam informasi yang beredar. Dia menuturkan, petugas tidak menemukan potongan tubuh korban yang hilang. Dari video yang diterima petugas, pelaku hanya terlihat mencicipi bagian tubuh korban yang terpotong.
”Kami sudah memastikan tidak ada (bagian) tubuh yang dimakan. Bisa dikatakan, pelaku hanya mencoba mencicipi. Karena tindakan ini, kondisi kejiwaan dari pelaku juga perlu kami pastikan. Berdasarkan keterangan warga sekitar (lokasi) kejadian, pelaku dan korban adalah ODGJ (orang dengan gangguan jiwa),” papar Adi saat dihubungi dari Bandung, Rabu (3/7/2024).
Erus ditangkap seusai membunuh dan memutilasi seorang pria tanpa identitas di Cibalong pada Minggu pagi lalu. Berdasarkan laporan warga, ujar Adi, korban juga disebut mengalami gangguan kejiwaan dan dibawa oleh pelaku sambil diikat.
Momen itu terekam kamera dan rekaman video kejadian itu kemudian viral di media sosial. Dalam video berdurasi 13 detik itu, tampak pelaku mengikat dan menarik korban yang hanya menggunakan kain dan tanpa perlawanan.
Di video yang lain, tampak pelaku duduk di dekat beberapa potongan tubuh korban. Dalam video berdurasi 32 detik itu, perekam video sempat menanyakan pisau yang digunakan untuk melakukan aksi tersebut.
Pelaku yang saat itu mengenakan baju berwarna biru lalu mengambil pisau berwarna coklat dan menunjukkannya sambil tersenyum. Selain itu, tersebar beberapa foto yang menunjukkan pelaku menggigit sebagian tubuh korban yang telah terpotong.
”Awalnya warga hanya membiarkan aksi pelaku yang membawa korban karena keduanya ODGJ. Laporan dari warga masuk pada Minggu pukul 12.30 WIB. Jadi, bisa dikatakan aksi mutilasi ini terjadi beberapa saat sebelumnya. Pada malam harinya, kami langsung menangkap pelaku,” ungkap Adi.
Kepala Kelompok Staf Medis Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Veranita Pandia, mengatakan, indikasi gangguan jiwa yang dialami pelaku mutilasi itu terlihat dari ekspresi yang datar hingga komunikasi yang tidak nyambung saat menjawab pertanyaan.
”Dari video yang saya lihat, bicaranya tidak nyambung saat ditanya, dengan wajah yang tidak terlihat merasa bersalah. Kondisi yang disebut afek datar ini menunjukkan ciri khas gangguan psikotik, ditandai dengan pikiran yang terganggu,” ujarnya.
Gangguan itu membuat ODGJ tidak bisa membedakan fantasi dan kenyataan. Menurut Veranita, kondisi tersebut membuat pelaku meyakini tindakannya tidak melawan hukum karena dia merasa tidak melakukan kejadian yang sebenarnya atau mengalami halusinasi.
”Kondisi ini harus menjadi perhatian karena tidak ada yang tahu apa yang ada dalam pikiran ODGJ. Jika tiba-tiba dia menganggap orang lain sebagai musuh, tentu itu berbahaya sehingga harus jadi perhatian bersama,” tuturnya.
Perlu diawasi
Kasus pembunuhan dan mutilasi di Garut itu juga dinilai menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap ODGJ, termasuk yang berkeliaran di jalan. Kepala Program Studi Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Elvine Gunawan menyatakan, pengawasan itu menjadi tanggung jawab negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Menurut Elvine, Pasal 77 UU No 17/2023 menyatakan, pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab menangani ODGJ. Dalam Ayat (1) pasal itu juga disebutkan, pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dan melakukan penanganan terhadap ODGJ yang telantar, menggelandang, serta mengancam kesehatan dirinya atau orang lain.
”Undang-undang ini menekankan, ODGJ dan orang yang berisiko mempunyai hak sebagai warga negara. Mereka tidak boleh ditelantarkan karena memiliki potensi melakukan tindakan agresif secara tiba-tiba hingga membahayakan orang lain,” paparnya.
Kondisi ini harus menjadi perhatian karena tidak ada yang tahu apa yang ada dalam pikiran ODGJ.
Akan tetapi, menurut Elvine, kewajiban itu belum dilakukan dengan maksimal. Sebab, masih banyak kasus tindakan agresif dari ODGJ yang mengancam keselamatan, bahkan menghilangkan nyawa orang lain.
”Ada saja kasus kekerasan yang berkaitan dengan ODGJ, minimal sebulan sekali. Kondisi ini sangat disayangkan karena menunjukkan peran pemerintah belum maksimal. Jangan sampai ada lagi nyawa yang terbuang sia-sia karena tindakan ODGJ yang tidak diawasi,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menyebut, diperlukan peran semua pihak untuk meningkatkan pengawasan terhadap ODGJ. Di level individu, diperlukan perhatian terhadap kondisi kejiwaan diri sendiri dan orang terdekat. Layanan kesehatan juga perlu diperkuat dengan pelayanan kesehatan jiwa dan pemerintah harus menyediakan tempat singgah bagi pasien gelandangan psikotik atau ODGJ.